tirto.id - Tim gabungan Polresta Surakarta dan Polda Jawa Tengah berencana memeriksa Ketua Presidium Alumni (PA) 212 Slamet Ma'arif selaku tersangka dugaan melakukan tindak pidana pemilu pada Rabu (13/2/2019).
Namun, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, pihak Ma'arif meminta pengubahan waktu pemeriksaan.
“Dia minta pemeriksaan diundur, seharusnya diperiksa besok tapi diminta menjadi Senin (18/2/2019),” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Dedi menyatakan, belum mengetahui pasti alasan permintaan pengunduran waktu pemeriksaan Ma'arif.
“Ini pertimbangan dari pihak pengacara yang mengajukan itu,” ucap dia.
Menurutnya, pemeriksaan akan berlangsung di Mapolda Jawa Tengah, sebelumnya ia diperiksa di Polresta Surakarta sebagai saksi kasus dugaan pelanggaran pemilu.
Pemindahan lokasi, lanjut Dedi, karena penyidik mempertimbangkan segi lokasi dan efisiensi pemeriksaan. Selain itu, Polri juga bekerja sama dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk mengusut kasus ini.
Ma'arif diduga melakukan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Komisioner Divisi Penindakan Pelanggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Surakarta Poppy Kusuma mendatangi kantor kepolisian setempat pada Jumat (1/2/2019) lalu dengan membawa bukti dugaan pelanggaran pemilu saat acara Tabligh Akbar PA 212 yang berlangsung di Solo, 13 Januari 2019.
Dalam kesempatan itu, Ma'arif sempat menyebutkan soal ‘2019 Ganti Presiden.’ Lantas Bawaslu Surakarta menindaklanjuti orasi tersebut. Dedi mengatakan penetapan dan pemanggilan Ma'arif berdasarkan hasil analisis tim Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Ma’arif diduga telah melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf a hingga j tentang kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sesuai Pasal 492 UU Pemilu, Ma'arif terancam pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta dan/atau Pasal 521 UU Pemilu dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno