tirto.id - Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo menilai aktivitas vulkanik pada Gunung Anak Krakatau saat ini tidak bisa disamakan dengan Gunung Krakatau yang meletus pada 1883.
Antonius menilai perbedaan yang mendasar ada pada skala peristiwa di dua kejadian tersebut yang berbedanya cukup signifikan.
Oleh karena itu, skalanya yang diperkirakan tidak bakal sedahsyat letusan Gunung Krakatau saat itu, Antonius membantah apabila Gunung Anak Krakatau disebutkan telah berada di fase mematikan.
“Tidak benar Gunung Anak Krakatau masuk ke dalam fase mematikan. Kalau naik ke puncaknya ya mematikan, tapi kan tidak seperti itu,” kata Antonius saat jumpa pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta pada Kamis (27/12/2018) pagi.
Lebih lanjut, Antonius menyebutkan bahwa aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau tidak secara langsung menimbulkan tsunami. Menurut Antonius, produk dari aktivitas itulah yang bisa menyebabkan tsunami. Selain perlu adanya kewaspadaan terhadap material besar yang muncul dan masuk ke air, ada juga potensi terjadinya longsor akibat aktivitas tersebut.
“Yang perlu diwaspadai adalah longsor di bagian lerengnya. Kami telah berkolaborasi memberi masukan kepada BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika], apa saja yang harus disiapkan,” ucap Antonius.
Ancaman longsor memang menjadi salah satu fokus dari Badan Geologi. Apabila aktivitas gunung bisa terdeteksi, Antonius mengklaim bahwa deteksi longsor masih terkendala lantaran pemasangan alat yang tidak bisa dilakukan secara optimal.
Ia menyebutkan posisi Gunung Anak Krakatau yang di tengah laut membuat deteksi terhadap longsor maupun efeknya tidak bisa dilakukan pada titik akurat. “Namun kami berupaya untuk mendeteksi efek longsor sedekat-dekatnya,” ungkap Antonius.
Status Gunung Anak Krakatau Kamis pagi ini dinaikkan dari Waspada (Level II) ke Siaga (Level III). Keputusan untuk menaikkan status itu diambil setelah adanya analisis berdasarkan kegiatan vulkanik di Gunung Anak Krakatau dalam 1-2 hari terakhir.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri