tirto.id - Pemilu 2019 tinggal menghitung hari. Seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) dijamin secara konstitusi untuk menyalurkan hak pilihnya dalam pemilu 2019. Tak terkecuali WNI yang berada di luar negeri. Pasal 357 dan 358 UU dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa para WNI ini difasilitasi penyaluran hak pilihnya melalui Tempat Pemungutuan Suara Luar Negeri (TPSLN), melalui surat pos, dan kotak suara keliling (KSK).
Namun, ada banyak kerawanan dalam tiga metode ini yang berpotensi membuat kisruh pelaksanaan pemungutan suara di luar negeri. Sayangnya di dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 yang disusun oleh Bawaslu RI, luar negeri tidak dicantumkan secara terpisah dalam daftar IKP karena bergabung dengan Dapil Jakarta 2. Setidaknya ada empat titik kerawanan dalam proses pemungutan suara di luar negeri ini.
Data Pemilih Tetap Luar Negeri
Dalam hal pemutakhiran data pemilih, PPLN dibantu oleh petugas Pantarlih yang berkewajiban memutakhirkan data pemilih tetap luar negeri berdasarkan data penduduk WNI dan data penduduk potensial pemilih pemilu. Namun data pemilih luar negeri inilah yang memiliki kerawanan tertinggi di antara lainnya.
Sesuai aturan, PPLN berkewajiban memutakhirkan data pemilih dengan turun langsung ke lapangan untuk mendata dan memvalidasi pemilih. Bagi negara yang jumlah WNI-nya sedikit, proses ini bisa maksimal. Namun bagi negara dengan jumlah WNI yang besar seperti Arab Saudi, Taiwan, dan Malaysia yang mayoritas adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maka proses pemutakhiran data pemilih dengan mendatangi lokasi tempat tinggal/bekerja WNI adalah hal yang sulit dilakukan.
Para petugas biasanya hanya mendatangi pusat-pusat berkumpulnya WNI seperti taman kota maupun rumah makan Indonesia. Padahal, WNI yang tidak pergi ke taman atau tempat-tempat kumpul ini jumlahnya lebih banyak. Alasannya bisa berbagai macam, seperti tidak diizinkan oleh majikan hingga jauhnya lokasi. Maka biasanya PPLN akan menggunakan cara lain untuk memutakhirkan data pemilih ini yaitu melalui data WNA dari pemerintah negara setempat.
Warga Negara Asing (WNA) yang bermukim di suatu negara biasanya akan didata secara gradual oleh petugas imigrasi setempat. PPLN bisa mendapatkan data terbaru WNI di negara tersebut dengan memintanya ke imigrasi setempat. Bagi negara-negara yang tidak memiliki undang-undang perlindungan informasi pribadi, atas nama kepentingan negara PPLN bisa memperoleh data ini. Namun ini akan jadi kendala tersendiri bagi negara yang memiliki undang-undang perlindungan informasi pribadi. Pemilu 2014 di Taiwan bisa jadi contoh. PPLN Taipei menggunakan data terbaru dari imigrasi Taiwan sebagai salah satu sumber data pemilih dalam menetapkan DPTLN. Namun di pemilu 2019 ini kondisinya berbeda. Sejak 2016, Taiwan sudah mengesahkan peraturan tentang kerahasiaan informasi yang salah satunya adalah menjaga informasi WNA yang bermukim di Taiwan. Sehingga walaupun atas nama kepentingan nasional sekalipun, PPLN tidak bisa mendapatkan data ini.
Walhasil, hingga surat suara dibagikan melalui pos, terjadi kekacauan dalam proses distribusinya. Ada WNI yang sudah terdaftar sebagai pemilih melalui pos, namun hingga mendekati hari pencoblosan surat suara tidak kunjung datang. Beberapa WNI telah lama pindah negara, namun masih dikirimi surat suara melalui pos. Ada juga WNI yang sudah pindah alamat, tapi surat suaranya justru dikirimkan ke alamat yang lama. Di Jerman bahkan ada WNI yang sudah berganti kewarganegaraan tapi masih juga dikirimi surat suara. Kekacauan ini bisa jadi disebabkan karena ketidakmutakhiran data yang dimiliki oleh PPLN di negara yang bersangkutan.
Pemilihan Melalui Pos dan TPS
Akibat pemisahan DPT untuk memilih di TPS dan melalui pos serta kurangnya sosialisasi, maka penggunaan metode ini rawan terjadi kekisruhan. Kerawanan timbul karena ketidaktahuan WNI bahwa ia seharusnya memilih melalui pos. Namun, karena mereka tidak mendapatkan surat suara melalui pos hingga hari pemilihan, maka para WNI ini datang ke TPS. Namun saat di TPS, WNI tersebut tidak bisa memilih karena dianggap sudah difasilitasi hak pilihnya melalui pos. Hal seperti ini berpotensi besar terjadi di negara yang menggunakan sistem pos dan TPS dengan jumlah WNI besar seperti Hongkong, Arab Saudi, Taiwan, dan Malaysia.
Kekacauan yang timbul bisa semakin parah jika ada mobilisasi massa yang sama-sama melakukan protes di TPS. Selain mengganggu jalannya pemungutan suara di TPS, ketertiban umum di wilayah tersebut juga berpotensi terganggu, sehingga pihak keamanan dan otoritas setempat bisa membubarkan lokasi pemungutan suara.
Selain itu, titik rawan berikutnya adalah surat suara untuk DPTbLN. WNI yang tidak terdaftar dalam DPTLN akan dimasukkan dalam DPTbLN yang dikategorikan sebagai DPK. Mereka bisa menyalurkan hak pilihnya satu jam sebelum TPS ditutup. Namun jumlah surat suara untuk DPTbLN ini hanya sebanyak 2% dari jumlah DPTLN di TPS yang bersangkutan. Bahkan, jika menilik aturan yang sebenarnya, justru angka 2% ini adalah surat suara cadangan untuk mengganti surat suara yang rusak, bukan untuk pemilih tambahan. Padahal, jumlah pemilih tambahan bisa jadi akan besar pada pemilu tahun ini mengingat pelaksanaan pemilu yang serentak. Apalagi WNI yang datang ke negara tersebut setelah DPTLN ditetapkan, jumlahnya tidak sedikit.
Di Taiwan sendiri, setiap harinya tidak kurang dari 50 WNI masuk ke Taiwan untuk bekerja maupun belajar. Padahal DPTLN ini ditetapkannya sudah dari beberapa bulan yang lalu.
Keamanan Penyimpanan Surat Suara
Pemilu di luar negeri dilaksanakan beberapa hari sebelum pemilu serentak dilaksanakan di Indonesia. Biasanya 3-7 hari lebih awal dari hari pemungutan suara di Indonesia. Setelah pemungutan suara di luar negeri dilaksanakan, surat suara tidak boleh langsung dihitung dan baru bisa dihitung di hari yang sama dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Selama jeda beberapa hari ini, surat suara akan disimpan dalam ruangan tertentu di kantor perwakilan Indonesia di negara setempat.
Jeda antara hari pemungutan dan penghitungan suara ini rawan dimanfaatkan untuk melakukan kecurangan dengan menambah surat suara. Apalagi jika ruang penyimpanan kotak suara tidak dilengkapi peralatan memadai seperti CCTV dan instrumen keamanan lainnya. Potensi kecurangan bisa cukup besar mengingat surat suara belum dihitung secara resmi.
Selain itu, kerawanan lain terjadi baik pada surat suara yang tidak terkirim (bunchback) maupun surat suara cadangan untuk pemilih melalui pos. Jika mengikuti aturan, maka surat suara ini hanya boleh ditandai oleh PPLN sebagai surat suara tidak terpakai. Bagi negara dengan jumlah WNI yang besar, surat suara tidak terpakai ini rawan digunakan untuk melakukan kecurangan karena tidak seimbangnya jumlah anggota PPLN dengan surat suara yang tidak terpakai ini.
Kesalahan Pengiriman Surat Suara dan Kerahasiaan Hak Pilih
Pemilih yang difasilitasi melalui pos akan dikirimi surat suara ke alamat yang terdaftar dalam basis data yang dimiliki oleh PPLN. Namun proses ini justru sangat rawan. Banyak WNI yang sudah berpindah tempat tinggal, namun surat suaranya masih dikirimkan ke alamat yang lama. Jika alamat pengirimannya salah (alamat tidak ada), maka surat akan kembali (bunchback) ke pengirim. Namun jika alamatnya benar, maka surat akan tetap sampai dan diberikan kepada orang yang tinggal di alamat tersebut, sekalipun bukan atas nama yang tertera di surat. Kerawanan ini terjadi karena tidak ada yang menjamin bahwa si penerima surat adalah orang yang bersangkutan. Selain itu surat suara yang telah sampai, tidak dijamin akan dicoblos oleh si pemilik surat suara tersebut.
Kerawanan penyalahgunaan surat suara akan semakin tinggi jika ada banyak WNI tinggal di alamat tujuan. Surat suara si A yang sudah pulang ke Indonesia bisa saja dicoblos oleh si B. Potensi ini cukup besar, mengingat mobilitas WNI di luar negeri sangat tinggi. Selain itu, proses pengiriman balik surat suara yang telah dicoblos dengan melalui pos juga berpotensi tidak sampai di kantor PPLN karena tercecer atau hilang dalam proses. Pasalnya, ada banyak surat suara yang dikirim balik dalam waktu bersamaan.
Di balik besarnya jumlah pemilih di luar negeri, tersimpan berbagai potensi kerawanan dalam proses yang akan menciderai pemilu jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan benar. Jika KPU melalui PPLN tidak segera tanggap atas potensi-potensi kerawanan ini, ketidakpercayaan publik terhadap pelaksana pemilu untuk ke depannya akan jadi bom waktu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.