tirto.id - Markus Nari, mantan anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, masih belum terpikirkan untuk mengajukan banding setelah majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonisnya 6 tahun penjara dan denda Rp300 juta.
“Kami pikir-pikir dalam tujuh hari ini, apa yang harus dilakukan," ujar Markus usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019) kemarin.
Putusan hakim terhadap Markus Nari lebih ringan dari tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjeratnya 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
“Menyatakan terdakwa Markus Nari telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar Hakim Ketua Franky Tambuwun saat membacakan amar persidangan.
Hakim menyatakan Markus telah menerima 400 ribu dolar Amerika Serikat atau setara Rp4 miliar, sebagaimana diungkapkan oleh mantan pejabat pembuat komitmen Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dalam fakta persidangan sebelumnya. Duit itu terkait suap yang diterima Markus Nari dari proyek pengadaan e-KTP.
Hakim memutuskan Markus Nari harus mengganti uang tersebut.
Namun, jika Markus tidak lekas menyerahkan uang pengganti paling lambat satu bulan usai putusan pengadilan inkrah, harta bendanya akan disita oleh negara untuk dilelang.
Jika harta benda Markus tidak mencukupi uang pengganti, ia akan dipidana penjara tambahan selama dua tahun.
Tidak hanya itu, Markus diputus bersalah lantaran mencoba merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Hakim Anwar berkata Markus secara tidak langsung meminta mantan anggota DPR Miryam S. Haryani, kala itu berstatus saksi, agar tidak menyebutkan namanya dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
"Cara-cara melalui [pengacara] Anton Taufik dan Robinson adalah secara tidak langsung untuk memengaruhi agar Miryam tidak menyampaikan keterangan BAP,” ujar Hakim Anwar, "sehingga pencabutan BAP Miryam adalah hal yang tidak beralasan dan suatu kebohongan.”
Markus memberi upah 10 ribu dolar Singapura kepada Anton untuk membujuk Miryam. Lalu, Anton menyarankan Elza Syarief, pengacara Miryam, agar mencabut keterangan yang menyebut Markus Nari.
Cara serupa dilakukan Markus: meminta bantuan Robinson untuk menghubungi mantan pejabat pembuat komitmen Kemendagri Sugiharto.
Robinson adalah pengacara terdakwa Amran Hi Mustary. Nama terakhir terjerat kasus korupsi proyek pembangunan jalan di Maluku. Amran satu sel dengan Sugiharto di rutan cabang KPK.
Atas perbuatannya itu, Markus didakwa telah melanggar Pasal 21 UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Markus Nari dalam Dakwaan
Nama Markus Nari, anggota Komisi II DPR, mencuat pertama kali dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP pada 2017.
Dalam dakwaan, demi memperlancar pembahasan APBN-P sekitar medio Maret 2012, Markus meminta Rp5 miliar kepada Irman.
Irman lantas memerintahkan Sugiharto meminta uang kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S. Sudiharjo, anggota konsorsium PNRI.
Atas permintaan itu, Anang hanya memenuhi Rp4 miliar, yang diserahkan kepada Sugiharto di ruang kerjanya. Selanjutnya, Sugiharto menyerahkannya kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan.
Namun, Markus membantah keterlibatannya saat berstatus saksi dalam saga persidangan korupsi e-KTP pada 6 April 2017.
Kendati demikian, dua bulan kemudian, KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka.
“KPK menetapkan Markus Nari, anggota DPR periode 2014-2019, sebagai tersangka atas dugaan dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat konferensi pers di gedung KPK, Juni 2017.
Korupsi itu terkait pengadaan paket penerapan e-KTP tahun 2011-2012 pada Kemendagri dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Markus diduga secara sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap tersangka Miryam S Haryani. Ihwal ini sebagaimana disebutkan di muka: indikasi kasus menyampaikan keterangan tidak benar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada persidangan kasus e-KTP.
Sebelum Markus Nari, sudah ada enam tersangka lain:
- Setya Novanto: divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan membayar uang pengganti 7,3 juta dolar AS.
- Irvanto Hendra Pambudi, keponakan Setya Novanto, dan Made Oka: divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
- Andi Narogong: putusan kasasi di MA adalah 13 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan membayar uang pengganti 2,15 juta dolar AS dan Rp1,1 miliar.
- Irman dan Sugiharto: Mahkamah Agung memvonis masing-masing 15 tahun penjara.
Menyelamatkan Diri Sendiri
Jaksa Penuntut Umum dari KPK mencecar mantan anggota DPR Miryam S. Haryani terkait pertemuannya dengan Markus Nari. Saat itu Miryam masih berstatus sebagai saksi.
Miryam ditanya ihwal kabar Markus memintanya untuk mencabut keterangan di persidangan e-KTP. Tujuannya agar nama Markus tak disebut dalam BAP.
“Apakah Pak Markus pernah datang ke kantor Anda?" tanya Jaksa KPK dalam persidangan di pengadilan Tipikor pada 9 Oktober 2019.
Miryam menjawab, “Seingat saya sekali.”
Miryam mendaku lupa apakah saat itu berstatus sebagai saksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto. Namun, ia mengakui kedatangan Markus adalah permintaannya.
Miryam juga membantah pertemuan itu membahas rencana pencabutan keterangan BAP. Ia membantah pertemuan pengacara Anton Taufik di kantor pengacara Elza Syarief.
“Waktu pertemuan itu bawa BAP?" tanya Jaksa KPK.
Miryam menjawab, “tidak pernah.”
Hal itu yang membuat Miryam divonis lima tahun penjara karena dinilai sengaja memberikan keterangan palsu dalam sidang tindak pidana korupsi pada 2017.
Dalam pengembangan kasus, KPK menetapkan Miryam dan pihak lain sebagai tersangka. Mereka adalah:
- Isnu Edhi Wijaya, Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI dan Ketua Konsorsium PNRI
- Husni Fahmi, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik
- Paulus Tannos, Direktur Utama PT. Sandipala Arthaputra.
Aliran Uang
Markus Nari bersama pihak lain serta sejumlah perusahaan yang ikut dalam konsorsium pemenang proyek e-KTP dinilai merugikan negara Rp2,31 triliun.
Markus juga diduga memperkaya diri sendiri 900 ribu dolar AS dalam pengadaan proyek e-KTP.
Markus diumumkan sebagai tersangka korupsi e-KTP pada 19 Juli 2017. Saat itu KPK menduga politikus Golkar itu berperan memuluskan pembahasan anggaran dan penambahan anggaran dalam proyek e-KTP.
Selain itu, Markus diduga memperkaya sejumlah korporasi dalam proyek e-KTP.
Juru bicara KPK Febri Diansyah berkata Markus diduga ikut berperan mengatur pembahasan perpanjangan anggaran proyek e-KTP Rp1,49 triliun pada 2012.
Selain itu, Markus diduga meminta suap kepada Irman Rp5 miliar.
Akibat tindakannya, KPK menyangkakan pasal 3 dan pasal 2 ayat 1 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Hakim Ketua Franky Tambuwun dalam sidang putusan menyebut Markus Nari, sebagai anggota Badan Anggaran, berperan mengusulkan proyek e-KTP sebesar Rp1,045 triliun.
“Markus Nari menerima USD 400 ribu atau setara Rp4 miliar diungkap Sugiharto dalam persidangan. Markus bermula mengunjungi Kemendagri, uang yang diterima terdakwa berasal dari Andi Narogong sebagai pengumpul uang fee proyek,” ujar hakim.
Hakim berkata Markus tidak pernah menerima 1 juta dolar AS dari Andi Narogong melalui keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi, saat mereka di ruang kerja Setya Novanto, saat itu Ketua Fraksi Golkar.
Namun, Hakim mengatakan Irvanto hanya menyerahkan uang 1 juta dolar AS kepada Ketua Banggar DPR Melchias Mekeng.
“Irvanto melihat tapi tidak bicara dengan Markus Nari. Jaksa KPK tidak menjadikan Melchias Mekeng sebagai saksi. Maka, tidak dapat dikatakan Markus Nari menerima uang dari Irvanto," ujar hakim.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Fahri Salam