tirto.id - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengklarifikasi pernyataannya yang meminta BUMN untuk membeli dolar AS dalam jumlah besar, di tengah kondisi geopolitik terjadi di Timur Tengah. Hal ini sempat mendapat sorotan mengingat kurs rupiah terhadap dolar AS kian melemah.
Erick menjelaskan, pernyataan dimaksudkan adalah agar BUMN-BUMN dapat mengoptimalkan pembelian dolar AS dengan tepat guna, bijaksana dan sesuai prioritas dalam memenuhi kebutuhannya.
Terutama, bagi BUMN terdampak pada bahan baku impor dan BUMN dengan porsi utang luar negeri (dalam dolar AS) yang besar seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi dan MIND ID.
"Arahan saya kepada BUMN adalah untuk mengoptimalkan pembelian dolar. Bukan memborong, intinya adalah jangan sampai berlebihan, kita harus bijaksana dalam menyikapi kenaikan dollar saat ini," ungkap Erick dalam pernyataannya, dikutip Sabtu (20/4/2024).
Erick mengatakan, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, dalam mengantisipasi dampak lanjutan dari gejolak geopolitik dan ekonomi global.
Di mana pemerintah telah memiliki instrumen dalam bentuk devisa hasil ekspor yang ingin ditempatkan di dalam negeri. Selain itu, pemerintah menginginkan impor konsumtif dapat ditahan dulu dalam situasi saat ini.
"Untuk itu, pengendalian belanja dan impor BUMN harus dengan prioritas dan sesuai dengan kebutuhan yang paling mendesak," imbuh Erick.
Pengendalian belanja dan impor ini, terutama untuk BUMN-BUMN yang memiliki eksposur impor dan memiliki utang dalam denominasi Dolar AS. Tentu ini sekaligus juga mengingatkan para direksi BUMN agar lebih awas dan tidak membeli dolar secara berlebihan, dan menumpuk.
Sebelumnya, Erick Thohir memperingatkan BUMN untuk mengantisipasi dampak dari gejolak ekonomi dan geopolitik dunia. Sebab, kondisi tersebut memicu menguatnya Dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia.
Dua hal tersebut, menurut Erick, telah melemahkan rupiah menjadi Rp16.000 - Rp16.300 per dolar AS dalam beberapa hari belakangan. Nilai tukar ini bahkan bisa mencapai lebih dari Rp16.500 apabila tensi geopolitik tidak menurun.
Untuk meminimalisir hal tersebut, Erick lantas meminta agar perusahaan negara mengoptimalkan pembelian dolar AS dalam jumlah besar dalam waktu singkat. Menurut dia, ini perlu dilakukan terutama oleh BUMN yang terdampak pada bahan baku impor dan BUMN dengan porsi utang luar negeri yang besar, seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, dan MIND ID.
"Serta melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat," ujar Erick dalam keterangan pers tertulis, dikutip Jumat (19/4/2024).
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang