tirto.id -
Menurut Direktur Tindak Pidana Kriminal Umum Polda Jawa Barat Kombes Umar Surya Fana, M dan F dijadikan tersangka karena polisi menemukan alat bukti baru berupa keterangan saksi. Pada saat kejadian pembakaran, saksi yang ada di lokasi menyatakan pembakaran dilakukan pada saat upacara berlangsung.
“Kami mendapat keterangan saksi baru bahwa kejadian pembakaran itu dilakukan pada saat acara masih berlangsung. Jadi bukan setelah upacara baru dibakar,” kata Umar pada Tirto, Selasa (30/10/2018).
Umar menegaskan, M dan F tidak dipidana karena dugaan penistaan agama atau penodaan agama. Menurut Umar, M dan F dikenakan pidana yang sama dengan Uus Sukmana yang menjadi pembawa bendera, yaitu Pasal 174 KUHP soal membuat kegaduhan.
“Bukan penodaan agama. Jauh sekali itu,” katanya.
Polisi mengatakan tidak ada perbedaan hukum antara anggota Banser NU tersebut dengan Uus. Umar meyakini bahwa ada asas persamaan di mata hukum. Ia tidak ragu mengenakan pidana kepada anggota Banser NU jika memang mereka bersalah.
“Memang kalau anggota Banser nggak kena Undang-undang? Ya kan equality before the law,” ucapnya lagi.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 174 KUHP karena telah membuat kegaduhan dalam sebuah acara. Adapun Pasal 174 KUHP berbunyi, barang siapa dengan sengaja mengganggu rapat umum yang tidak terlarang, dengan mengadakan huru hara, atau membuat gaduh, dihukum penjara selama-lamanya tiga minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp900.
Kedua pembakar bendera tersebut ditetapkan sebagai tersangka belakangan karena baru ditemukan alat bukti yang cukup dalam proses penyidikan.
Sebelumnya, pada Senin (22/10), terjadi pembakaran bendera yang dilakukan sejumlah orang dalam acara Hari Santri Nasional di Alun-alun Limbangan, Garut.
Awalnya, seorang warga Garut berinisial U menyelinap ke acara itu dengan membawa bendera yang diakuinya sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan mengibarkannya di acara itu.
Kemudian F dan M yang merupakan anggota Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser) langsung mengamankan U dan kemudian menyita serta membakar bendera tersebut.
Sementara masyarakat menganggap bendera itu bertuliskan kalimat tauhid, bukan bendera HTI, yang akhirnya memicu kemarahan masyarakat sehingga terjadi Aksi Bela Tauhid di sejumlah daerah di Tanah Air.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Muhammad Akbar Wijaya