tirto.id - Abu Bakar al-Baghdadi tewas dalam serangan pasukan AS di Idlib, Suriah. Kematian pendiri organisasi teroris ISIS tersebut dikonfirmasi langsung oleh Presiden AS, Donald Trump, dalam konferensi pers di Gedung Putih, Washington, Minggu (27/10) kemarin.
“Semalam, AS membawa pemimpin teroris nomor satu di dunia itu ke ‘pengadilan’. Abu Bakar al-Baghdadi sudah mati,” kata Trump. “Ia adalah pendiri dan pemimpin ISIS. Organisasi teror paling kejam di dunia. AS mencari Baghdadi selama bertahun-tahun. Baghdadi telah menjadi prioritas utama keamanan nasional di pemerintahan saya.”
Baghdadi tewas bersama tiga anaknya yang masih kecil. Sebelum tewas, Baghdadi sempat berlari ke sebuah terowongan buntu. Anjing-anjing tentara AS mengejar Baghdadi, sebelum akhirnya ia meledakkan diri bersama tiga anaknya di dalam terowongan tersebut.
Teror (Akan) Terus Berlanjut?
Kematian Baghdadi semakin melengkapi mimpi buruk ISIS sepanjang 2019, setelah beberapa bulan silam Pasukan Demokratik Suriah (SDF)—diisi milisi-milisi Kurdi—berhasil merebut wilayah terakhir mereka di Baghouz, Suriah. Pencapaian milisi SDF tersebut sekaligus mengakhiri kekuasaan ISIS di tanah Irak dan Suriah.
Tak punya wilayah sonder pemimpin seketika memunculkan pertanyaan: bagaimana nasib ISIS selepas ini? Apakah kematian Baghdadi benar-benar mengakhiri kampanye teror ISIS?
Jawabannya bisa jadi tak semudah itu.
Sejak mengumumkan kekhilafahan di Mosul (Irak) pada 2014 dan memutuskan pecah kongsi dengan al-Qaeda dua tahun kemudian, ISIS di bawah komando Baghdadi telah menjelma kelompok militan paling tangguh sekaligus ditakuti di dunia.
Didorong keinginan mewujudkan kejayaan Islam di masa lampau, ideologi Baghdadi berhasil menarik ribuan orang di seluruh dunia untuk bergabung dengan ISIS dan berbaiat kepada Baghdadi. Sejak itu perlahan ISIS membangun kekuatan. Mereka merebut beberapa wilayah di Irak, Suriah, dan menggantikannya dengan sebuah negara yang mengusung panji khilafah. Di tempat-tempat itu ISIS memberlakukan pajak, sistem peradilan yang brutal, dan melegalkan perbudakan. Semuanya dilakukan atas nama Islam.
Tewasnya Baghdadi takkan serta merta membunuh gerak ISIS. Laporan BBC menyebut bahwa ISIS bakal menemukan cara untuk beradaptasi usai tewasnya Baghdadi.
“Sebuah komite,” tulis BBC, “sudah mempertimbangkan sejumlah kandidat [pengganti Baghdadi]. Syarat untuk peran tersebut antara lain setia kepada ISIS, punya kemampuan strategis yang mumpuni dan iman sempurna, lebih disukai, berpengalaman di medan perang, serta berani memberikan hukuman yang keras.”
Selain regenerasi pemimpin, faktor berikut yang membikin ISIS akan terus eksis adalah popularitas ideologi radikal Baghdadi di mata pengikutnya yang diprediksi senantiasa awet, demikian tulis Santiago Segarra, Ali Jadbabaie, dan Richard Nielsen dalam “Baghdadi’s Martyrdom Bump” yang terbit di Foreign Policy (2019). Pendeknya, Baghdadi boleh saja tewas tapi tidak dengan ide-idenya.
Soal ini, terang ketiganya, dapat dibaca dari kasus kematian pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, pada 2011 silam. Nyatanya, kematian bin Laden tak otomatis menghentikan aksi teror di kalangan pengikutnya. Gagasannya soal Islam dan kebencian terhadap Barat tetap dipupuk, dan dimanifestasikan dengan aksi-aksi teror.
Berita kematian bin Laden, di saat bersamaan, juga mendorong orang-orang untuk mencari tahu lebih banyak—dan dalam—akan sosok maupun gagasannya. Sehari setelah bin Laden tewas, misalnya, jumlah lalu lintas pencarian atas beritanya mencapai 10 ribu.
Hal serupa diperkirakan juga bakal menimpa Baghdadi. Pasalnya, Baghdadi dinilai memperkenalkan gagasan baru soal jihad, di mana legitimasi atas wilayah dan konsep kekhalifahan menjadi faktor krusial bagi cita-cita yang diusung kelompok bersangkutan. Kematiannya tak merusak ide tersebut—malah berpeluang mendorong kelompok radikal lainnya untuk menggunakan logika serta branding “Negara Islam” guna membenarkan tujuan yang ada.
Anggapan bahwa ISIS akan terus hidup kian tebal ketika melihat perubahan pola gerak mereka. Sejak 2017, sifat gerakan ISIS jadi lebih tradisional. Aksi teror mereka cenderung lebih sederhana, dilakukan secara tunggal (lonewolf), dan menggunakan alat-alat berteknologi rendah. Langkah semacam ini mereka ambil karena paham semakin rumit aksinya, semakin besar pula potensi digagalkan oleh aparat keamanan.
Yang harus diperhatikan sekarang yakni menangkal respons kelompok teroris lain yang telah berbaiat kepada ISIS. Jumlah mereka tak sedikit dan berkembang di sejumlah wilaya (provinsi) di Afghanistan, Libya, Afrika Barat, Asia Selatan, sampai Asia Tenggara—termasuk Filipina dan Indonesia.
Natasha M. Ezrow dalam Global Politics and Violent Non-state Actors (2017) menjelaskan bahwa kematian seorang pemimpin kelompok teroris tak selalu mengakhiri kelompoknya. Mereka bisa berumur panjang dengan mengandalkan jaringan sel-sel tidur yang telah dibina.
Studi lain juga memperlihatkan kematian pemimpin kelompok teroris bisa mendorong lahirnya aksi balasan yang tak kalah mengerikan.
Demi Tujuan Politis
Berhasil membunuh pemimpin teroris, bagi Presiden AS, adalah prestasi yang dinilai mengesankan sekaligus menguntungkan secara politik.
Delapan tahun lalu, kematian orang nomor satu di al-Qaeda, Osama bin Laden, disambut dengan suka cita oleh Barack Obama. Ia menyebut tewasnya bin Laden adalah pertanda “hari baik bagi Amerika,” seraya meyakini bahwa dunia akan jadi tempat yang lebih aman.
Osama bin Laden sendiri tewas dalam serangan pasukan khusus AS di sebuah kompleks di Abbottabad, Pakistan. Ia menduduki urutan puncak daftar “orang paling dicari” AS karena dituduh mendalangi serangan terhadap World Trade Center dan sejumlah lokasi lainnya—seperti di Washington—pada 11 September 2001.
Kematian bin Laden tak cuma mengakhiri kebijakan Perang Melawan Teror (GlobalWar on Terror) yang dicanangkan George W. Bush, tapi juga berandil dalam mengerek popularitas Obama di mata masyarakat AS.
Jajak pendapat yang dilakukan Gallup memperlihatkan bahwa popularitas Obama naik enam poin usai kematian bin Laden, dari 46 persen menjadi 52 persen. Survei diambil dari wawancara telepon pada 2 sampai 4 Mei 2011, dengan koresponden sebanyak 1.558 orang dewasa (berusia 18 tahun ke atas) di 50 negara bagian AS serta Distrik Columbia.
Laporan Gallup menyebutkan, apa yang dialami Obama bukanlah sesuatu yang istimewa. Dalam jagat politik AS, hal ini disebut the rally ‘round the flag effect—meningkatnya dukungan kepada presiden atas peristiwa internasional tertentu.
Popularitas Richard Nixon melonjak 16 poin saat perjanjian damai Perang Vietnam ditandatangani. Lyndon Johnson dapat 14 poin usai mengumumkan akan mengentikan pemboman di Vietnam Utara. John F. Kennedy meraih peningkatan 12 poin pasca-Krisis Rudal Kuba.
Peningkatan terbanyak dipegang oleh George W. Bush tak lama usai pesawat menabrak gedung di kompleks WTC di New York. Ia mendapatkan lonjakan 35 poin—meskipun setelahnya ia diprotes gara-gara kebijakan Perang Melawan Teror.
Polanya, mengutip Council on Foreign Relations, “orang Amerika cenderung mendukung presiden setelah peristiwa besar terlepas apakah pristiwa tersebut membawa kabar baik atau buruk.”
Kendati popularitasnya menanjak, Obama tak luput dari kritik. Ia dipandang mengeksploitasi habis-habisan kematian bin Laden untuk kampanye Pilpres 2012.
“Obama seharusnya malu karena mengurangi esensi memori 11 September dengan mengubah peristiwa pembunuhan bin Laden sebagai iklan politik yang murahan,” tegas John McCain, yang saat itu adalah senator Republikan dari Arizona, seperti diwartakan Politico.
Kerasnya kritik yang dialamatkan kepada Obama, toh, tak menghentikannya menang dalam Pilpres 2012.
Bagaimana dengan Trump?
Prediksi Bloomberg menunjukkan jika memang ada peningkatan poin popularitas untuk Trump, kemungkinan “kecil dan singkat”. Alasannya, pertama, sosok Baghdadi dinilai tak sebesar bin Laden. Ini membuat masyarakat AS kurang mencurahkan perhatiannya kepada peristiwa tewasnya Baghdadi—ditambah lagi tidak ada memori kolektif seperti peristiwa 9/11 yang mengawali kisah perburuan AS terhadap bin Laden.
Kedua, dan ini yang mungkin sangat berpengaruh, citra Trump sendiri sudah tak terlalu positif di mata publik akibat serangkaian kasus yang melibatkan namanya, mulai dari dugaan kecurangan Pilpres 2016, rencana pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko, larangan masuk bagi orang-orang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas muslim, sampai skandal dengan Ukraina yang berujung wacana pemakzulan (impeachment).
Operasi militer yang menewaskan Baghdahi diperkirakan sulit untuk mengerek popularitas Trump di mata masyarakat AS yang kadung ambyar. Data dari FiveThirtyEight memperlihatkan, sejak Maret 2017, tingkat ketidaksukaan masyarakat terhadap Trump selalu berada di kisaran angka 50 persen. Yang terbaru (29 Oktober), persentasenya menyentuh 54,1 persen.
Tampil dengan gagah ketika mengumumkan kematian Baghdadi memang tak lantas menjadikannya idola masyarakat AS.
Editor: Windu Jusuf