Menuju konten utama

Ekspedisi Snellius: Upaya Belanda Mengorek Perairan Timur Nusantara

Setelah Perang Dunia I, Belanda memulai lagi ekspedisi untuk meneliti keanekaragaman alam di perairan Indonesia timur.

Ekspedisi Snellius: Upaya Belanda Mengorek Perairan Timur Nusantara
Kapal MS Snellius; 1952. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Sejak ratusan tahun lalu, wilayah perairan Nusantara yang sangat luas telah mengundang banyak negara asing untuk meneliti kekayaan dan fenomena-fenomena yang terkandung di dalamnya. Dalam “Dutch Oceanographic Research in Indonesia in Colonial Times” (Jurnal Ocenography Vol. 18, No. 4, Desember 2015) yang ditulis Hendrik M. van Aken, sejak 1768 sampai 1900 setidaknya 6 negara telah melakukan penelitian, yaitu Perancis, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Austria, dan Jerman.

Dalam rentang waktu 132 tahun tersebut, yang paling akhir melakukan ekspedisi adalah Belanda. Mereka melakukan ekspedisi menggunakan kapal Siboga, atau sebagian sumber menyebutnya Sibolga, dari 1899 sampai 1900. Menurut catatan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Ekspedisi Siboga menitikberatkan penelitiannya pada aspek biologi laut, sementara aspek-aspek lain seperti oseanografi, fisika, kimia, serta geologi masih sedikit tersentuh.

Perang Dunia I yang meletus di Eropa dari 1914 hingga 1918 menyebabkan kegiatan penelitian laut di seluruh perairan dunia mengalami penurunan. Baru pada 1925, Jerman melakukan lagi penelitian di Samudra Atlantik bagian selatan lewat Ekspedisi Meteor.

Ekspedisi Snellius Dimulai

Di tahun yang sama ketika Jerman meluncurkan Ekspedisi Meteor, seorang hidrografer Belanda, Commander Luymes, mengusulkan kepada Society for Scientific Research in the Netherlands Colonies dan Royal Netherlands Geographical Society untuk melakukan lagi penelitian kelautan di perairan Nusantara.

Karena Ekspedisi Siboga lebih menitikberatkan pada aspek biologi, maka kali ini Luymes mengusulkan untuk memberikan porsi yang besar pada aspek fisika dan kimia serta geologi laut.

Setelah melakukan pelbagai persiapan, ekspedisi yang diusulkan Luymes akhirnya baru bisa terwujud pada 1929. Kapal yang akan dipakai untuk melakukan ekspedisi dibangun di galangan Feyenoord di Rotterdam, dan selesai pada November 1928. Kapal ini diberi nama Willebrord Snellius, diambil dari nama ilmuwan Belanda bidang astronomi, fisika, dan matematika, yang hidup pada 1580-1626.

Seperti Ekspedisi Siboga, penamaan ekspedisi ini mengacu pada nama kapal yang digunakan, yaitu Ekspedisi Snellius. Karena 50 tahun kemudian dilakukan lagi penelitian laut atas kerja sama pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia, maka ekspedisi pertama pasca-Perang Dunia I itu kemudian disebut Ekspedisi Snellius I.

Pada 9 Maret 1929, kapal Snellius bertolak ke Surabaya dan sempat singgah di pelabuhan Emma Haven di Teluk Bayur, Padang. Dari Surabaya, tepatnya pada 27 Juli 1929, Snellius menuju daerah penelitian di perairan timur Nusantara, yakni antara Paparan Sunda dan Paparan Sahul.

Setelah setahun lebih berlayar dan menempuh jarak 34.000 mil, akhirnya Snellius kembali ke Surabaya pada 15 November 1930. Ekspedisi yang dipimpin P.M. van Riel ini di antaranya meneliti sejumlah lubuk dan palung, yang mencakup struktur dan gerakan massa air, dan menetapkan Palung Banda sebagai palung terdalam di perairan Nusantara. Palung yang kedalamannya mencapai 7,2 kilometer ini kemudian oleh sejumlah ilmuwan disebut berpotensi menyebabkan tsunami besar.

Salah satu catatan penting dari ekspedisi ini adalah para peneliti berhasil memetakan lubuk dan palung secara baik. Dalam catatan mereka, penampang lubuk rata-rata berbentuk “U”, sementara penampang palung menyerupai huruf “V”. Ambang laut berfungsi sebagai ventilasi dan sangat menentukan bagi jalur aliran massa air dan pasokan oksigen bagi lubuk dan palung tersebut.

Ambang laut adalah perbukitan atau pergunungan bawah laut yang memisahkan dua lubuk atau dua palung. Bisa dikatakan ambang laut adalah bekas daratan yang akhirnya tenggelam. Jadi, peluang adanya kehidupan pada lubuk atau palung bukan ditentukan oleh kedalaman, tapi oleh ambang laut yang berfungsi sebagai ventilasi. Jika ambang laut atau dasar laut dangkal ini menjadi daratan, maka ventilasi lubuk atau palung yang menjadi aliran masa air dan oksigen akan terhalang.

Dalam catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), selain berhasil memetakan lubuk dan palung, Ekspedisi Snellius I juga dapat menyajikan peta-peta batimetri atau kedalaman laut termasuk karakteristik sedimennya.

Keberhasilan Ekspedisi Snellius I kiranya sejalan dengan visi Luymes sebagai penggagas. Ia pernah menyatakan, ekspedisi tersebut dilakukan sebagai penegasan klaim bahwa “Hindia Belanda bukan hanya negara tropis yang paling baik pemerintahannya, tapi juga yang paling maju secara ilmiah”.

Infografik Ekspedisi Snellius

Lima Kapal Menyigi Ulang

Setengah abad lebih setelah Ekspedisi Snellius I, pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia melakukan kerja sama untuk meneliti kembali perairan timur Nusantara. Gagasan ini dilontarkan UNESCO Division of Marine Science. Pertimbangan UNESCO adalah karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin termutakhirkan, penelitian laut pun kemungkinan akan menghasilkan temuan-temuan baru yang lebih kaya.

Indonesia diwakili LIPI dan Belanda diwakili Netherlands Council for Oceanic Research yang berada di bawah Netherlands Organization for the Advancement of Science. Dalam kerjasama tersebut, disepakati bahwa ekspedisi kali ini terdiri dari lima tema penelitian, yakni geologi dan geofisika, ventilasi lubuk-lubuk laut dalam, sistem pelagis, terumbu karang, dan dampak sungai terhadap lingkungan laut.

Ekspedisi kali ini memakai lima kapal, tapi penamaannya melanjutkan ekspedisi pertama, yakni Ekspedisi Snellius II. Lima kapal itu adalah Tyro (digunakan oleh Institut Penelitian Laut Kerajaan Belanda), Samudera (LIPI), Jalanidhi (TNI-AL), Tenggiri (Balai Penelitian Perikanan Laut), dan Hatiga (Pusat Penelitian Geologi Laut), .

Pelaksanaan ekspedisi yang dimulai sejak Juni 1984 dan berakhir pada Oktober 1985 ini menghasilkan sejumlah pengetahuan baru, di antaranya dari aspek geologi dan geofisika, memberikan pemahaman tentang pergerakan kerak bumi, geokimia, dan akumulasi minyak serta gas lepas pantai. Selain itu, ada juga kajian tentang kegunungapian bawah laut yang salah satunya berfungsi untuk mitigasi bencana.

Aspek-aspek lain, yakni ventilasi lubuk-lubuk laut dalam, sistem pelagis, terumbu karang, dan dampak sungai terhadap lingkungan laut, juga berhasil diteliti dan dikaji ulang.

Setelah Ekspedisi Snellius II berakhir, beberapa ekspedisi serupa di kawasan timur Indonesia terus dilakukan, di antaranya Ekspedisi Hahuko Maru (1986), Ekspedisi IASSHA (2001), Ekspedisi Bandamin I dan Ekspedisi Indonesia-Japan Deepsea Java Expedition (2002), Ekspedisi Bandamain II (2003), Ekspedisi Laut Banda (2005), dan lain-lain.

Dari sejumlah penelitian tersebut ditemukan sumber-sumber mineral, gunung api dasar laut, spesies baru karang laut dalam, dan sebagainya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan