Menuju konten utama

Ekonom & YLKI Kritik Kebijakan ATM Link yang Tarik Biaya Transaksi

Ketua YLKI Tulus Abadi menilai kebijakan ATM Link tarik biaya tidak adil dan membuat warga makin malas menyimpan di bank.

Ekonom & YLKI Kritik Kebijakan ATM Link yang Tarik Biaya Transaksi
Ilustrasi ATM. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN sepakat untuk mengenakan biaya untuk segala bentuk transaksi pada ATM Link. Kebijakan ini bakal berlaku mulai 1 Juni 2021.

Nantinya nasabah pemilik ATM Mandiri yang mengecek saldo, dan menarik tunai uang dari ATM Link Bank BRI akan dikenakan biaya beragam. Begitu juga untuk nasabah Bank BRI yang bertransaksi menggunakan ATM Link Bank Mandiri, Bank BNI, maupun Bank BTN, dan berlaku sebaliknya.

Ekonom dari Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai hal ini merupakan cara operator ATM cari pemasukan tambahan di tengah pandemi COVID-19. Ini tercermin dari turunnya laba bank ditambah tingginya biaya operasional, kata Bhima.

"Laba bank BUMN merosot tajam sepanjang 2020 lalu, kemudian beban biaya operasional masih tinggi seperti sewa gedung sampai gaji karyawan. Investasi digital itu butuh modal besar juga dengan persaingan yang makin ketat. Jadi mereka coba cari jalan keluar dengan biaya tambahan ATM untuk tutupi kehilangan penurunan pendapatan dari kredit. Fee based income yang dikejar," kata dia kepada reporter Tirto, Minggu (23/5/2021).

Hal senada diungkapkan ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal. Saat ini bank memang tengah tergencet tingginya dana pihak ketiga sementara penyaluran kredit rendah, kata dia. Artinya, mereka harus membayar bunga ke pemilik dana, tapi sulit menarik bunga dari masyarakat karena penyaluran kreditnya seret.

"Dana pihak ketiga ya data dana pihak ketiga di tahun 2020 itu kan tinggi," terang dia kepada reporter Tirto, Minggu (23/5/2021).

Tanggapan keras bahkan disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia menjelaskan kebijakan ini tidak adil untuk masyarakat. Seharusnya, kata dia, bank mencari keuntungan dari selisih bunga yang diberikan ke DPK dengan bunga yang diperoleh dari Kredit.

"Ini malah menjadikan biaya admin sebagai pendapatan utama. Ini tidak fair. Jika dicermati, hidupnya bank hanya mengandalkan biaya admin dari nasabah. Coba kita cermati, setiap nasabah per bulan minimal dipotong Rp14.000 belum biaya lain lain, seperti pajak. Jadi lama lama uang nasabah itu habis dimakan biaya administrasi," kata dia kepada reporter Tirto, Minggu (23/5/2021).

Kondisi ini akan mendorong orang semakin unbankable alias tidak menyimpan uang di bank karena biaya administrasinya tinggi.

"Apalagi jika cek saldo dikenakan biaya, makin tekor konsumen, saldonya makin tergerus. Lalu apa gunannya menyimpan uang di bank? Lebih baik nyimpan di rumah saja," terang Tulus.

Baca juga artikel terkait ATM LINK atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz