Menuju konten utama

Dunia Mulai Kurangi Pendanaan Pembangkit Batu Bara, RI Perlu Ikut?

Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris menghentikan dukungan pendanaan perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, Adaro Indonesia.

Dunia Mulai Kurangi Pendanaan Pembangkit Batu Bara, RI Perlu Ikut?
Foto udara aktivitas bongkar muat batu bara di kawasan pantai Desa Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Kamis (9/12/2021). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.

tirto.id - Standard Chartered, salah satu bank terbesar di Inggris menghentikan dukungan pendanaan ke perusahaan batu bara terbesar kedua di Indonesia, PT Adaro Indonesia Tbk. Standard Chartered mengonfirmasi hal ini melalui surat elektronik kepada Market Forces. Kebijakan ini keluar setelah meningkatnya tekanan publik dari para aktivis lingkungan perihal keterlibatan bank dengan Adaro.

Sejak 2006, Standard Chartered telah menyediakan dana sebesar 434 juta dolar AS untuk grup Adaro. Pada April 2021, Standard Chartered mengambil bagian dalam sindikasi pinjaman 400 juta dolar AS untuk Adaro. Padahal model Standard Chartered untuk menilai risiko transisi iklim, menyebutkan bahwa semua komponen batu bara dinilai selaras dengan risiko 6 derajat pemanasan global.

“Seharusnya Standard Chartered memutuskan kebijakan penghentian pendanaan itu sejak dulu. Ini juga menjadi sinyal kepada pemberi pinjaman Adaro lainnya untuk mengakhiri semua pembiayaan Adaro. Pemberi pinjaman lain seperti HSBC, SMBC, Mizuho, OCBC, dan CIMB, memiliki kebijakan pengecualian batu bara tetapi masih membiayai Adaro,” kata Nabilla Gunawan, juru kampanye Market Forces dalam acara temu virtual media, Kamis (14/7/2022).

"Jika kebijakan pengecualian batu bara tersebut benar, maka pemberi pinjaman ini harus segera berkomitmen untuk meninggalkan Adaro. Tanpa tindakan apa pun untuk menghentikan pinjaman Adaro, kebijakan ini hanya basa-basi," tambahnya.

Sementara itu, kontrak perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Tambang Batu bara (PKP2B) Adaro akan segera berakhir pada 1 Oktober mendatang. Diketahui, Adaro memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton dan berencana akan menggali seluruh cadangan batu bara tersebut selama 20 tahun ke depan.

Jika seluruh cadangan batu bara Adaro ini dibakar untuk pemakaian pembangkit listrik, maka berpotensi menghasilkan emisi yang sama dengan emisi tahunan negara India.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia Andri Prasetiyo mengemukakan, dengan penguatan komitmen iklim dan gelombang percepatan transisi energi di banyak negara membawa konsekuensi di mana banyak bank yang mulai menarik diri dari pendanaan batu bara. Sehingga saat ini, perusahaan pemegang PKP2B yang sedang dalam proses memperpanjang izin operasi mengalami banyak hambatan. Prosesnya tidak akan berjalan dengan mulus terutama akibat tekanan dari sisi pasar dan masyarakat.

“Kondisi akan semakin sulit karena ke depan akan ada relasi yang timpang. Industri batu bara butuh dukungan dari lembaga finansial, tetapi lembaga finansial tidak lagi membutuhkan sektor ini karena pertimbangan resiko bisnis dan reputasi jika tetap mendanai sektor batu bara,” ujar dia.

Pinjaman ke perusahaan batu bara melanggar komitmen penghapusan batu bara dari bank Adaro telah memproduksi 54 juta ton batu bara pada 2021 dan berencana untuk meningkatkan produksi batu baranya menjadi 60 juta ton pada 2022.

Adaro tidak memiliki rencana dengan metrik dan target yang jelas untuk mengurangi ketergantungannya terhadap batu bara. Itu berarti Adaro berada di jalur yang tidak sesuai dengan standar Net Zero Emisi 2050 oleh International Energy Agency (IEA) yang menyatakan tidak boleh ada tambang batu bara baru setelah 2021.

Perwakilan Standard Chartered menegaskan bahwa berdasarkan Power Generation Position Statement maka, Standard Chartered tidak dapat lagi mendukung PT Adaro Indonesia Tbk. karena perusahaan 100 persen bergantung pada bisnis batu bara termal.

Kebijakan Standard Chartered juga menyatakan bahwa pada 2024, Standard Chartered hanya akan memberikan pinjaman kepada perusahaan batu bara yang memperoleh kurang dari 80 persen pendapatannya dari batu bara, yang secara alami mengecualikan Adaro karena memperoleh 96 persen pendapatan dari batu bara pada 2021 tanpa rencana pengurangan.

Risiko transisi mendorong bank untuk meninggalkan batu bara Aset batu bara memiliki profil risiko tinggi. Risiko tersebut termasuk penurunan pasar batu bara dalam jangka menengah dan panjang. Sebuah studi dari Australian National University (ANU) memprediksi ekspor batu bara China akan menyusut 49 persen pada 2025 dari kebijakan dekarbonisasinya. Sebesar 45 persen ekspor batu bara Indonesia dibeli oleh China pada 2021.

“Industri batu bara saat ini memang sedang dalam fase panen keuntungan karena harga komoditas yang sedang tinggi akibat pengaruh dinamika geopolitik global. Namun, nasib baik dan masa depan industri batu bara diprediksi tidak mampu bertahan lama. Transisi energi global akan mengakibatkan industri batu bara kehilangan pasar dan mengalami penurunan permintaan batu bara,” jelas Andri.

"Perusahaan mana pun yang tidak membangun rencana strategi bisnis untuk keluar dari komoditas batu bara akan tertinggal. Ada risiko besar sebab ini berarti hampir semua perusahaan batu bara Indonesia akan tertinggal," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PLTU BATU BARA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang