tirto.id - Sebanyak 63 sepala sekolah SMP negeri di Ingragiri Hulu (Inhu), Riau diperas kejaksaan negeri setempat yang kala itu dipimpin Hayin Suhikto. Total uang yang diperoleh dari para kepala sekolah mencapai Rp1,4 miliar.
Semua berawal pada 2018. Para kepala sekolah mendapat surat dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)--yang kelak diketahui hanya bertujuan memeras. Isi surat mempertanyakan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2016.
Plt Kepala Dinas Pendidikan Indragiri Hulu Ibrahim mengatakan para kepala sekolah diteror oleh LSM tersebut. "Sekali dua kali kepala sekolah bisa hadapi, tapi ini sudah sering. Tiap hari ditelepon," katanya.
LSM abal-abal ini mengaku telah melakukan investigasi dan menemukan ada penyelewengan dana BOS, padahal kata Ibramin semua pengelolaan telah transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. LSM juga mengancam akan lapor ke aparat.
Kasus tak berhenti sampai situ saja. Kejaksaan Negeri Inhu lantas memanggil sembilan kepala sekolah, salah satunya Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMP Inhu Eka Satria. Di sinilah jaksa 'bermain', kata Taufik Tanjung, Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum PGRI Riau.
Taufik mengatakan dalam pertemuan itu kejaksaan "seolah-olah memberikan solusi," padahal sebenarnya adalah pemerasan lanjutan. "Akhirnya terjadilah permintaan oleh jaksa," kata Taufik, Sabtu (22/8/2020) lalu. "Saya sudah mengerti itu arahnya uang," kata seorang kepala sekolah dalam pertemuan itu, seperti dituturkan Taufik.
Jaksa meminta uang Rp100 juta per kepala sekolah. Para kepala sekolah tak sanggup dan memilih negosiasi. Akhirnya disepakati angka Rp65 juta. Ada pula yang diperbolehkan bayar lebih rendah, dua orang diminta masing-masing Rp20 juta, dua orang lain masing-masing Rp25 juta.
Enam kepala sekolah juga dipanggil. Di sana mereka ditakut-takuti, padahal sudah diperiksa Inspektorat Kabupaten Inhu. Kejari Inhu mengatakan kalau kewenangan pemeriksaan kepala sekolah berada di tangan mereka, bukan inspektorat.
Mereka diminta berkoordinasi dengan Eka. Setelah itu, mereka dipanggil lagi pada 29 Juli. Di sana mereka juga diminta uang, sebagaimana sembilan kepala sekolah pertama. "Rp35 [juta] per kepala, yang terakhir Rp15 juta," kata Taufik.
Para kepala sekolah sadar betul kalau mereka sudah menjadi korban pemerasan Kejari Inhu. Tak tahan dengan itu, mereka--sumber lain menyebtu 64 kepala sekolah--memilih mundur sebagai kepala sekolah.
Kepala Inspektorat Inhu Boyke Sitinjak mengatakan pemerintah telah tahu kasus ini. Mereka sudah mendengarkan keterangan lisan dari para guru. Ia pun memeriksa enam kepala sekolah yang memberikan uang pada 8 Mei 2020.
"Dari keenam kasek itu diperoleh informasi kasek lain juga dimintai uang dan memberikannya," kata Boyke kepada reporter Tirto, Sabtu.
Inspektorat kemudian memeriksa seluruh kepala sekolah. Dari sana didapati informasi jika 44 dari mereka memberikan uang pada Juni 2020 untuk 'kasus' dana BOS 2018. Selain itu, ditemukan pula sembilan sekolah yang menyerahkan uang pada 2019. Akumulasinya mencapai Rp1,44 miliar.
"Lalu saya melaporkan secara tertulis, 16 Juli 2020, ke KPK dan sekitar 23 Juli ke Komjak (Komisi Kejaksaan)," kata Boyke.
Kejaksaan Tinggi Riau langsung menggelar klarifikasi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, Selasa (18/8/2020) lalu, mengatakan "hasil klarifikasi berkesimpulan untuk dilakukan inspeksi kasus."
Dari inspeksi itu ditetapkan Hayin dan lima jaksa lain melanggar disiplin. Mereka dilepaskan dari jabatan struktural pada 7 Agustus 2020.
Hayin, Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Ostar Al Pansri, dan Kepala Subseksi Barang Rampasan Rionald Feebri Rinando bahkan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka disangkakan Pasal 12 huruf e (pemerasan) atau Pasal 11 atau Pasal 5 ayat 2 juncto ayat 1 huruf b (suap) UU Nomor 31 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Mereka ditahan di Rutan Klas 1 Salemba cabang Kejaksaan Agung sejak 15 Agustus 2020. "Selama 20 hari," kata Hari.
Bukan Suap
Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyoroti pasal suap yang disangkakan kepada para jaksa. Menurutnya kasus ini lebih mengarah kepada pungutan liar (pungli) atau pemerasan. "Kalau suap maka harusnya ada yang menyuap," kata Erasmus kepada reporter Tirto, Sabtu.
Oleh karena itu, jika pasal tersebut yang dipakai, "bukan cuma gurunya bahaya, tapi dakwaan dianggap tidak jelas." "Dakwaan yang dinyatakan tidak diterima maka kasus dianggap bubar dan penyidikan harus dimulai dari awal."
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpendapat serupa. Suap merupakan pemberian secara diam-diam, sementara pemerasan adalah pemberian berbasis tekanan pihak luar. Pasal suap juga harus menyasar pemberi dan penerima.
"Jangan sampai dibelokkan ke arah yang seperti itu (suap) karena intinya pemerasan. Dan ini publik kan melihat semua. Untuk apa mereka lapor kalau untuk akhirnya menjerat mereka sendiri?" kata Barita kepada reporter Tirto, Sabtu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Reja Hidayat