tirto.id - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha mengatakan, saat ini kunci dari kasus PT Freeport Indonesia adalah masalah izin mereka, apakah berdasarkan Kontrak Karya (KK) atau berdasarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Izin ekspor itu harus ada dasar hukumnya, apabila dia [Freeport] mengantongi izin IUPK maka mereka sesuai dengan Pasal 103 dan Pasal 102 yang mana diberi kewenangan untuk eskpor,” ujar Satya, ditemui usai menjadi pembicara dalam Diskusi Nasional Kebijakan Energi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (26/4/2017).
Tetapi terkait izin tersebut, lanjut Satya, disebutkan bahwa setelah lima tahun Peraturan Pemerintah (PP) itu dikeluarkan, yaitu PP nomor 1 Tahun 2017, Freeport harus membangun smelter. Selain itu, Freeport juga harus mematuhi beberapa hal yang diamanatkan dalam PP nomor 1 tahun 2017 tersebut.
Politisi Partai Golkar ini menambahkan, saat ini yang dilarang itu adalah jika Freeport memegang dua izin, yaitu KK dan IUPK.
“Yang tidak diizinkan itu apabila Freeport pegang dua, satu kontrak dan satu IUPK, itu yang tidak boleh,” lanjut Satya lagi.
Oleh karena itu pihaknya memastikan pada Menteri ESDM bahwa Freeport menandatangani izin ekspor berdasarkan pada perintah di IUPK, bukan KK.
“Freeport tidak boleh melakukan ekspor jika berdasarkan pada KK, karena KK itu mensyaratkan harus sesuai dengan UU Minerba, di mana harus ada smelter pada akhir tahun 2014, kan itu sudah kelewat semua, maka dia tidak boleh lagi berlandaskan KK,” jelas Satya.
Ia juga mengimbau jika masyarakat mengetahui Freeport melakukan ekspor menggunakan KK, maka harus dilaporkan ke DPR.
“Intinya, dia [Freeport] boleh memegang KK tapi tidak boleh ekspor. Kalau dia mau ekspor, dia harus pegang IUPK. Nah kalau misalnya masyarakat ternyata tahu kalau Freeport megang KK tapi tetap ekspor, laporkan ke kami,” tegasnya.
Izin ekspor, menurut Satya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian terkait dengan hal itu.
Terkait Surat Izin Ekspor (SPE) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, menurut Satya itu tidak ada hubungannya dengan kedatangan Wakil Presiden AS ke Jakarta pada 20 April lalu.
“Saya melihat kunjungan daripada Mike Pence itu sebagai konselasi bilateral, maka apa yang dibicarakan ada berbagai macam, tidak spesifik terkait itu [Freeport], jadi menurut saya tidak relevan sekali kalau itu dikaitkan,” kata Satya.
Saat ini Freeport sudah mengantongi izin ekspor konsentrat dari Kementerian Perdagangan pada 21 April 2017, tepat sehari setelah Wakil Presiden AS Mike Pence berkunjung ke Indonesia. Sebelumnya, melalui Executive Vice Presiden, Freeport mengajukan permohonan izin ekspor pada 20 April. Namun Kementerian Perdagangan baru menyetujui permohonan ini setelah mendapatkan kelengkapan dokumen pada Jumat 21 April malam.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra