Menuju konten utama
Round Up

Duduk Perkara Penembakan Massa Aksi Tolak Tambang di Parigi Moutong

Seorang massa aksi tolak tambang emas di Parigi Moutong pada Sabtu (12/2/2022) tewas akibat ditembak. Bagaimana duduk perkaranya?

Duduk Perkara Penembakan Massa Aksi Tolak Tambang di Parigi Moutong
Suasana unjuk rasa penolakan tambang di Desa Katulistiwa, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sabtu (12/2/2022) malam. ANTARA/HO/No

tirto.id - Seorang warga di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah meninggal dunia akibat ditembak aparat saat berdemonstrasi, Sabtu (12/2/2022). Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah mengabarkan peristiwa tersebut pada Minggu, 13 Februari 2022.

“Salah satu massa aksi atas nama Aldi yang berasal dari Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong tewas, diduga tertembak peluru aparat kepolisian,” kata Direktur Eksekutif Riset dan Database Jatam Sulteng Ramadhani dalam keterangan tertulis.

Jatam menceritakan aksi ini berawal ketika sejumlah warga dari tiga kecamatan di Kabupaten Parigi Moutong menggelar unjuk rasa penolakan tambang kepada Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura. Mereka menuntut agar gubernur mencabut izin tambang milik PT Trio Kencana pada 7 Februari 2022.

Penolakan penambangan emas PT Trio Kencana dilakukan di 3 kecamatan, yakni Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan karena luas konsesi tambang milik PT Trio Kencana yang mencapai 15.725 hektar memakan lahan pemukiman, pertanian dan perkebunan milik warga.

Pihak pemerintah berjanji bahwa gubernur akan menemui mereka. Pada Sabtu (12/2/2022), warga menggelar aksi unjuk rasa kembali untuk menagih janji, tetapi gubernur tidak hadir dalam acara tersebut. Warga yang kecewa lantas memblokir jalan Desa Siney, Tinombo Selatan, Parigi Moutong. Aksi warga lantas direspons dengan upaya pembubaran paksa oleh aparat.

“Dari video yang beredar, terdengar letusan tembakan yang berulang-ulang dari arah aparat kepolisian yang berjaga. Dalam insiden itu, seorang massa aksi atas nama Aldi tewas, diduga terkena tembakan peluru dari aparat kepolisian," kata Ramadhani.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto membenarkan kabar penembakan tersebut. Ia mengaku, aksi penembakan terhadap korban berkaitan dengan pemblokiran jalan Trans-Sulawesi.

“Iya betul mas, terkait dengan pemblokiran jalan Trans-Sulawesi Ppovinsi Gorontalo-Sulawessi Tengah,” kata Didik saat dikonfirmasi reporter Tirto Minggu malam (13/2/2022).

Didik mengatakan demo yang dilakukan warga pada Sabtu (12/2/2022) merupakan aksi ketiga yang dilakukan warga sejak Januari 2022. Setiap demonstarsi, warga selalu memblokir jalan. “Terakhir hari Sabtu kemarin mulai 09.30 pagi sampai 12.00 malam,” kata Didik.

Didik mengatakan, polisi mengimbau beberapa kali agar tidak memblokir jalan, tapi tidak dipedulikan. Padahal kemacetan pada pukul 22.00 Wita sudah mencapai 7 km baik dari arah Gorontalo maupun dari arah Sulteng.

“Sekitar pukul 11.30 malam mulai dilakukan penindakan untuk bisa membuka blokade jalan. Tetapi terjadi perlawanan sehingga terjadi bentrok antara Polri yang melakukan pengamanan dengan masa yang memblokir jalan,” kata Didik.

Didik juga mengklaim bahwa Kapolres Parigi Moutong AKBP Yudy Arto Wiyono sudah meminta seluruh jajaran untuk tidak menggunakan senjata api. Penindakan pun berakhir dengan kendaraan sudah bisa melewati blokade masyarakat sekitar 00.30 WITA. Namun mereka mendapat informasi ada satu warga meninggal akibat penembakan.

“Pagi hari diketahui ada informasi 1 orang meninggal karena tembakan, setelah dilakukan pengecekan ke Puskesmas Kasimbar, benar ada 1 warga yang diduga terkena tembakan,” kata Didik.

Penembakan Massa oleh Polisi Jadi Sorotan

Aksi penembakan terhadap pedemo pun mendapat kecaman publik, salah satunya Jatam Sulteng. Ramadhani mendesak agar Menteri ESDM menghentikan operasi dan mencabut izin tambang PT Trio Kencana. Selain itu, mereka mendesak Komnas HAM dan Komnas Perempuan menginvestigasi dugaan penembakan massa hingga tewas.

Jatam Sulteng juga meminta agar aparat untuk memroses hukum pelaku penembakan korban. Ramadhani mengatakan mereka akan menggelar aksi unjuk rasa untuk menuntut keadilan.

