Menuju konten utama
Pemilu & Politik Israel

Ekstremis Zionis di Balik Kembalinya Benjamin Netanyahu

Kelompok yang menyokong Netanyahu adalah Religious Zionist Party. Ini merupakan aliansi sejumlah partai berhaluan sayap kanan ekstrem.

Ekstremis Zionis di Balik Kembalinya Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan pernyataan di Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, Israel, Senin, 27 Juli 2020. AP / Tal Shahar, Yediot Ahronot, Pool

tirto.id - (Artikel sebelumnya: Bagaimana Netanyahu Berkuasa Lagi di Israel Usai Disingkirkan )

Benjamin Netanyahu kembali menjadi Perdana Menteri Israel. Bersama mitra anyarnya, ia berpotensi menghasilkan administrasi paling sayap kanan dalam sejarah negara tersebut. Mereka adalah kalangan supremasi Yahudi atau ekstremis Zionis yang anti-Arab, anti-Palestina, dan anti-LGBT.

Namanya Religious Zionist Party. Ini merupakan aliansi yang terdiri dari sejumlah partai berhaluan sayap kanan ekstrem. Mereka berhasil menyumbangkan 14 kursi, tertinggi ketiga setelah partai konservatif sayap kanan pimpinan Netanyahu, Likud (32 kursi), dan partai sekuler liberal berhaluan politik sentris, Yesh Atid (24 kursi).

Dukungan buat Netanyahu juga datang dari sekutu setia sedari lama, Shas, partai etnis minoritas Yahudi Sefardi (orang Yahudi keturunan Spanyol) dan Mizrahi (orang Yahudi keturunan Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memenangkan 11 kursi. Ditambah lagi 8 kursi dari United Torah Judaism, kelompok konservatif agamis yang mewakili kepentingan pemuka Yudaisme Haredi, agama Yahudi Ortodoks paling konservatif.

Tanpa Religious Zionist Party, mustahil bagi Netanyahu untuk mengamankan mayoritas kursi parlemen Knesset (total 65 dari 120 kursi).

Menariknya, kelompok tersebut mulanya dipandang sebagai entitas politik pinggiran (fringe). Mereka merupakan faksi kecil dalam spektrum politik sayap kanan yang berisik namun cenderung dianggap sebagai angin lalu oleh publik dan mayoritas elite atau pejabat.

Pemimpin Religious Zionist adalah Bezalel Smotrich, anak seorang rabi. Ia dikenal sebagai politikus ultranasionalis yang membenci bangsa Arab dan hobi menggeneralisasi semua orang Arab, termasuk yang berkewarganegaraan Israel, sebagai simpatisan gerakan terorisme militan Palestina.

Smotrich juga mengaku sebagai “homofobik yang bangga.” Sikap tersebut telah terlihat sedari muda. Saat masih jadi aktivis pada 2006, misalnya, ia menyelenggarakan “Beast Parade”—'Pawai Binatang Buas' di Yerusalem yang menampilkan kambing dan keledai. Ini dia buat untuk menandingi acara komunitas LGBT “Pride March”.

Sebelum menakhodai Religious Zionist Party dan duduk di bangku oposisi parlemen selama setahun terakhir, Smotrich sudah aktif di spektrum politik sayap kanan jauh, tepatnya sebagai anggota parlemen mewakili Jewish Home (2015-2019), partai yang sempat menyokong administrasi lama Netanyahu.

Smotrich juga dipandang mewakili generasi politikus muda Israel—usianya sekarang 42—yang gencar mengadvokasi pendudukan Israel di teritorial Palestina. Ketika jadi aktivis pada usia 20-an, ia pernah ditangkap pasukan keamanan Shin Bet karena dituduh memicu kericuhan dalam demonstrasi untuk menolak pembubaran pemukiman orang Israel di area Gush Katif, Jalur Gaza.

Ia juga mendirikan Regavim, lembaga swadaya yang bercita-cita mewujudkan “kedaulatan Israel” di Tepi Barat dan aktif memonitor konstruksi bangunan ilegal oleh orang Palestina atau kalangan Arab Bedouin.

Saat menjadi anggota parlemen pada 2017, Smotrich dilaporkan sangat bangga dengan lolosnya RUU kontroversial yang melegalkan pembangunan ribuan rumah bagi orang Israel di lahan milik rakyat Palestina. Peraturan tersebut ternyata juga menguntungkan Smotrich karena dia sendiri punya rumah di teritorial Palestina.

Kerakusan Smotrich akan teritorial Palestina semakin kentara baru-baru ini. Tepatnya tiga bulan silam, ia nekat mengajukan RUU untuk menerapkan kedaulatan Israel atas Tepi Barat. Artinya, hukum-hukum sipil Israel dapat diterapkan pada bangsa Palestina.

Proposal yang tak lain merupakan seruan halus untuk menganeksasi teritorial Palestina itu tidak terlalu digubris anggota parlemen lain meskipun menuai dukungan dari lembaga dan organisasi propendudukan.

Di samping itu, Smotrich terang-terangan mendukung kekerasan dalam menanggapi protes atau demonstrasi oleh publik Palestina, termasuk dari anak-anak kecil yang melempari batu ke pasukan Israel. “Saya akan menembaknya, memenjarakannya, atau mengusirnya [dari Israel],” ujarnya tahun 2016.

Masih pada tahun yang sama, Smotrich melontarkan komentar rasis tentang warga Israel keturunan Arab. Mereka adalah keturunan orang Palestina yang mendapat kewarganegaraan Israel karena leluhurnya memutuskan menetap di sisi dalam Garis Hijau—perbatasan dengan Yordania setelah negara Israel didirikan pada 1948. Jumlahnya hari ini cukup signifikan: 21 persen atau dua juta jiwa dari total populasi warga Israel.

Kala itu ia menyarankan segregasi ala apartheid untuk bangsal persalinan. Dia mau memisahkan pasien perempuan Yahudi dan Arab.

“Lumrah apabila istri saya tidak mau berbaring di samping seseorang yang anaknya mungkin bakal membunuh anak kami,” ujarnya. Istri Smotrich bahkan menimpali bahwa ia enggan dibantu oleh dokter keturunan Arab apabila melahirkan.

Tokoh-tokoh dari berbagai spektrum partai politik, termasuk yang berhaluan sayap kanan jauh, mengecam komentar Smotrich karena dianggap kebablasan dan menodai prinsip pluralisme. Netanyahu, kala itu masih menjabat perdana menteri, dikabarkan diam seribu bahasa.

Pada kesempatan lain, dalam wawancara dengan media berhaluan kiri Haaretz, Smotrich mengklaim bahwa warga negara Israel keturunan Arab sebenarnya menjalani kehidupan yang baik-baik saja di bawah pemerintahan Yahudi sampai dekade 1990-an.

“Tidak ada teror, tidak ada kekerasan, tidak ada identifikasi dengan gerakan nasionalisme Palestina, bahkan di bawah rezim militer (pemerintahan khusus untuk mengatur komunitas Arab di negara baru Israel pada 1948-66).”

“Ekstremisme nasionalis [terhadap gerakan kemerdekaan Palestina] dari warga Israel keturunan Arab baru dimulai pada tahun 1990-an, ketika kita, dengan bodohnya, membawa masuk [Presiden Palestina Yasser] Arafat serta Organisasi Pembebasan Palestina dari Tunisia dan memupuk harapan pada bangsa Arab di Yudea dan Samaria (sebutan untuk Tepi Barat, teritorial Palestina),” paparnya lagi.

Kebencian Smotrich terhadap warga keturunan Arab masih digaungkan sepanjang tahun lalu. Di Twitter, Smotrich berkicau bahwa “seorang muslim sejati seharusnya tahu bahwa Tanah Israel dimiliki oleh bangsa Yahudi,” lalu menyebut bahwa orang Arab “yang tidak mengakui hal itu tidak akan [dibiarkan untuk] menetap” di Israel.

Beberapa waktu kemudian, Smotrich mengatakan bahwa anggota parlemen dari partai Arab belum bisa dianggap sebagai “mitra sah” pemerintah Israel karena mereka masih menentang eksistensi negara Yahudi, termasuk bersimpati pada rakyat Palestina. Orang Palestina, katanya, adalah “musuh-musuh paling jahat” yang mau “menghancurkan” negaranya.

Tak berhenti di situ, Smotrich menuding kehadiran anggota parlemen dari partai Arab sebagai “kecelakaan” atau “kesalahan” yang diwariskan oleh bapak pendiri negara Israel, David Ben-Gurion. Menurut Smotrich, Ben-Gurion “tidak menuntaskan pekerjaannya dan tidak mengusir kalian (warga Israel keturunan Arab) pada 1948”—merujuk pada era Perang Kemerdekaan atau Nakba (“Malapetaka Palestina”) ketika orang-orang Arab-Palestina diusir dan berbondong-bondong melarikan diri dari gempuran pasukan Israel.

Pandangan ekstremis Smotrich bahkan sampai bikin gusar komunitas Yahudi nun jauh di Inggris, Board of Deputies of British Jews. Awal tahun ini, ketika Smotrich berkunjung ke sana, organisasi yang dianggap tidak terlalu vokal ini tiba-tiba melontarkan kalimat kasar dalam kicauan di Twitter untuk menegaskan penolakannya terhadap pandangan-pandangan Smotrich—lalu mengusir Smotrich agar kembali ke Israel.

Infografik Bezalel Smotrich

Infografik Bezalel Smotrich. tirto.id/Fuad

Di balik beragam ujaran penuh kebencian dari mulut Smotrich, ia tetap dirangkul mesra oleh Netanyahu, yang selama ini bekerja keras meraup seluruh kekuatan politik sayap kanan agar terkonsentrasi di ketiaknya—tak lain demi membantunya merangkak kembali ke pucuk pemerintahan.

Sebagai pihak yang merasa membantu Netanyahu mengamankan mayoritas kursi di parlemen, sudah tentu Smotrich minta “jatah”. Tak main-main, yang dimintanya adalah posisi signifikan di kabinet: menteri pertahanan. Dengan jabatan itu, ia punya otoritas untuk mengawasi kebijakan pemerintah di wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, termasuk yang berkaitan dengan izin konstruksi bangunan pemukiman warga.

Di sisi lain, Netanyahu dirumorkan bakal menawarinya jabatan menteri keuangan.

Apa pun jabatan yang Netanyahu hadiahkan buat Smotrich nanti, pemenang terbesar atau pihak paling diuntungkan dalam kemitraan ini tak lain adalah Netanyahu sendiri. Mengapa demikian?

Sebulan silam, Smotrich berkoar-koar bahwa ia akan melakukan reformasi hukum untuk memperbaiki sistem legal yang “sakit” di Israel. Kata dia, proposal tersebut adalah prasyarat yang diajukan partainya, Religious Zionist Party, untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan pascapemilu.

Masih menurut Smotrich, reformasi tersebut akan membatalkan delik-delik terkait penipuan dan pelanggaran kepercayaan (breach of trust)—tuduhan yang membuat Netanyahu terbelenggu proses pengadilan bertahun-tahun dan mengancam posisinya sebagai orang nomor satu di pemerintahan.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait BENJAMIN NETANYAHU atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino