tirto.id - Tepat pada hari ini, 5 Agustus 1962 dini hari, telepon kantor polisi Brentwood, California, berdering nyaring. Panggilan itu ternyata datang dari kediaman bintang film yang paling dipuja banyak lelaki kala itu: Marilyn Monroe. Pembantu Marilyn yang bernama Eunice Murray melaporkan bahwa majikannya itu sudah tak bernyawa di dalam kamar tidur yang terkunci.
Sekitar pukul setengah lima pagi, petugas kepolisian tiba di lokasi. Marilyn ditemukan terkapar di atas tempat tidur dalam keadaan telanjang sambil meremas gagang telepon. Menurut laporan New York Mirror (6/8/1962), Marilyn disebut menegak 40 tablet obat tidur. Media cetak seantero Amerika beramai-ramai memberitakan bahwa salah satu bintang perempuan termahal di masanya itu telah bunuh diri di usia ke-36 tahun.
Dalam Marilyn Monroe: The Biography (2001: 576-577), biografer Donald Spoto menuliskan bahwa kematian Marilyn dipenuhi kejanggalan. Segera setelah menemukan jasad Marilyn, Murray tidak langsung menelepon polisi tetapi malah memanggil psikiater Monroe yang bernama Dr. Ralph Greenson. Spoto menduga ada persekongkolan di antara keduanya.
Kendati tidak terbukti membunuh majikannya, kesaksian Murray yang berubah-ubah tentang jam penemuan jasad Monroe melahirkan berbagai macam dugaan. Pada 1982, misteri kematian Marilyn naik tingkat dari kasus bunuh diri menjadi dugaan pembunuhan berencana yang melibatkan lingkaran keluarga Kennedy.
“Kelemahan versi resmi [kematian Marilyn Monroe] memengaruhi banyak hasil, tak terkecuali di antaranya serangkaian teori konspirasi yang fantastis, penemuan plot jahat, pembunuhan yang diilhami pemerintah, dan sebagainya,” tulis Spoto.
Daya tarik seputar misteri kematian Marilyn seolah tak ada habisnya. Selang 57 tahun setelah kematiannya, perjalanan hidup simbol seks Hollywood ini masih saja menarik perhatian khalayak. Artikel seputar hidupnya yang keras, kegagalan kisah asmara, hingga konspirasi kematiannya ibarat sumur tak berdasar yang selalu mengundang tanda tanya.
Tidak hanya dipuja lewat foto-fotonya yang cenderung seksi dan kekanakan, Monroe juga berhasil menghipnotis para penulis untuk beramai-ramai menelurkan karya biografi tentang dirinya. Menurut catatan Newsweek, hanya berselang 24 tahun setelah kematiannya, setidaknya sudah ada lebih dari 40 buku yang didedikasikan untuk mengulik tragedi kematian seraya memuja kemolekan seorang Marilyn. Sebagian besar buku itu ditulis oleh laki-laki.
Dimusuhi Perempuan
Sepanjang kariernya sebagai aktris, Marilyn terkenal dengan peran-perannya sebagai gadis lugu berambut pirang yang dungu atau biasa disebut dumb blonde. Film-filmnya seperti Gentlemen Prefer Blondes (1953), Seven Years of Itch (1955), The Prince and the Showgirl (1957), Some Like It Hot (1959) berhasil melambungkan sosok Monroe yang seksi dan digilai kaum adam.
Selain itu, Marilyn juga tidak takut berfoto seksi. Sebelum menjajal peruntungan di bidang akting pada 1947, dia memang pernah berprofesi sebagai model. Pada 1949, lantaran tak punya uang untuk makan, dia bahkan bersedia berpose tanpa busana untuk kebutuhan foto kalender.
Dalam autobiografinya, Marilyn mengakui bahwa kehidupannya sebelum menjadi aktris sangatlah sulit. Marilyn dan bibinya, Grace, sering mengantre selama berjam-jam hanya agar bisa mendapatkan sekantong roti sisa seharga 25 sen.
Beberapa tahun kemudian, foto telanjang Marilyn naik ke permukaan. Aksi tersebut dinilai telah mencoreng nama baik agensi tempatnya bernaung. Mereka memaksa Marilyn untuk menyangkal bahwa perempuan dalam foto tersebut adalah dirinya. Namun, Marilyn menolaknya karena ia tidak merasa malu atau pun bersalah.
“Aku pernah muncul dalam sebuah gambar kalender. Aku ingin ketika seorang laki-laki pulang ke rumah setelah bekerja keras seharian, melihat gambar ini dan berkata ‘wow’,” katanya blak-blakan, seperti dikutip oleh Spoto dalam biografi Marilyn (hlm. 213).
Berkat sikapnya yang menjunjung sensualitas, Marilyn sering menjadi bulan-bulanan kaum perempuan. Seperti yang diungkapkan sendiri dalam autobiografinya yang tidak sempat terbit, "Sejak berusia 14 tahun, aku punya bakat untuk membuat para perempuan merasa kesal.”
“Terkadang aku pergi ke pesta di mana tidak ada seorang pun yang mengajakku bicara sepanjang malam. Para perempuan akan bergerombol di pojok ruangan membicarakan watakku yang berbahaya. Mereka takut suami atau kekasih mereka akan memberikanku tempat di atas ranjang mereka,” lanjutnya.
Menurut Donald Spoto, kendati dibenci perempuan, sensasi Marilyn Monroe berhasil mengantarkannya ke tampuk tertinggi perfilman Amerika. Sejak 1952, dalam seminggu Monroe bisa menerima sekitar lima ribu pucuk "surat cinta" dari penggemar laki-laki dari penjuru Amerika.
Simbol Kebangkitan Seksualitas
Tidak semua perempuan menganggap Marilyn sebagai musuh alami. Satu dari tiga biografi Marilyn Monroe yang terbit berurutan pada tahun 1986 ternyata ditulis oleh seorang perempuan. Dia adalah Gloria Steinem, jurnalis sekaligus tokoh pergerakan feminisme Amerika pada periode 1960-an dan 1970-an.
Dalam karyanya itu, Steinem berhasil membuka selubung dalam kehidupan Marilyn yang sering luput dari perhatian orang, terutama para laki-laki. Dalam bukunya yang berjudul Marilyn: Norma Jeane, Steinem berusaha melihat sosok Marilyn dari kacamata perempuan menggunakan pendekatan feminisme kontemporer.
Sebagai seorang perempuan, Steinem sendiri mengakui bahwa dirinya pernah sangat membenci Marilyn. Pada 1953, Steinem sempat uring-uringan di dalam bioskop saat menonton Gentlemen Prefer Blondes yang dibintangi Marilyn Monroe dan Jane Russell. Steinem lantas memilih angkat kaki dari bioskop karena mengganggap perilaku tokoh Lorelei Lee yang dimainkan Marilyn sangat memalukan kaum perempuan.
Tiga puluh tahun kemudian, Steinem menyesali perbuatannya itu dan mulai mencari tahu tentang Marilyn. Lama kelamaan Steinem mengakui posisi Marilyn sebagai korban kebuasan Hollywood. Steinem mengingatkan agar efek sosial yang ditimbulkan oleh perilaku sensual Marilyn dalam industri perfilman yang didominasi laki-laki sepatutnya mulai menjadi perhatian perempuan.
Dalam bukunya, Steinem menuliskan sosok Marilyn sebagai perempuan kesepian yang terjebak dalam keriuhan kehidupan glamor California. Norma Jeane (nama asli Monroe) terpaksa mengurung diri dalam balutan sosok bahenol bernama Marilyn Monroe untuk mencari cinta dan pengakuan yang tidak pernah didapatnya semasa kanak-kanak.
“Aku menyadari bahwa aku menjadi milik publik dan dunia, bukan karena aku berbakat atau pun cantik tetapi karena aku belum pernah menjadi bagian dari apa pun atau siapa pun,” kata Monroe dalam autobiografinya, dikutip oleh Steinem.
Sebelum Steinem mengemukakan argumennya pada 1986, jurnalis perempuan lain sebenarnya sudah pernah membuat ulasan tentang Monroe dari sudut pandang perempuan. Margaret Parton, satu dari sedikit jurnalis wanita yang meliput Marilyn selama hidupnya berusaha menunjukkan sisi lain sang bintang melalui sebuah laporan dalam majalah Ladies Home Journal.
Akan tetapi, menurut Steineim, artikel Parton tersebut ditolak mentah-mentah oleh editor lantaran terlalu memihak sisi malaikat Monroe. "Penolakan terhadap artikel sensitif seperti ini adalah bukti bahwa para editor majalah perempuan hanya tertarik menggambarkan Monroe, pada tahun-tahun itu, sebagai perusak rumah tangga yang gila," tulis Steineim.
Dalam tulisannya, Steinem juga menunjukan bahwa kisah pelecehan seksual yang pernah dialami Marilyn semasa kecil tidak pernah dianggap serius oleh para penulis biografinya yang sebagian besar adalah laki-laki. Percobaan untuk mengulik permasalahan ini baru dilakukan sekitar tahun 1972 oleh redaktur majalah Ms., Harriet Lyons.
Sepeninggalnya Monroe pada 1962, satu dari beberapa perempuan yang mau menulis obituari Marilyn Monroe dengan penuh empati adalah Diana Trilling. Berdasarkan catatan Steineim, Trilling tidak takut diremehkan saat mengatakan ketergantungan Marilyn terhadap daya tarik seksual bertujuan untuk mengisi ruang hampa dalam dirinya. Trilling juga menyayangkan, hal tersebut justru malah membuat Marilyn tidak memiliki banyak kawan perempuan.
Kematian Marilyn Monroe telah mendorong para perempuan untuk memperdebatkan kembali sikap terhadap seksualitas. Para perempuan Amerika mulai blak-blakan mendiskusikan masalah ini di muka publik sembari menjuluki Marilyn sebagai simbol kebangkitan seksualitas.
Editor: Nuran Wibisono