tirto.id - Ketika masih bersekolah di Kweekschool (sekolah guru) di Bukittinggi—dulu dikenal sebagai Sekolah Radja—sekitar tahun 1908-1913, Ibrahim biasa memanggil guru laki-lakinya: Engku. Salah satu Engku yang paling terkenal di sekolahnya adalah Nawawi yang bergelar Sutan Makmur, ayah dari Syarifah Nawawi, kawan sekolah dan idaman Ibrahim.
Ketokohan Engku Nawawi bisa disaksikan di ruang guru SMA Negeri 2 Bukittinggi. Sebuah plakat tentang dirinya terpampang di dinding. Sebagai guru terkenal, Engku Nawawi membantu Prof Charles van Ophuijsen merancang sebuah ejaan yang berlaku sejak 1901 dan dikenal sebagai ejaan van Ophuijsen.
Jika guru laki-lakinya dipanggil Engku, guru perempuan dipanggil Encik. Di Malaysia, panggilan Encik untuk memanggil guru masih berlaku hingga kini. Encik guru biasa disingkat menjadi Cikgu. Di serial anak-anak Upin & Ipin, terekam bagaimana guru Malaysia dipanggil. Sering digambarkan bagaimana murid-murid menyambut guru mereka ketika baru masuk kelas, “Selamat pagi, Cikgu.”
Meski dalam kerangka wilayah Hindia Belanda, panggilan guru oleh murid tidak seragam di tiap sekolah. Beda dengan era setelah Sukarno tumbang, saat guru laki-laki umumnya dipanggil Bapak dan guru perempuan dengan Ibu.
Di masa kolonial, guru tak hanya profesi tapi juga kedudukan sosial yang sangat dihormati penduduk pribumi. Jika lewat di hadapan guru, murid biasanya menunduk. Panggilan untuk guru saja adalah gelar yang cukup terhormat. Dalam masyarakat Melayu, baik di Indonesia maupun Malaysia, Engku dan Encik adalah gelar orang yang dimuliakan di masa lalu. Di Jawa, guru tak kalah dihormati. Seperti tuan-tuan Belanda atau priyayi, guru pun dipanggil Ndoro. Tak heran jika sekolah guru disebut Sekolah Radja di Bukittinggi.
“Di zaman Belanda sebutan murid kepada guru Sekolah Ongko Loro, adalah Ndoro,” tulis Makhlani Yudhokusumo dalam Banjarnegara Berjuang: Kilasan Sejarah Perjuangan Merebut Kemerdekaan di Kabupaten Banjarnegara (1988). Panggilan itu berlaku di sekolah-tiga-tahun untuk anak pribumi yang tak memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Sementara itu, di sekolah anak pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda seperti Hollandse Indische School (HIS), sebutannya lain lagi. Sebutan Meneer untuk guru laki-lakinya, guru perempuan yang belum menikah Juffrouw, dan Mevrouw bagi yang sudah menikah. Guru perempuan Belanda tidak banyak jumlahnya.
Di masa pendudukan Jepang, istilah Meneer, Juffrouw, dan Mevrouw yang berbau Barat dihilangkan. Tak hanya sebutannya. Banyak guru Belanda ditawan dan tentara-tentara Jepang pun mendadak jadi guru. Sebutan lokal seperti Engku, Encik, atau yang lainnya diperbolehkan. Istilah Jepang untuk guru adalah Sensei.
Istilah Sensei ini cukup sering dipakai. Ketika menjadi guru muda di pedalaman Sulawesi zaman Jepang, Pahlawan Nasional Wolter Monginsidi—menurut catatan Radik Djarwadi dalam Surat dari Selmaut (1963)—dipanggil Kodomo Sensei, guru yang kanak-kanak. Sebab, umurnya masih 17 tahun.
Di zaman Jepang, menurut buku Sejarah pendidikan daerah Sumatera Selatan (1984), ketika memulai pelajaran, “anak-anak berdiri dengan tertibnya dan memberikan salam kepada guru dengan mengucapkan Sensei ohayo gozaanas (Selamat pagi Guru).” Setelah Jepang kalah, istilah Sensei tak populer, kecuali sebagai panggilan bagi guru bahasa Jepang. Sekolah Ongko Loro tak ada lagi dan guru tak lagi dipanggil Ndoro.
Menurut catatan buku Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu (1984) yang disusun A.B. Lapian dkk, “panggilan terhadap guru lelaki dan guru wanita bukan lagi Meneer, Juffrouw, ataupun Sensai dan engku tetapi diubah dengan panggilan encik atau ibu dan bapak guru. Sikap keeropa-eropaan, kebelanda-belandaan ataupun gaya pendidikan militer Jepang dihilangkan.”
Mengenai panggilan Engku, sumber lain menyebut panggilan itu masih dipakai. Selain itu, panggilan feodal seperti Ndoro sudah hilang di masa itu.
Menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja (2008), panggilan Engku dan Encik sempat dipakai lagi. Dia sendiri bertanya, “Entah mengapa, di sekolah ini panggilan untuk guru laki-laki ialah engku, sedangkan guru perempuan ialah encik. Mungkin dipengarruhi bahasa Melayu...”
Di masa revolusi, berdasar pengakuan Sartini Soeparto dalam buku Sumbangsih Bagi Pertiwi (1981), “Waktu itu guru-guru tidak dipanggil sebagai bapak atau ibu tetapi sebagai engku dan encik Jadi saya juga mendapat panggilan Encik Soeparto.”
Sebutan untuk memanggil guru di sekolah yang didirikan kaum pergerakan nasional Ki Hajar Dewantara beda lagi. Di perguruan Taman Siswa, guru laki-laki dipanggil Ki, guru perempuan yang sudah menikah dipanggil Nyi, dan yang belum menikah dipanggil Ni. Panggilan ini masih berlaku di Taman Siswa.
Pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara, semula memakai nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Belakangan dia membuang gelar Raden Mas, mengganti namanya, serta mengganti gelar dengan Ki. Istrinya juga memakai gelar Nyi dan tak lagi memakai gelar Raden Ayu. Menurut Engkos Kosnadi dari Dewantara Institute, istilah Ki, Nyi, dan Ni masih dipakai di perguruan nasional itu.
Di madrasah atau sekolah keagamaan, guru-guru agama Islam dipanggil Ustadz. Ada beberapa pangilan kepada guru agama di daerah berbasis Islam. Seringkali berdasarkan tingginya ilmu dan besarnya pengaruh, ada beberapa istilah untuk menyebut guru agama selain Ustaz.
Ada istilah Kiai, Syech, juga Tuan Guru. Di pesantren, guru yang paling dihormati biasanya dipanggil: Kiai. Untuk guru-guru biasa, menurut salah seorang jebolan pesantren tradisional Al Muayyad Surakarta, Ahmad Khadafi, seorang guru muda bisa dipanggil Kang (kakak) dan jika sudah menikah dan punya anak bisa dipanggil Pak. Menurutnya, sebut Ustaz atau Tad, dipakai di pesantren modern.
Di masa sekarang, di sekolah-sekolah umum dengan kurikulum nasional, panggilan Bapak atau Ibu sangatlah umum dipakai. Di sekolah swasta berkurikulum internasional, seorang guru laki-laki biasa disapa Sir dan guru perempuan disapa Miss.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani