Menuju konten utama

Duduk Perkara Pembongkaran Instalasi Getah Getih di Bundaran HI

Pembongkaran instalasi Getah Getih menuai kritik. Anies Baswedan berdalih bahwa instalasi bambu itu memang hanya diproyeksikan bertahan enam bulan guna menyambut Asian Games 2018.

Duduk Perkara Pembongkaran Instalasi Getah Getih di Bundaran HI
Warga berswafoto dengan latar belakang Instalasi Seni Bambu yang ada saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (19/8). Instalasi Seni Bambu hasil karya dari seniman Joko Avianto yang dibuat dalam rangka menyambut Asian Games 2018 itu menjadi objek foto baru bagi masyarakat Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal.

tirto.id - Pembongkaran instalasi bambu Getah Getih di Bundaran HI menuai pro dan kontra. Instalasi ini awalnya dibuat dalam rangka penyambutan Asian Games 2018 yang diselenggarakan di Jakarta dan Palembang.

Kepala Dinas Kehutanan, Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta, Suzi Marsitawati menyampaikan bahwa pembongkaran dilakukan akibat bambu mulai rapuh dan dikhawatirkan rubuh.

"Sementara ditanam border semak, ground cover. Sambil menunggu instalasi lainnya. Karena Getah Getih tidak dapat digunakan lagi," kata Suzi saat dihubungi pada Kamis (18/7/2019).

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menyatakan instalasi tersebut bertahan hingga saat ini justru merupakan bonus. Sebab, kata Anies, instalasi Getah Getih sebelumnya hanya diproyeksikan bertahan hanya enam bulan.

“Semua yang kami pasang kemarin dalam rangka menyambut Asian Games sudah dicopot beberapa bulan sesudah Asian Games, termasuk instalasi bambu itu dalam rangka menyambut Asian Games. Bertahan sampai bulan Juli adalah bonus. Yang lain-lain sudah dicopot semua,” kata Anies saat ditemui di Balai Kota, Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2019).

Dana tersebut, ungkap Anies, berasal dari dikonsorsium oleh 10 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Seniman pembuat instalasi tersebut, Joko Avianto, pun menyampaikan hal serupa.

“Jadi Rp550 [juta] itu jadi kayak, nih, mau BUMD mana yang siap mengeluarkan anggaran yang disiapkan plafonnya segitu. Tetapi ya saya tarif untuk kebutuhan produksi saja, terus yang lainnya dibebankan dari BUMD itu,” kata dia.

Namun, pembongkaran tersebut menjadi perbincangan di sosial media. Sejumlah fraksi di DPRD DKI Jakarta pun bahkan ikut mengkritiknya.

“Kami tidak mempersoalkan apakah dana CSR, apakah dana APBD. Dana CSR itu, kan, juga uang masyarakat. Itu, kan, sebagai sebuah kewajiban daripada pengusaha kepentingan yang ada di Jakarta untuk masyarakat. Harus jelas,” kata Sekretaris Fraksi Hanura di DPRD DKI, Veri Yonnefil saat dihubungi, Jumat (19/7/2019).

Menurut dia, pembuatan instalasi jangka pendek dengan nilai anggaran sebesar Rp550 juta tersebut menjadi sia-sia.

Hal senada diungkapkan Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI, Gembong Warsono. Ia menyampaikan bahwa pembangunan tersebut menjadi hal yang mubazir.

"Yang pertama, mubazir. Yang kedua, dulu kan pernah kami pertanyakan, katanya, kan, tahan lama, karena dia punya alat untuk membuat bambu tahan lama gitu loh," ungkap Gembong.

"Tapi itu karena barang seni, maka waktu itu oke saja, kami apresiasi. Tapi kalau faktanya sekarang sudah dibongkar, artinya fakta apa yang sekarang disampaikan tidak sesuai,” kata dia.

Sebaliknya, Anggota Fraksi Gerindra di DPRD DKI Syarif justru menilai bahwa pembongkaran tersebut merupakan masalah pada perencanaan BUMD, bukanlah Pemprov DKI.

“Meminta yang merencanakan itu bertanggung jawab menjelaskan kepada publik, jangan semua masalah ditimpahkan kepada gubernur,” kata Syarif.

Sementara terkait tudingan kalau istalasi itu mubazir atau tidaknya, Syarif tak mau berkomentar. “Kalau anggaran dari CSR, ya tergantung CSR-nya keberatan atau tidak pembongkaran itu. Kalau CSR kan enggak ada auditnya,” kata dia.

Bukan Soal Anggaran, tapi Masalah Transparansi

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan menilai anggaran senilai Rp500 juta tidak bisa dikatakan sebagai pemborosan. Namun, kata dia, yang perlu dilakukan Pemprov DKI adalah transparansi agar tidak memunculkan polemik.

“Anggaran sebesar Rp550 juta untuk karya seni semacam instalasi 'Getah Getih' sangat relatif, tidak bisa di-judge terlalu mahal atau terlalu murah,” kata Misbah.

Ia menambahkan “hanya [saja] Pemprov DKI perlu lebih transparan menginformasikan rinciannya kepada masyarakat.”

Misbah menilai kurangnya transparansi yang membuat instalasi tersebut menjadi objek kritikan. Sebab, kata Misbah, transparansi merupakan hal yang penting, sekalipun dananya berasal dari CRS.

“Pemprov perlu memasang papan informasi di sekitar instalasi seni tersebut, misalnya terkait tema dan makna karya seni, jumlah anggaran, asal anggaran (APBD/CSR/lainnya), siapa yang mengerjakan, dan berapa lama daya tahan produk seni tersebut,” kata Misbah.

Jika tak ada rincian semacam itu, kata dia, maka justru muncul kekhawatiran dana tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak sepantasnya.

"Jangan-jangan anggaran sebesar itu banyak dipakai untuk rapat-rapat persiapan, dan sebagainya, untuk pembuatan instalasinya sendiri tidak sebesar itu," ungkap Misbah.

Karena itu, kata dia, Pemprov DKI juga perlu secara transparan merinci penggunaan CSR tersebut. Selain itu, Misbah juga menekankan pentingnya posisi Pemprov DKI untuk tetap memperhatikan aturan penggunaan CSR.

“Kalau anggarannya berasal dari CSR, perlu merujuk pada UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa CSR harus punya implikasi terhadap peningkatan kualitas kehidupan dan lingkungan. Bambu itu juga punya nilai ekonomi tinggi bila dikemas dalam bentuk seni, kerajinan bambu, dan lainnya,” kata Misbah.

Di sisi lain, Misbah mengapresiasi keberadaan ruang publik yang digunakan untuk menampilkan karya-karya seni semacam Getah Getih. “Pemprov DKI perlu memperbanyak ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh pegiat seni mengekspresikan karyanya,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMPROV DKI atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz