tirto.id - Film The Terminator yang kali pertama dirilis tiga dekade lalu adalah cerita fiksi soal robot pembunuh yang berasal dari masa depan. Namun, manusia masa kini justru merealisasikannya dengan hadirnya robot-robot yang bisa membunuh manusia. Persoalan ini tentu menjadi kekhawatiran nyata dan memunculkan reaksi para pihak yang konsen soal ini, termasuk soal larangan penggunaan robot pembunuh.
Namun dalam dua tahun terakhir, usaha untuk menetapkan larangan penggunaan robot pembunuh hanya menghasilkan dua surat terbuka. Pada Selasa, 28 Juli 2015, Future of Life Institute--yang merupakan gabungan dari para peneliti dan pegiat teknologi robot, merilis sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bersamaan dengan dimulainya International Joint Conference on Artificial Intelligence (IJCAI) di Buenos Aires.
Bersamaan dengan surat terbuka itu, juga ditandatangani petisi Future of Life. Termasuk di antara para penandatangan petisi tersebut adalah para pentolan ilmuwah terkenal seperti Stephen Hawking, Steve Wozniak, Noam Chomsky, dan Elon Musk. Surat terbuka dan petisi tersebut berisi desakan kepada PBB untuk menetapkan larangan penggunaan robot pembunuh, dan untuk mencegah dimulainya perlombaan global.
Baca juga: Robot-robot Pekerja
Surat terbuka Future of Life Institute dirilis setelah pertemuan PBB untuk membahas robot pembunuh, pada April 2015, tidak menghasilkan kebijakan apa pun. Dua tahun berselang, juga belum ada satu kebijakan yang nyata. Future of Life Institute kembali merilis surat terbuka yang ditujukan kepada PBB, pada Minggu (20/08/2017), sehari sebelum dimulainya IJCAI 2017 di Melbourne.
Dalam surat terbuka 2017, Future of Life Institute menyayangkan kegagalan PBB menggelar pertemuan para ahli untuk membahas masalah robot pembunuh karena kurangnya dana. Surat terbuka 2017 mendesak PBB untuk cepat bertindak karena “Kita tidak punya banyak waktu” dan “begitu kotak Pandora ini terbuka, akan sulit menutupnya.”
Lebih Berbahaya dari Nuklir
Robot pembunuh menyimpan ancaman yang tidak dimiliki senjata konvensional, yang dikendalikan oleh manusia. Surat terbuka 2015 memperingatkan bahwa robot pembunuh dapat dengan mudah jatuh ke tangan diktator atau pimpinan perang, karena robot pembunuh jauh lebih mudah diproduksi ketimbang senjata nuklir.
Mereka bisa memanfaatkan robot pembunuh untuk memuluskan kekejaman seperti pembersihan etnis. Selain itu, biaya produksi robot pembunuh relatif rendah. Mobil swakemudi bisa dipersenjatai dengan senapan mesin, begitu pula dengan drone, dan jadilah mereka robot pembunuh.
Baca juga: Drone antara Mainan dan Senjata Mematikan
Sistemnya pun rentan diretas. Di tangan yang salah, kecerdasan buatan bisa menjadi mesin pembunuh yang efisien dan tidak pandang bulu. Masyarakat sipil bisa menjadi korban.
Baca juga:Ancaman Drone Teroris
“Untuk membedakan masyarakat sipil yang ketakutan dan serdadu musuh yang membahayakan dibutuhkan prajurit yang mengerti tujuan di balik tindakan seorang manusia, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh sebuah robot,” jelas laporan Human Rights Watch tahun 2012. Menghentikan perkembangan robot pembunuh bukan hanya mustahil, tetapi juga sudah terlambat.
Beberapa robot pembunuh sudah beroperasi. Satu-satunya jalan adalah menempatkan robot pembunuh di daftar yang sama dengan senjata biologis dan kimia serta senjata laser yang membutakan, sebagai senjata-senjata yang dilarang penggunaannya menurut konvensi PBB mengenai senjata konvensional tertentu (certain conventional weapons/CCW).
Dari Surat Terbuka ke Surat Terbuka
PBB sudah membentuk sebuah panel yang khusus menangani masalah robot pembunuh, bernama Group of Governmental Experts on Lethal Autonomous Weapon Systems (GGE). Kebanyakan negara anggota PBB setuju dengan pembentukan GGE, tapi tidak semuanya memberi dukungan untuk larangan penggunaan robot pembunuh dalam bentuk apapun.
Inggris Raya, misalnya mendukung pembentukan GGE tapi menolak larangan penggunaan robot pembunuh karena “saat ini, kami tidak melihat perlunya larangan penggunaan LAWs, karena hukum kemanusiaan internasional sudah memberi regulasi yang cukup di bidang ini,” sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri kepada The Guardian pada 2015.
Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa Inggris Raya tidak mengembangkan robot pembunuh, dan “pengerjaan sistem senjata oleh angkatan bersenjata Inggris Raya akan selalu berada di bawah pengawasan dan kontrol manusia.” Amerika Serikat, sementara itu, belum memberi keterangan yang jelas mengenai posisi mereka soal robot pembunuh.
Sulit membayangkan kekuatan militer terbesar di dunia mau mendukung usulan yang akan menahan kemampuannya untuk mengembangkan sistem senjata baru yang kompleks, terlebih di saat Rusia sama sekali tidak menunjukkan dukungan terhadap proses realisasi larangan penggunaan robot pembunuh. Rusia sendiri sedang mengembangkan sistem kecerdasan buatan Kalashnikov.
Baca juga:Mereka yang Menggenggam PBB
Jalan menuju terlaksananya larangan penggunaan robot pembunuh masih sangat panjang, dan bukan tidak mungkin usaha untuk menetapkan larangan ini, dalam waktu dekat, hanya akan menghasilkan surat terbuka ketiga. Hingga sepanjang itu pula umat manusia belum terbebas dari ancaman perang dan persaingan pengembangan robot pembunuh yang mematikan.
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Suhendra