“Untuk teman-teman ada di Palu itu rencana besok [Senin, 14 Februari 2022] ada aksi ke Polda Sulawesi Tengah," kata Ramadhani.

Amnesty International Indonesia juga mengritik tindakan aparat tersebut. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan tindakan pembubaran hingga menyebabkan kematian peserta aksi sebagai hal brutal. Amnesty minta agar kasus ini diproses lebih lanjut.

“Brutal, sangat brutal, apalagi kami menerima laporan sudah ada korban tewas. Penembakan terhadap pengunjuk rasa damai yang menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan," kata Usman dalam keterangan tertulis, Minggu (13/2/2022).

Usman menambahkan, “Aparat penegak hukum harus segera mengusutnya, termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan lain yang sangat merendahkan martabat manusia. Kami mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi yang kredibel atas kasus ini.”

Usman menilai, negara bersikap represif dan eksesif dalam menangani suara penolakan penambangan. Mereka meminta agar negara berhenti mengerahkan kekuatan berlebihan dalam menghadapi penolakan warga.

Amnesty ingin agar aksi kekerasan negara dihentikan dan mengedepankan perlindungan suara masyarakat yang berbeda pendapat. Usman mendorong agar negara mengedepankan dialog dalam pembangunan demi melindungi hak rakyat. Ia pun mendesak presiden dan kapolri untuk turun tangan dalam kasus ini.

Komnas HAM mendesak polisi melakukan investigasi terkait kasus ini. “Benar meninggal disebabkan oleh peluru tajam, sebagaimana proyektil yang ditemukan dan diangkat dari bagian tubuh korban,” ujar Dedi Askary, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah dalam keterangan tertulis, Senin (14/2/2022).

Proyektil tersebut masuk, lanjut dia, mengenai korban dari arah belakang. Terkait hal itu, Komnas HAM melakukan klarifikasi dan wawancara dengan beberapa pejabat utama di Polres Parigi Moutong, dalam hal ini melalui Kabag Ops Polres Parigi Moutong AKP Junus Achpa.

Berdasarkan dialog dengan Junus Achpa, diketahui korban bukan dari pihak kepolisian karena saat di lokasi mereka dalam posisi berlapis-lapis. Selain itu, Achpa mengklaim Kapolres mengedepankan sikap humanis dan langkah persuasif, tidak melibatkan penggunaan peluru tajam atau senjata.

Sementara, berdasar keterangan keluarga korban, Erfaldi meninggal lantaran peluru tajam aparat yang mengenai bagian belakang sebelah kiri tembus ke dadanya. Ini terbukti dari kondisi luka yang dijelaskan oleh pihak puskesmas di Desa Khatulistiwa saat memvisum dan mengangkat proyektil yang tersisa dari tubuh korban.

14 Polisi Diperiksa Internal

Kepolisian pun telah memeriksa anggotanya terkait insiden ini. “Proses pemeriksaan internal 14 orang anggota, 13 senjata api diamankan untuk dilakukan uji balistik,” kata Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto, ketika dihubungi Tirto, Senin (14/2/2022).

Dalam kejadian ini, orang-orang yang ditangkap telah dibebaskan. “59 orang yang telah diperiksa sudah kembali ke rumah masing-masing. Polda telah membentuk tim untuk menyelesaikan permasalahan,” imbuh Didik.

Tim gabungan terdiri dari Divisi Profesi dan Pengamanan, Inspektur Pengawasan Daerah, Reserse Kriminal, dan forensik.

Komisi Kepolisian Nasional (Komponlas) pun buka suara terkait insiden ini. “Penggunaan kekuatan dari anggota kepolisian, termasuk diantaranya penggunaan senjata api, sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Selain itu penggunaan senjata api juga harus memenuhi aturan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujar Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti, kepada Tirto, Senin (14/2/2022).

Perihal seorang warga yang meninggal dunia diduga akibat senjata api petugas saat yang bersangkutan melakukan unjuk rasa menolak tambang, kata dia, harus diperiksa secara tuntas oleh Propam dan Reskrim. Perlu dianalisis apakah penggunaan senjata api tersebut legal, proporsional, dan akuntabel. Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 [PDF] menyebutkan enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Kemudian diperkuat dalam Pasal 7-10.

Kemudian, ‘Penggunaan Kekuatan/Tindakan Keras dan Senjata Api’ juga tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009. Misalnya dalam Pasal 45 regulasi tersebut, setiap petugas Polri dalam melakukan tindakan dengan menggunakan kekuatan atau tindakan keras harus mempertimbangkan beberapa hal.

Apakah penggunaan senjata api oleh anggota Polri di lapangan mesti diketahui atasan? Poengky menyatakan “harus sepengetahuan atasan dan sebelum melakukan tugas, harus ada apel pengecekan semua senjata api.”

Baca juga artikel terkait KASUS PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz