tirto.id - Eggi Sudjana mempertanyakan sikap Mahkamah Agung yang menerima upaya Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebab, menurutnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan Peradilan Negeri atas kasus Ahok sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
"Secara formil urutan peradilan umum di Indonesia yang diatur KUHAP tidak sistematis. Karena Ahok menerima Putusan PN Jakut, membuktikan bahwa secara formil sekaligus materiil gugur hak hukum dari Ahok untuk melakukan upaya PK, " ungkap Eggi saat menggelar konferensi pers kantornya, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (19/2/2018)
Ia menuturkan, seharusnya Ahok menempuh banding dan kasasi setelah hakim pengadilan negeri Jakarta Utara membacakan vonis terhadap dirinya. Lantaran hal tersebut tidak dilakukan, maka Ahok dianggap menerima putusan pengadilan yang mempidanakanya selama dua tahun dan upaya banding seharusnya gugur di MA.
"Dengan demikian logika hukumnya Mahkamah Agung seharusnya menolak permohonan PK Ahok, bukan malah menerima dan memberi tanggal 26 Februari 2018 untuk sidang perdananya," imbuh Eggi.
Ia juga mencurigai adanya modus untuk mengurangi hukuman Ahok dengan menempuh jalan PK. Sebab, jika sebelumnya Ahok mengajukan banding atau kasasi, maka ada kemungkinan hukumannya bisa diperberat.
Sedangkan, dengan langsung mengajukan PK, mustahil hukuman yang diperoleh Ahok di pengadilan tingkat pertama diperberat oleh majelis hakim. Dasar ketentuan iru diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: "Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula".
Sebelumnya, Karo Hukum dan Humas MA Abdullah menyampaikan bahwa majelis hakim yang akan memproses permohonan PK Ahok telah ditunjuk dan akan langsung menggelar sidang perdana pada tanggal 26 Februari mendatang.
Sementara Ahok, hingga saat ini masih mendekam di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, usai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara pada 9 Mei 2017 lalu.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto