tirto.id - Elvis Presley bukan sekedar simbol seks berambut mengkilap dengan aksi panggung yang kontroversial, Elvis melampaui pesonanya dengan menjadi sebuah mitos. Ketenaran The King of Rock on Roll menobatkannya sebagai The Best Selling Solo Artists sampai saat ini.
Namun menceritakan perjalanan hidup seorang superstar bukan hal mudah. Apalagi drama perjuangan seorang bintang dengan latar belakang keluarga sederhana, telah menjadi cerita yang terus berulang. Mungkin atas dasar hal inilah, Baz Luhrmann memilih pendekatan lain dalam filmnya, Elvis. Alih-alih menggambarkan detail kehidupan dari perspektif sang legenda, ia justru menyuguhkan dongeng seorang kolonel Tom Parker.
Kolonel Tom Parker adalah figur kuat yang tidak terpisahkan dari Elvis. Sejak ia mengetahui ada seorang kulit putih yang mahir menyanyikan musik orang Afrika-Amerika, ia tahu, takdir mempertemukan mereka berdua untuk bersama-sama menaklukan dunia. Dengan kemahiran seorang penjual obat, ia berhasil melobi keluarga - terutama ibu Elvis yang taat - untuk meninggalkan rumah dan meniti kesuksesan dari panggung ke panggung.
Tidak dapat disangkal, Kolonel Parker merupakan partner yang tepat untuk melengkapi Elvis. Bersamanya, seorang seniman seperti Elvis dapat bergumul dengan karyanya tanpa perlu pusing bagaimana harus menjual lagu-lagunya.
Ia bukan hanya promotor hebat yang selalu berhasil mencarikan panggung besar bagi Elvis yang sosoknya kala itu masih menjadi aib dengan menyanyikan musik orang Afrika-Amerika, bergaya sensual, dengan lirikan maut yang menurut Kolonel, "...selalu berhasil membuat banyak gadis ingin merasakan “buah terlarang”.
Kolonel juga banyak menciptakan peluang bagi Elvis dengan melakukan strategi pemasaran menyeluruh seperti menjual atribut termasuk topi, lipstik, gelang, pemutar piringan hitam, hingga parfum dengan nama Elvis. Dia bahkan berhasil memanfaatkan kebencian haters Elvis dan menjadikannya keuntungan bagi mereka berdua dengan membuat pin yang bertuliskan "I Hate Elvis”. Keseluruhan merchandise Elvis menghasilkan lebih dari 22 juta dollar sampai tahun 1957.
Elvis menyuguhkan narasi Kolonel Parker sejak awal film dimulai. Sepanjang film, Tom Hanks yang tampil sebagai Kolonel, menceritakan kronologis perjalanan karir Elvis menurut perspektifnya sendiri, sembari terus membela diri. Dari tempat tidurnya di rumah sakit, Kolonel Tom meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah dalang atas kecanduan obat atau kematian Elvis. Ia, menurutnya, justru orang yang telah membentuk Elvis Presley dan mempersembahkan bakat musik Elvis kepada dunia.
Kolonel, oleh karena itu mempertanyakan alasan Elvis – yang telah menerima kekayaan dan kejayaan atas upayanya – yang terus memberontak. Kolonel tidak habis pikir, mengapa Elvis mau membahayakan nasibnya – dan juga karier Sang Kolonel – sehingga akhirnya ia harus mengasingkan diri di Jerman menjadi seorang tentara.
Namun, Kolonel tetaplah kolonel – seorang ahli nujum – yang yakin akan nasib baik Elvis. Ia berjanji, Elvis akan pulang menjadi pahlawan negara sekaligus aktor paling digilai wanita di seluruh Amerika Serikat. Tentu saja hal ini benar terjadi. Sampai akhirnya Elvis harus percaya, kelelahan yang harus ia rasakan karena jadwal tur yang tidak berkesudahan, hanyalah upaya Kolonel Tom Parker mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Durasi 159 menit film Elvis menjadi upaya pembelaan diri Kolonel Tom Parker terhadap apa yang dilakukannya pada The King.
Keputusan Sang Sutradara
Kepiawaian Baz Luhrmann menciptakan kemegahan sinematografi dan artistik pada sebuah film telah terbukti dengan film-filmnya yang berskala besar seperti Moulin Rouge dan The Great Gatsby. Sama seperti Elvis, film Romeo + Juliett banyak menampilkan dramatisasi cerita melalui kumpulan montage dan grafis yang berwarna.
Keglamoran ciri khas Baz Luhrmann sebenarnya cukup menjanjikan saat di awal film logo Warner Bross dan inisial namanya muncul dengan desain mewah berwarna emas mengkilap. Namun, ternyata kemewahan yang ditawarkan Baz Luhrmann di Elvis berbeda. Bukan lewat gambar, kemewahan Elvis lebih tampak pada beragamnya musik yang hadir; mulai dari country, blues, rock n roll, sampai hip hop. Dengan pengeras suara yang baik, kemegahan musik di beberapa adegan Elvis sangat terasa dan menyisakan emosi tersendiri bagi penonton.
Pada film ini, bisa dibilang dialog Tom Hanks jauh lebih banyak dari Austin Butler yang berperan sebagai Elvis, si tokoh utama. Baz banyak bercerita mengenai latar belakang dan aksi panggung Elvis dengan cuplikan-cuplikan super singkat minus kemegahan panggung, hingga penonton bahkan tidak bisa menikmati lagu-lagu Elvis dan sing a long untuk beberapa saat.
Baz Luhrmann begitu fokus pada pembelaan diri Kolonel, sehingga film ini mungkin lebih pantas berjudul "Kolonel Tom Parker". Sutradara asal Australia ini memutuskan untuk tidak menelaah secara detail emosi seorang megabintang, kegelisahannya dengan ketenaran yang ia miliki, atau menunjukkan kehilangan terdalam saat sang ibu yang merupakan sosok terpenting bagi Elvis meninggal dunia.
Profil Elvis Presley dalam film Baz ini hanya ditampilkan sebatas goyangan pinggul dan suara bariton khas Elvis. Baz berhasil menyuguhkan mitologi Elvis justru saat di akhir film ia menampilkan kumpulan footage sang legenda semasa hidup.
Emosi Elvis yang Terlupakan
Beruntung, latar belakang musik Elvis di masa kecil dan selama meniti karirnya - yang terinspirasi dengan musik gospel dan musik blues - banyak ditampilkan. Elvis menampilkan banyak pahlawan Elvis Presley, termasuk Sister Rosetta Tharpe, Big Mama Thornton, dan B.B. King. Pada beberapa adegan, kita dapat melihat betapa kuat dan eratnya kaitan antara musik blues dan musik-musik Elvis. Musik blues pada perkembangannya mempengaruhi perkembangan musik populer di Amerika Serikat termasuk jazz, rock n roll, rock, country.
Blues adalah genre musik yang besar dan berkembang di selatan Amerika Serikat sekitar tahun 1860-an oleh orang Afrika-Amerika. Musik blues berawal dari kerinduan orang Afrika-Amerika untuk pulang ke negaranya. Ketidakadilan dan kekejaman yang mereka alami sebagai pekerja perkebunan dan sebagai seorang kulit hitam, mendekatkan mereka pada kuasa Tuhan.
Mereka rajin melakukan puji-pujian berupa doa dan nyanyian sekedar untuk mendapatkan harapan dan kekuatan hidup. Dengan keterbatasan alat musik, musik blues awal dilakukan hanya dengan menciptakan ritme dari tepukan tangan ke tubuh. Dengan lirik yang lirih, mereka bernyanyi dengan nada tinggi yang disebut “blue note” yang akhirnya menjadi cikal musik blues.
Musik blues semakin berkembang dengan terjadinya Great Migration yang merupakan peristiwa perpindahan sekitar enam juta orang Afrika-Amerika pada tahun 1916 dan 1970 dari daerah pedesaan di selatan Amerika Serikat ke perkotaan di negara bagian utara. Berusaha lepas dari situasi rasial yang mencekam, orang Afrika-Amerika membentuk komunitas urban baru yang membuka celah bagi musisi untuk dapat berekspresi dengan lebih bebas. Dengan pengalaman masa lalu yang kelam dan semangat sebagai manusia bebas, musik blues yang sarat emosi menjadi musik yang tepat untuk meluapkan kegembiraan sekaligus kesedihan yang mendalam.
Mitologi Elvis tidak bisa lepas dari kegemarannya pada musik dan juga pertemanannya dengan orang Afrika - Amerika, seperti BB King, yang digambarkan selalu setia mendengarkan keluhan Elvis. Ia juga begitu terpesona dengan teriakan dan hentakan musisi blues yang sangat menjiwai. Tidak seperti penyanyi kulit putih pada umumnya yang di awal karier Elvis hanya bernyanyi dengan kaku dan datar, Elvis mengambil referensi musik yang sering ditontonnya di Jalan Beale, pada setiap aksi panggungnya dengan menyanyi sepenuh hati dan tentu saja atraktif – seperti pemusik blues.
Sayangnya, di film ini, gairah dan kecintaan Elvis pada musik yang menjadikannya King of Rock n Roll justru tertutup oleh ceramah Kolonel Parker yang terus membela dirinya. Padahal, penampilan Austin Butler sebagai Elvis sangat cemerlang. Gerik matanya, goyangan pinggulnya, hingga cara dia berbicara, seperti memperlihatkan lagi bagaimana Elvis pada masa jayanya.
Editor: Nuran Wibisono