Menuju konten utama

Kondisi Duck Syndrome pada Mahasiswa, Ciri-ciri, dan Penyebabnya

Duck Syndrome bukanlah penyakit, namun sebuah fenomena yang terjadi di kalangan mahasiswa dan anak muda.

Kondisi Duck Syndrome pada Mahasiswa, Ciri-ciri, dan Penyebabnya
Ilustrasi Duck Sindrome. foto/istockphoto

tirto.id - Kehidupan perkuliahan merupakan satu masa "tersibuk." Saat harus belajar, ikut organisasi, atau magang, mahasiswa juga harus berurusan dengan potensi gangguan mental seperti stres, cemas, hingga depresi. Kondisi ini dinamakan Duck Syndrome.

Duck Syndrome layaknya bebek yang berada di atas danau. Di permukaan, kepala dan badan bebek nampak tenang. Ia nampak mengambang dengan santai seolah tanpa banyak tenaga. Padahal di bawah air, kaki bebek bersusah payah mengayuh, menjaga agar badannya tetap berada di permukaan.

Pengertian Duck Syndrome

Melansir situs Psychiatry Online, istilah Duck Syndrome dipakai untuk menyebut kemampuan mahasiswa untuk terlihat "baik-baik saja", di samping mengatasi stres, depresi, atau rasa cemas mereka. Kondisi ini akrab dialami oleh usia remaja dan kuliah, terlebih yang berada pada lingkungan yang prestisius atau high-achieving environment.

Duck Syndrome dapat membuat mahasiswa enggan membicarakan permasalahan yang mereka hadapi. Hal ini cukup mengkhawatirkan, sebab memendam permasalahan dinilai tidak baik bagi kesehatan mental.

Kondisi Duck Syndrome erat pula kaitannya dengan penggunaan media sosial. Kecemasan akan kehidupan perkuliahan yang ideal banyak dipengaruhi oleh konten-konten pada media sosial.

Misalnya, banyak mahasiswa yang mengunggah foto sedang nongkrong atau liburan bersama teman-teman yang lain. Sedangkan di saat yang sama, banyak mahasiswa lain yang tengah berusaha membuat laporan magang hingga larut malam.

Konten-konten tersebut lantas memunculkan rasa minder bagi mahasiswa yang tidak bisa nongkrong. Tak jarang muncul pikiran, "apa hanya aku yang berjuang mati-matian di sini?"

Ciri-ciri dan Penyebab Duck Syndrome

Istilah Duck Syndrome bukanlah kondisi penyakit, namun sebuah fenomena yang terjadi di kalangan mahasiswa dan anak muda. Melansir dari situs Medicinenet.com, secara formal tidak ada ciri khusus yang dapat dikaitkan dengan Duck Syndrome.

Akan tetapi, gejala atau ciri yang sering digambarkan adalah di luar tampak baik-baik saja, namun di dalam ia susah payah. Susah payah dalam artian berjuang untuk memenuhi tuntutan yang ada, baik dari perkuliahan maupun dari keluarga dan masyarakat.

Ciri lain yang sering muncul adalah perasaan membanding-bandingkan keadaan diri sendiri dengan keadaan orang lain. Dapat pula muncul ciri lain, yaitu perasaan seperti sedang diperhatikan atau seakan-akan tengah diuji kinerjanya saat melakukan sesuatu.

Di samping itu, terdapat faktor resiko tertentu yang dapat memicu Duck Syndrome. Berikut daftar faktor risiko Duck Syndrome:

  • Masalah yang dihadapi saat kuliah: seperti jauh dari orang tua, tuntutan akademik yang lebih tinggi, maupun tekanan sosial karena masuk kuliah.
  • Media sosial: bayangan mengenai perkuliahan yang menyenangkan di media sosial, padahal kenyataannya butuh banyak perjuangan.
  • Faktor keluarga: keluarga yang terlalu menuntut, perfeksionis, maupun overprotektif.
  • Helicopter Parenting: orang tua yang terlalu banyak ikut campur dalam kehidupan anak.
  • Riwayat depresi dan kecemasan di masa lalu.
  • Faktor biologis: tingkat neurotransmitter yang tidak normal pada otak.
  • Gangguan perilaku: penderita attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), kesulitan belajar, gangguan kognitif, dan kesulitan bersosialisasi.
  • Gender: perempuan lebih rentan dibandingkan laki-laki.
  • Trauma: korban perundungan, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, ditinggal orang yang tersayang, atau terkena tekanan teman sebaya.
  • Permasalahan rumah tangga: perceraian, cek-cok, kemiskinan.
  • Faktor lain seperti keterbatasan fisik, nilai yang buruk saat di sekolah, atau putus cinta.

Duck Syndrome pada Perempuan

Perempuan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental ketimbang laki-laki. Gangguan kesehatan mental yang dimaksud bisa berupa stres, depresi, kecemasan, bipolar disorder, hingga Duck Syndrome.

Perbedaan cara masyarakat memandang perempuan menjadi faktor utama mengapa wanita lebih rentan mengalami Duck Syndrome. Perempuan punya tekanan lebih di masyarakat mengenai cara bersikap dan berperilaku.

Di satu sisi, perempuan ingin mencapai apa yang mereka inginkan, baik itu karier atau tingkat pendidikan. Namun di sisi lain, masyarakat masih memandang sebelah mata perempuan yang berkarier atau mengenyam pendidikan tinggi.

Tekanan tersebut turut hadir di dunia perkuliahan. Pada tataran organisasi kampus, misalnya, masih jarang mahasiswi yang memimpin. Hal ini dapat disebabkan karena pandangan miring laki-laki tentang perempuan, dan rasa insecure yang timbul dari dalam diri perempuan sendiri--yang terpaksa patuh pada standar tersebut.

Pandangan-pandangan lain yang memojokkan kemudian dapat memunculkan stres dan gangguan mental lain dalam diri perempuan.

Di sisi lain, perempuan juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermedia sosial. Menurut data Hootsuite: We Are Social tahun 2021, perempuan usia 16-24 tahun rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 14 menit untuk bermedia sosial setiap harinya. Sedangkan laki-laki dengan rentang usia yang sama menghabiskan waktu 2 jam 39 menit.

Penggunaan sosial media dapat menjadi salah satu pemicu munculnya Duck Syndrome. Perempuan-perempuan dengan privilese dengan mudahnya mencapai apa yang mereka inginkan dan mengunggahnya ke media sosial. Sedangkan perempuan lain yang tumbuh tanpa kesempatan yang sama masih harus struggle.

Perbedaan kesempatan yang terpampang di media sosial--diperparah dengan konten memakai filter memukau--membuat risiko perempuan mengalami Duck Syndrome lebih tinggi ketimbang laki-laki.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Adilan Bill Azmy

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Adilan Bill Azmy
Penulis: Adilan Bill Azmy
Editor: Yonada Nancy