tirto.id - Sehari sebelum peringatan ke-71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga pidato kenegaraan di gedung parlemen, Senayan, Jakarta. Salah satu yang dipaparkan Presiden Jokowi dalam pidato tersebut adalah soal tantangan globalisasi, kemiskinan, dan kesejahteraan, serta capaian kinerja pemerintah.
Presiden Jokowi menjelaskan secara gamblang bagaimana kondisi perekonomian global yang masih mengalami perlambatan sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi nasional juga terpengaruh. Perekonomian Indonesia pada triwulan pertama tahun 2016 hanya mampu tumbuh 4,91 persen, dan sedikit membaik menjadi 5,18 persen pada kuartal kedua.
“Pertumbuhan tersebut jauh lebih besar di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia dan negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan salah satu pertumbuhan yang tertinggi di Asia,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya.
Namun, anggota legislatif dari Fraksi Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf menilai pidato kenegaraan Jokowi dalam sidang bersama DPR RI-DPD RI tidak menyebut secara gamblang soal kondisi penegakan hukum di Indonesia.
“Saya menunggu bagaimana penegakan hukum di Indonesia. Tadi hanya disebutkan tentang terorisme ya. Karena ini negara hukum, saya kira penting memasukkan soal penegakan hukum,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Presiden Jokowi, dalam pidatonya hanya sebatas menyebutkan soal penanganan terorisme, salah satunya yang dilakukan adalah menumpas habis kelompok Santoso. Padahal, kata Nurhayati, di luar pembahasan soal hukum, Presiden Jokowi dapat menjelaskan secara jelas hasil-hasil yang telah dicapai pemerintah, seperti perihal capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi di Asia, dengan pertumbuhan 4,91 persen pada triwulan pertama 2016.
Benarkah Presiden Jokowi menganaktirikan penegakan hukum?
Untuk menjawab pertanyaan ini tentu tidak cukup hanya berpedoman pada pidato kenegaraan Presiden Jokowi yang disampaikan di gedung parlemen, pada 16 Agustus lalu. Selain itu, pernyataan Nurhayati juga tidak bisa dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan di atas.
Mengapa? Pertama, Nurhayati merupakan anggota DPR yang salah satu tugasnya adalah mengkritik, apalagi Nurhayati berasal dari partai yang tidak bergabung dalam pemerintah. Kedua, Nurhayati mungkin tidak menyimak secara seksama dari ketiga pidato Presiden Jokowi. Karena dalam pidato kenegaraan di sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Jokowi menyinggung juga soal capaian dalam mendukung percepatan konsolidasi demokrasi berlandaskan hukum yang berkeadilan.
Namun, dalam konteks ini Jokowi hanya melihat secara kuantitas capaian Mahkamah Agung dalam memutus perkara. Padahal, kalau dilihat secara lebih rinci, soal reformasi hukum yang digembor-gemborkan Jokowi masih jauh dari harapan, terutama dalam penegakan hukum bagi terpidana korupsi yang menunjukkan tren vonis rendah, bahkan bebas.
Lalu, dengan indikator apa menjawab pertanyaan di atas? Dalam konteks ini, ada dua pendekatan yang bisa dijadikan acuan. Pertama soal anggaran institusi penegak hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kedua, soal sikap dan kebijakan Presiden Jokowi dalam penegakan hukum selama dua tahun terakhir ini.
Anggaran Penegakan Hukum
Kalau mengacu pada institusi yang berperan vital dalam penegakan hukum, khususnya kasus korupsi selama ini, maka ada empat instansi yang bisa dijadikan contoh, yaitu Mahmakah Agung (MA), Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengacu pada Nota Keuangan Rancangan APBN 2017, anggaran untuk keempat lembaga di atas mengalami penyusutan. Misalnya, KPK hanya mendapatkan alokasi dana sekitar Rp766,8 miliar, padahal pada APBN-P 2016, KPK dibujet Rp991 miliar. Anggaran tersebut juga lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran dalam APBN 2016 yang mencapai Rp1,06 triliun.
Pemotongan anggaran juga dialami Kejaksaan Agung (Kejagung). Pada RAPBN 2017, Kejagung mendapat bujet Rp4,28 triliun, padahal pada APBN-P 2016 mendapatkan anggaran sebesar Rp4,99 triliun. Hal yang sama juga dialami Mahkamah Agung yang mendapatkan anggaran Rp8,54 triliun dalam RAPBN 2017.
Dari empat institusi penegak hukum di atas, hanya Polri yang relatif mendapat anggaran besar, yaitu Rp72,43 triliun. Kalau dibandingkan dengan anggaran kementerian atau lembaga tinggi negara lainnya, anggaran Polri pada tahun 2017 menempati urutan ketiga, di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Pertahanan.
Selain soal anggaran, keseriusan pemerintah dalam penegakan hukum ini juga terkait dengan peran Presiden. Dalam tulisan pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra yang dimuat Harian Kompas, 22 Juli lalu menyebutkan, banyak pihak berharap duet Jokowi-JK mampu untuk melakukan lompatan besar penegakan hukum, misalnya, dalam menjawab soal kepastian hukum.
Menurut Saldi, salah satu masalah besar selama ini adalah soal substansi hukum dan penegak hukum yang sering ”bertindak liar” dalam penegakan hukum. Potret buram penegak hukum terjadi dari hulu hingga hilir: dari penyelidikan, penyidikan, persidangan, dan segala macam penyimpangan di rumah tahanan negara. Namun, sampai pertengahan 2016, pemerintahan Jokowi-JK terbukti lebih memberi perhatian pada bidang ekonomi dibandingkan persoalan hukum.
Sebagai contoh, hingga Juli tahun ini, pemerintah telah menerbitkan tak kurang dari selusin paket kebijakan di bidang ekonomi. Sementara, sentuhan pemerintah di bidang hukum nyaris tidak ada. Kalaupun ada, upaya tersebut lebih banyak untuk memperlancar pencapaian paket bidang ekonomi.
Kalau kita tarik jauh ke belakang, bahkan pada September 2015 lalu, Indo Barometer pernah merilis survei terkait kinerja penegakan hukum selama setahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hasilnya, publik tidak puas dengan kinerja penegakan hukum, terutama Kejaksaan dan Kepolisian.
Berdasarkan survei tersebut, hanya 44,8 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja kepolisian. Angka lebih jeblok ditunjukkan kejaksaan, 37,7 persen. Sedangkan angka kepuasan terhadap lembaga kehakiman adalah 40,7 persen. Sebaliknya, responden justru puas atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencapai 68,2 persen.
Karena itu, Direktur Eksekutif Indo Barometer, Mohammad Qodari menyatakan, Presiden Jokowi harus mereformasi dua lembaga penegak hukum yang menurut konstitusi di bawah kekuasaan Presiden. Namun, faktanya sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari Presiden Jokowi.
Melihat fakta demikian, maka tak berlebihan jika banyak pihak yang menilai Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla lebih fokus pada bidang ekonomi, dan abai terhadap penegakan hukum.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti