Menuju konten utama

Dukungan Yenny Wahid ke Jokowi untuk Hapus Stigma Intoleran Ma'ruf?

Gus Dur maupun Yenny sama-sama pernah menentang fatwa-fatwa intoleran yang pernah dikeluarkan Ma'ruf.

Dukungan Yenny Wahid ke Jokowi untuk Hapus Stigma Intoleran Ma'ruf?
Putri almarhum Gus Dur, Yenny Wahid, berfoto bersama kyai, ulama dan habib yang tergabung dalam Konsorsium Kader Gus Dur usai pembacaan deklarasi dukungan pada Pilpres 2019 di Rumah Pergerakan Gus Dur, Jakarta, Rabu (26/9/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Direktur The Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid resmi melabuhkan dukungannya pada Jokowi-Ma'ruf dalam kontestasi Pilpres 2019. Yenny membawa gerbong para pecinta Gus Dur yang berminat terlibat dalam politik praktis, untuk mendukung Ma’ruf Amin.

Ma'ruf bagi sebagian kalangan dianggap sebagai salah satu representasi sosok intoleran, ini karena beberapa fatwa yang ia keluarkan baik sebagai ketua komisi fatwa maupun sebagai Ketua Umum MUI. Sebagai contoh, Yenny maupun Gus Dur, kerap menentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada 28 Juli 2005, organisasi Ma’ruf menerbitkan fatwa sesat terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah. Fatwa ini menguatkan fatwa Munas MUI Kedua tahun 1980 yang menyatakan Ahmadiyah adalah "aliran di luar Islam".

Fatwa itu disambut sejumlah ormas Islam, di antaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia. Dampaknya Jemaat Ahmadiyah menjadi korban perundungan, kekerasan, hingga pembunuhan.

Tak sampai di situ, MUI juga menerbitkan fatwa haram faham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Gus Dur melawan balik fatwa tersebut dengan menganggapnya sebagai ancaman terhadap toleransi antar agama di Indonesia.

“Saya menolak sekeras-kerasnya sikap MUI itu. Ini bukan negara Islam. Ini negara ‘nasional’. Yang berlaku bukan aturan-aturan Islam, tapi konstitusi,” kata Gus Dur mewakili Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.

Gus Dur menuntut MUI mencabut semua fatwa yang memandang sesat aliran lain yang berbeda. Sebab fatwa-fatwa tersebut kerap dijadikan landasan untuk melakukan tindak pidana kekerasan dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh konstitusi.

Sebaliknya Gus Dur justru meminta MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penggunaan kekerasan, terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dianggap berbeda pendapat dan keyakinan.

Pada awal tahun 2016, giliran Yenny yang mengkritik MUI karena mengeluarkan fatwa sesat Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Fatwa tersebut menurut Yenny, mengaburkan prinsip manusiawi soal kelompok minoritas yang harusnya dilindungi.

"Oleh sebab itu, MUI harus menyeimbangkannya dengan mengeluarkan fatwa tentang mewajibkan masyarakat memperlakukan mereka [pengikut Gafatar] dengan baik," ujar Yenny seperti dikutip dari Kompas.com.

Kritik Yenny tersebut muncul usai The Wahid Institute merilis laporan bahwa, sepanjang tahun 2015, terdapat 190 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 249 jumlah tindakan. Angka tersebut meningkat sekitar 23 persen dari tahun sebelumnya.

Infografik CI Kontroversi KH Ma'ruf Amin

Bersihkan Jejak Ma’ruf

Bergabungnya Yenny menurut Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Sri Lestari Wahyuningroem mempertebal dukungan Nahdlatul Ulama (NU) untuk Jokowi-Ma'ruf yang secara struktural diwakili PBNU dan secara kultural diwakili gerbong Yenny. Sri memastikan sosok Yenny penting bagi kubu Jokowi-Ma'ruf guna menghapus jejak intoleran Ma'ruf.

"Poin plusnya untuk Jokowi-Amin ya menghapus jejak Amin yang intoleran. Juga plus untuk Muhaimin karena seolah menghapus 'jejak hitam penghianatan-nya’ ke Gus Dur," kata Sri kepada reporter Tirto, Kamis (27/9/2018).

Pandangan serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin. Dua kekuatan besar NU menguatkan Jokowi-Ma’ruf.

"Memastikan suara kaum nahdliyin bulat ke Jokowi-Ma'ruf. Tidak terpecah," ujar Ujang.

Sebenarnya tak semua pengagum Gus Dur mendukung sikap politik Yenny. Misalnya Alissa Wahid yang kekeuh enggan memboyong Gusdurian ke arus politik praktis. Tugas kakak-beradik itu terbagi menjadi dua, antara yang mengorganisir ke jalur politik praktis dan yang tetap non-partisan.

Salah satu dari Gusdurian turut merespon masuknya Yenny ke kubu Jokowi-Ma’ruf. Ketua Gusdurian Jakarta Suraji menganggap, Yenny nantinya justru akan berperan menguatkan sikap politik melawan tindakan intoleransi di kubu Jokowi-Ma’ruf. Sebab saat ini komitmen pemerintahan Jokowi lemah terhadap hal itu.

"Saya lebih melihat dari sisi bahwa, ketika Mbak Yenny mendukung Jokowi-Ma'ruf bisa salah satunya juga menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini belum dikerjakan secara baik. Misalnya perlindungan terhadap minoritas, kasus intoleransi, gitu," kata Suraji.

“Selama ini kan kita tahu Jokowi lebih gencar pembangunan infrastruktur tapi agak mengabaikan yang begini-begini," imbuhnya.

Sedangkan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Irma Suryani Chaniago menegaskan, masuknya Yenny bisa mengikis pandangan bahwa Ma’ruf adalah biang tindakan intoleran.

"Itu disadari betul Pak Kiai Ma'ruf Amin ketika beliau juga menyampaikan bahwa pancasila itu final dan Bhinneka Tunggal Ika juga final," kata Irma di Posko Pemenangan Jokowi-Ma'ruf.

Selain masalah Ma’ruf, kehadiran Yenny di kubu Jokowi-Ma'ruf juga tergolong aneh. Sebab terlebih dahulu dipenuhi gerbong Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang selama ini berselisih dengan keluarga Gus Dur.

Namun Ketua Barisan Kader (Barikade) Gus Dur Priyo Sambadha meyakinkan, sikap politik Yenny tak akan terhambat karena adanya kubu Cak Imin. "Menurut saya enggak masalah. Kan kami pokoknya bekerja untuk kemenangan Pak Jokowi saja. Di dalam situ ada siapa saja saya rasa tidak masalah," tutur Priyo.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana