tirto.id - Awak kabin PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ternyata ada yang bekerja sampai 18 jam dalam sehari. Dan ini hanya satu dari sekian banyak tekanan kerja yang harus mereka hadapi.
Kenyataan ini diungkapkan oleh Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (Ikagi) saat mendatangi Kementerian BUMN, Senin (09/12/2019) kemarin. Saat itu mereka bicara langsung dengan Menteri BUMN Erick Thohir.
Sekjen IKAGI Jacqueline Tuwanakotta mengatakan horor kerja 18 jam itu terjadi saat para awak melayani penerbangan Jakarta-Sydney pulang-pergi. Hal ini terjadi karena penerbangan--bisa memakan waktu 11 jam--yang sebelumnya ditempuh dalam waktu tiga hari saat ini diubah jadi hanya satu hari.
Jacqueline mencatat ada “delapan orang yang diopname” yang “sakit kelelahan, sakit mata”, serta “badannya lemah.”
Salah satu yang pernah merasakan horor ini adalah pramugari bernama Hersanti, sudah berkarier 30 tahun di Garuda. Beda dengan pilot yang dapat menginap di tempat lain, dia mengaku tetap berada di pesawat bersama kru kabin lain.
Tentu dia tak bisa tidur. Badannya lemah dan meriang.
“Kami manusia, bukan robot. Sebaiknya kami dilakukan seperti manusia, harus tidur,” kata Hersanti.
Kerja 18 jam sehari terjadi saat Garuda dipimpin I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara, bekas direktur utama yang dicopot Erick karena terbukti menyelundupkan Harley Davidson lewat pesawat yang baru dibeli.
Garuda Ingkar Janji
Garuda sudah pernah ditegur Kementerian Perhubungan karena jam kerja berlebih para pramugari. Tak tanggung-tanggung, mereka dinyatakan melanggar empat kali sepanjang Agustus 2019 untuk rute Denpasar-London PP.
Saat itu Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub Avirianto meminta Garuda memperbaiki kondisi tersebut karena berdampak pada “turunnya penilaian safety level Indonesia” yang diperoleh dari otoritas penerbangan internasional.
Garuda lantas berjanji memperbaiki masalah tersebut.
“Kami akan menjalankan semua rekomendasinya,” kata VP Sekretaris Perusahaan Ikhsan Rosan pada 4 September 2019.
Tapi toh ternyata itu tak mereka lakukan. Ketua Ikagi Zaenal Muttaqin menegaskan manajemen Garuda mengabaikan teguran tersebut. Praktik jam kerja berlebih masih terjadi.
“Enggak di-follow up sama Garuda. Menurut Pak AA (Ari Askhara) itu wajib dijalankan untuk efisiensi,” ucap Zaenal.
VP Awak Kabin Garuda Indonesia Roni Eka berdalih Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) sebenarnya membolehkan awak kabin terbang lebih dari 18 jam.
Hanya saja, lanjut Roni, ketentuan itu memiliki syarat, seperti wajib menambah minimal tiga awak kabin dari jumlah minimal tiap pesawat, hingga wajib mendapatkan izin dari Kepala Awak Kabin atau Chief Flight Attendant.
“Ketentuan yang ada di PKPS 121.467 itu membolehkan awak kabin diterbangkan sampai dengan lebih dari 18 jam namun tidak melewati 20 jam dengan syarat,” ucap Roni kepada reporter Tirto.
Kemenhub Tidak Serius
Bagi Anggota Ombudsman RI di bidang Perhubungan Alvin Lie, selain Garuda itu sendiri yang bermasalah karena tak mengindahkan teguran, Kemenhub juga patut disorot. Menurutnya Kemenhub seperti malu-malu menjatuhkan sanksi kepada perusahaan pelat merah itu.
“Ini ada yang enggak beres dalam aturan dan implementasi. Di sisi lain menurunkan harga tiket dipacu luar biasa, tapi urusan begini lembek banget,” ucap Alvin kepada reporter Tirto.
Alvin menegaskan 18 jam kerja itu setara dua kali lipat jam kerja maksimal pilot per hari. Keduanya sama-sama punya peran penting dalam menjaga keselamatan penerbangan, dan karenanya keduanya punya hak yang sama untuk beristirahat.
Pada akhirnya yang dipertaruhkan adalah nyawa penumpang dalam situasi darurat. Situasi darurat yang dimaksud misalnya saat pesawat mendarat darurat, dan pramugari wajib mengarahkan penumpang dan menjamin keselamatan mereka.
Peran ini, tentu saja, tak akan maksimal jika pramugari kelelahan.
“Peran mereka itu juga safety, bukan sekadar melayani makan-minum. Ketika emergency kita perlu mereka kondisinya prima.”
Dirjen Penerbangan Udara Kemenhub Polana B. Pramesti menegaskan maskapai wajib menindaklanjuti setiap temuan yang memerlukan perbaikan. Jika tidak, mereka terancam sanksi.
“Setiap teguran yang tidak ditindaklanjuti akan berujung pada tindakan enforcements, dapat berupa pembekuan atau pencabutan sertifikat atau denda,” ucap Polana kepada reporter Tirto.
Polana tak mau berkomentar lebih jauh soal jam kerja harian karena menurutnya itu ranah Kementerian Ketenagakerjaan.
Lalu, setelah mengadu ke Erick, akankah kondisi para awak berubah lebih baik?
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang