tirto.id - RUU yang bermasalah menjadi salah satu tuntutan demo mahasiswa hari ini di Jakarta. Demo mahasiswa juga terjadi di berbagai kota, mulai dari Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, Purwokerto dan lain-lain.
Demo mahasiswa ini kurang lebih menuntut hal yang sama soal rancangan undang-undang atau RUU yang bermasalah. Beberapa RUU bermasalah yang didemo mahasiswa adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan.
Demo ini juga memicu tanda pagar Hidup Mahasiswa dan Turunkan Jokowi di trending topic Twitter pada Selasa (24/9/2019) pukul hingga pukul 10.48 WIB.
RKUHP
RKUHP yang telah disepakati Panitia Kerja (Panja) dan pemerintah ini sejatinya hanya tinggal disahkan di rapat paripurna DPR. Namun, banyaknya penolakan dari publik membuat Presiden Jokowi meminta agar pengesahannya ditunda hingga DPR RI periode 2019-2024.
Salah satu yang bermasalah dalam RKUHP adalah dugaan akan memanjakan koruptor. Sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi di RKUHP justru dilengkapi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.
Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.
RKUHP juga tidak mengatur mekanisme pengembalian kerugian negara. Para koruptor yang sudah divonis bersalah hanya harus menjalani hukuman penjara dan membayar denda--itu pun kalau diputus demikian--tanpa harus mengembalikan duit negara yang terkuras karena perbuatannya itu.
Mahasiswa yang melakukan demo Gejayan Memanggil menyebut RKUHP mengebiri demokrasi. RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Mereka mencontohkan pasal yang mengatur soal 'Makar'. Pasal soal makar berisiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi.
Tidak hanya soal makar, pasal-pasal dalam RKUHP juga dinilai mengkriminalisasi berbagai bentuk perlakuan masyarakat atas nama zina, hukum yang berlaku di masyarakat (living law)—yang berpotensi menjadi pasal karet, bahkan mengkriminalisasi gelandangan dengan pidana denda satu juta rupiah.
RUU Pertanahan
Seperti RKUHP, RUU Pertanahan juga sarat kontroversi. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan beberapa pasal di dalamnya rentan mengkriminalisasi masyarakat.
Salah satunya Pasal 91, yang berbunyi: "Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp500 juta." (draf per 9 September 2019).
"RUU Pertanahan akan banyak memberikan legitimasi kepada aparat, petugas Kementerian ATR, dan polisi untuk mempidana masyarakat," ujar Dewi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (20/9/2019).
Kriminalisasi akan terjadi ketika, misalnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pengukuran tanah tapi pada saat itu warga menolak tanahnya dilepaskan.
"Petani-petani yang berada di wilayah yang diklaim negara sebagai tanah negara atau hutan negara atau desa-desa atau sawah-sawah yang ada di dalam konsesi perkebunan atau kehutanan, akan kena pasal pemidanaan itu. Mengerikan."
Dewi juga menyoroti Pasal 95, yang bunyinya "setiap orang atau kelompok yang mengakibatkan sengketa lahan akan dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar."
Ia mengambil contoh konflik agraria di Sukamulya, Majalengka, Jawa Barat, yang terjadi lantaran pemerintah menyerobot lahan pertanian demi membangun Bandara Internasional Jawa Barat (BJIB). Belakangan, bandara itu sepi dan terus merugi karena dianggap salah perencanaan.
"Padahal, yang harusnya dijatuhkan sanksi berat adalah korporasi skala besar yang menguasai tanah dan berkonflik di atas tanah masyarakat," tegasnya.
Atas dasar itu Dewi mendesak RUU Pertanahan tak disahkan, setidaknya dalam masa sidang tahun ini.
RUU Pemasyarakatan
RUU PAS juga mendapat kritik habis-habisan dari masyarakat. Masyarakat mengkritik karena peraturan tersebut dianggap tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi.
RUU PAS dianggap akan memanjakan koruptor dengan sejumlah pasal yang kontroversial. Di dalam draf RUU PAS, DPR dan pemerintah seperti mempermudah napi korupsi dapat remisi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, syarat koruptor mendapat remisi adalah ia mengantongi rekomendasi KPK.
Sementara salah satu kriteria untuk memperoleh rekomendasi, ia harus menjadi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum alias justice collaborator.
Masalahnya, dalam draf RUU PAS, PP ini ditiadakan. Pemerintah dan DPR mengembalikan aturan pelaksanaan remisi ke PP Nomor 32 Tahun 1999.
RUU Pemasyarakatan masuk dalam enam agenda pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan terhadap RUU di sidang paripurna DPR RI hari ini, Selasa (24/9/2019).
Presiden Joko Widodo saat di Istana Negara, Jakarta, Senin kemarin, meminta menunda pengesahan empat RUU: KUHP, Minerba, Pertanahan dan Pemasyarakatan. Akan tetapi DPR RI mengabaikannya.
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengatakan, DPR RI tetap akan melanjutkan agenda tersebut. Nantinya Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, sebagai perwakilan pemerintah bisa memberikan pandangannya. Termasuk apabila ada permintaan dari Presiden Jokowi untuk menunda disahkan.
RUU Ketenagakerjaan
Aliansi Rakyat Bergerak yang demo saat Gejayan Memanggil menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang dinilai tidak berpihak pada pekerja.
Menurut aliansi tersebeut, RUU Ketenagakerjaan yang dirancang demi pasar tenaga kerja yang lebih kompetitif memeras keringat buruh. Terkait pesangon misalnya, masa kerja minimal yang lebih panjang yakni 9 tahun, jika hal tersebut diakomodasi dalam UU, maka gelombang PHK akan terjadi di mana-mana.
Selain itu usulan pengusaha untuk merevisi batas waktu kenaikan upah minimum jadi dua tahun sekali jelas tidak memerhatikan kesejahteraan buruh.
Ditambah lagi, usulan pengusaha untuk merevisi ketentuan kontrak kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun semakin memberatkan buruh dengan segala ketidakpastian. Di titik ini, RUU Ketenagakerjaan jelas tidak berpihak pada buruh, pemerintah seakan abai dan tidak peduli kesejahteraan buruh.
RUU Minerba
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba mendesak Komisi VII DPR RI dan Presiden Joko Widodo untuk menunda pembahasan draft RUU mineral dan batu bara (Minerba).
Menurut koalisi tersebut, RUU Minerba terkesan kejar tayang dan diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan sesaat.
Dalam hal ini, dugaan terkait rencana mengakomodir perpanjangan sejumlah perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah dan akan berakhir dalam waktu dekat.
Belum lagi, Kementerian ESDM sempat mencabut Surat Keputusan (SK) pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai penggati PKP2B kepada PT Tanito Harum yang diterbitkan pada 11 Januari 2019 yang lalu.
Selain Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga meminta kepada pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan RUU Minerba.
Sebab, menurut Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, jika RUU Minerba diselesaikan sebelum masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 ini berakhir, maka sangat rentan dengan transaksi politik.
"Jadi kami minta pembahasan ini hati-hati dengan cara menunda dulu perbincangan. Karena berada di momen transisi politik atau pergantian dengan anggota DPR yang baru," ujarnya usai melakukan diskusi bertajuk "Rancangan Peraturan Percepatan Investasi. Predator Bagi Ruang Hidup Rakyat"
Merah menerangkan, salah satu poin yang Jatam khawatirkan yaitu pasal 169 tentang kontrak karya. Apalagi saat ini, ia mengatakan, terdapat tujuh perusahaan tambang besar yang akan habis kontraknya.
Selain itu, lanjut dia, masih terdapat beberapa pasal lainnya yang berada di dalam RUU Minerba yang hanya menguntungkan perusahaan tambang dan tidak berpihak terhadap masyarakat.
RUU PKS
Selain 5 RUU bermasalah yang telah disebutkan di atas, mahasiswa juga mempermasalahkan soal RUU PKS dan UU KPK. RUU PKS adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum juga disahkan.
Demo mahasiswa menuntut RUU PKS segera disahkan karena menjadi permasalahan yang urgen. Dalam RUU PKS, awalnya KOMNAS Perempuan menggolongkan jenis kekerasan seksual ke dalam sembilan jenis kekerasan seksual, yang kemudian ditambahkan menjadi lima belas berdasarkan hasil riset empiris yang dilakukan oleh KOMNAS Perempuan.
RUU PKS dianggap mampu mengakomodasi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak bisa terakomodasi secara hukum. Aliansi mahasiswa mencontohkan, dalam KUHP, kekerasan seksual hanya diatur dalam konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan.
Ruang lingkup pengaturan mengenai penghapusan kekerasan seksual yang diatur dalam RUU PKS ini mampu mengakomodasi berbagai peraturan mengenai penghapusan kekerasan seksual meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga penindakan pelaku.
UU KPK
Mahasiswa pun memprotes dan menolak pengesahan UU KPK yang dinilai melemahkan KPK. Banyak pasal dalam perubahan kedua UU KPK yang disahkan DPR pada Selasa, 17 September 2019. Dalam catatan resmi yang dilansir KPK, disebutkan ada 10 isu dalam revisi ini yang melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi, yaitu:
- Independensi KPK terancam yang akan terancam.
- Penyadapan dipersulit dan dibatasi.
- Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
- Sumber penyelidik dan penyidik dibatasi.
- Penuntutan perkara korupsi harus melalui koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
- Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.
- Kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas.
- Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan.
- KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan yang berisiko menciptakan potensi intervensi kasus menjadi rawan.
- Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.
Editor: Agung DH