tirto.id - Listrik padam di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, Ahad (4/8/2019) kemarin, memang bukan yang pertama. Tapi bagi Sofyan Basir, Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang terjerat kasus korupsi, itu adalah yang terparah.
"Tampaknya, iya [yang terparah]. Dari perjalanannya, ya," kata Sofyan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (5/8/2019).
Sofyan tidak berlebihan. Blackout kemarin memang parah jika dilihat dari durasi listrik padam dan luas area terdampak, setidaknya jika dihitung sejak 1991--tahun terlama arsip Harian Kompas, sumber tulisan ini, dapat diakses.
Pada Sabtu, 17 Agustus 1991, Harian Kompas menyebut jaringan listrik se-Jawa Bali padam pukul 20.34. Wilayah tidak terdampak hanya daerah yang listriknya tidak berasal dari PLTU Suralaya.
Terputusnya arus listrik disebabkan turunnya pemutus arus (circuit breaker) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya.
Meski lebih luas dibanding peristiwa kemarin, tapi durasi pemadaman hanya kira-kira tiga jam.
Listrik di sebagian besar Jawa-Bali kembali mati pada Ahad, 13 April 1997. Gangguan dalam sistem saluran tegangan ekstra tinggi 500 kV yang menyalurkan listrik sebesar 1.000 MW dari PLTU Suralaya ke dalam sistem di GI Gandul sirkuit 1 di Jakarta menyebabkan listrik mati sampai kurang lebih 10 jam.
Listrik padam massal pada 2002 lalu bahkan sempat disinggung Presiden Joko Widodo kala mendatangi Kantor Pusat PLN, Senin (5/8/2019) ini. Menurutnya kasus 17 tahun lalu itu semestinya jadi pembelajaran bagi PLN.
"Saya tahu peristiwa seperti ini pernah kejadian di tahun 2002, 17 tahun lalu, untuk Jawa dan Bali. Mestinya itu bisa jadi pelajaran kita bersama jangan sampai kejadian yang sudah pernah terjadi kembali terjadi lagi," kata Jokowi.
Berdasarkan arsip Harian Kompas, yang disebut Jokowi adalah terputusnya aliran listrik di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada Kamis 12 September 2002. Durasi pemadaman ini berlangsung dari pukul 17.55 hingga 21.28 atau lebih kurang 3,5 jam.
"Jakarta dan sekitarnya gelap gulita," tulis Harian Kompas. Ini disebabkan adanya gangguan di salah satu Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Cibinong. Saat itu hanya beberapa gedung bertingkat yang masih menyala. Sementara warga menggunakan penerangan seadanya, seperti lilin dan petromaks.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada Kamis, 18 Agustus 2005, jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV Saguling, Cibinong, dan Cilegon rusak dan mengganggu PLTGU Muara Karang, PLTU Suralaya, PLTGU Tambaklorok, dan PLTU Paiton.
Mati lampu massal pun kembali terjadi, dengan area terdampak termasuk Sukabumi, Bogor, Depok, Bekasi, Banten, serta beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Bali. Durasi listrik mati berlangsung antara 27 menit hingga satu jam 18 menit.
Sementara penyebab blackout tahun ini adalah gangguan transmisi SUTET 500 kV Ungaran dan Pemalang. SUTET Ungaran-Pemalang mengaliri listrik dari pembangkit dari timur Jawa. Selain dari timur Jawa, pasokan listrik di Jawa bagian Barat berasal dari pembangkit Suralaya, Cilegon, dan Muara Karang.
Direktur Pengadaan Strategis 2 Djoko Raharjo Abumanan mengatakan gangguan transmisi terjadi karena kelebihan beban listrik khususnya di Jakarta, Bekasi, dan Banten. Logikanya sama seperti listrik 'jetrek' di rumah.
Gangguan pada SUTET di dua tempat itu menyebabkan transfer listrik dari timur ke barat Pulau Jawa mengalami kegagalan. Kegagalan ini pada akhirnya menyebabkan gangguan di seluruh pembangkit di sisi tengah dan barat Pulau Jawa.
"Di beban ini kawatnya langsung turun tegangannya. Kalau dia turun, pembangkit-pembangkit di sisi barat langsung kolaps semua karena dia tidak seimbang," kata Djoko.
Efeknya langsung terasa pada pukul 11.45 detik ke-27 di Brebes. Tiga menit kemudian, tepatnya pada 11.48 detik ke-11, penurunan tegangan terjadi dan menyebabkan jaringan listrik di Depok-Tasikmalaya terganggu. Inilah awal dari pemadaman di sistem Jawa Barat, Banten, dan Jakarta.
PLN berupaya listrik kembali normal dengan mengoperasikan PLTA Saguling dan PLTA Cirata pada pukul 16.27. Selain sebagai penstabil daya, dua PLTA ini juga bertugas mengirim listrik, dari Gardu Induk Tegangan Extra Tinggi (GITET) Cibinong, Depok, Gandul, Lengkong, Balaraja dan juga Suralaya.
PLTU Suralaya beroperasi secara bertahap. Setelah itu listrik di Jabar dan Banten berangsur normal, dihitung dalam tempo enam jam sejak 17.30. Tegangan dari GITET juga dialirkan ke pembangkit Muara Karang. Pembangkit ini membuat listrik di DKI Jakarta kembali normal dalam tempo tiga jam.
Itu artinya, warga tak menikmati listrik setidaknya 10 jam, dan banyak yang lebih lama dari itu.
Di beberapa daerah seperti Depok II Timur, listrik baru hidup pukul dua dini hari. Bahkan di Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, listrik belum juga hidup Senin pukul 10.30 lebih.
Plt Dirut PLN Sripeni Inten meminta "maaf" atas kejadian ini. Dia juga mengakui penanganan mati listrik memang lama.
"Kami mohon maaf, memang prosesnya lambat, kami akui," katanya saat dimintai penjelasan oleh Presiden Jokowi.
Editor: Mufti Sholih