tirto.id - Pada 15 Desember 2017 lalu, anak-anak Tien Phong Primary School, Vietnam, nampak sumringah. Hari itu, mereka turut serta dalam gelaran perayaan 10 tahun diberlakukannya undang-undang penggunaan helm secara nasional di Vietnam. Perayaan tersebut mengambil tema “Fun with Traffic Safety.”
Seperti dilansir Vietnam News, perayaan melibatkan seluruh murid, guru, dan juga staf. Rangkaian acara hari itu terdiri dari serah terima helm, melukis helm, kontes mengenakan helm, pertunjukan National Vietnam Circus, serta ditutup dengan flash dance.
“Setelah 10 tahun menerapkan undang-undang helm nasional, kami telah mencapai kesuksesan yang signifikan,” kata Dr. Khuất Việt Hùng, Wakil Ketua Komite Keselamatan Lalu Lintas Nasional.
Produk Hukum yang Prestisius
Laporan Centre for Global Development menyatakan, undang-undang penggunaan helm di Vietnam diatur dalam Resolusi 32. Regulasi tersebut disahkan Perdana Menteri Nguyen Tan Dung pada 2007. Fokus Resolusi 32 adalah mewajibkan masyarakat Vietnam mengenakan helm kala berkendara dengan motor.
Kemunculan Regulasi 32 didasari faktor tingginya angka kecelakaan dan kematian di jalanan Vietnam. Sebagai contoh, pada 2007, kecelakaan lalu lintas menewaskan sekitar 14.000 orang yang 60 persennya merupakan pengendara sepedar motor. Kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan lebih dari 30.000 orang menderita cedera parah pada otak dan kepala.
Di samping kerugian fisik, kecelakaan lalu lintas di Vietnam turut menyebabkan kerugian ekonomi. Kerugian materi yang ditimbulkan kecelakaan lalu lintas mencapai $900 juta—setara dengan 2,7 persen PDB—setiap tahunnya sejak awal tahun 2003.
Tingginya angka kecelakaan di Vietnam tak bisa dilepaskan dari jumlah sepeda motor yang kian membludak. Selama kurun lima tahun (2002-2007), terdapat kenaikan sebesar 4 kali lipat jumlah motor dari semula 5 juta menjadi 20 juta. Kenaikan tersebut ternyata tidak diimbangi dengan penggunaan helm oleh masyarakat. Tahun 2000an, masyarakat Vietnam yang menggunakan helm saat berkendara kurang dari sepertiga.
Alasan masyarakat Vietnam tidak menggunakan helm antara lain: berkendara dekat dengan rumah, tidak nyaman, tidak memiliki uang, tidak punya motor, sulit untuk melihat, hingga merasa aman sebab tidak ada polisi.
Upaya penegakan penggunaan helm sebetulnya sudah dilakukan sejak pertengahan 1990an. Akan tetapi, otoritas berwenang mendapati banyak kendala seperti ketidakpatuhan warga dan denda yang jumlahnya relatif kecil.
Pembahasan mengenai undang-undang helm dijajaki lebih serius saat Bui Huynh Long—mantan pegawai Kementerian Perhubungan Vietnam—terpilih jadi Direktur Komite Keselamatan Lalu Lintas Nasional (NTSC). Pencapaian NTSC di bawah arahan Rong adalah menggandeng kemitraan dengan AIP Foundation, sebuah yayasan internasional yang fokus pada pencegahan kecelakaan. Dari kerjasama itu, AIP Foundation mendirikan pabrik helm di Hanoi pada 2002 yang mampu memproduksi setengah juta helm dalam beberapa tahun pertama operasinya.
Lima tahun berselang usai pendirian pabrik itu, undang-undang helm nasional disahkan.
Sesaat setelah undang-undang helm disahkan, pemerintah melakukan pelbagai cara untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan penggunaan helm seperti dengan menugaskan sekitar 680.000 personel kepolisian untuk turun ke jalan dan mengawasi pengendara motor hingga memasang iklan layanan masyarakat di televisi, konser, hingga reklame yang dikoordinir oleh The Vietnam Helmet Wearing Coalition (VHWC).
Hasilnya? Berdasarkan data Komite Keselamatan Lalu Lintas Nasional, undang-undang helm telah mencegah 500.000 orang terkena cedera kepala, 15.000 korban jiwa, dan menghemat $3,5 miliar.
Tidak Disukai Anak-Anak
Kendati mampu memperlihatkan catatan positif, undang-undang helm di Vietnam masih memiliki kekurangan. Menurut laporan South China Morning Post, terdapat sepasang kekurangan yang dipunyai undang-undang tersebut. Pertama, kurang dari separuh anak-anak Vietnam tidak memakai helm. Kedua, 80 persen helm yang dipakai tidak memadai.
Untuk poin pertama, orangtua merasa khawatir mengenakan helm kepada anaknya sebab ada anggapan helm berdampak buruk bagi leher anak-anak. Padahal, risiko kecelakaan lebih besar ketimbang risiko helm terhadap leher.
Akibat minimnya tingkat pemakaian helm di kelompok ini, sekitar 2.000 anak meninggal dalam kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya. “Setelah kecelakaan, sang ayah baik-baik saja dan si ibu mengalami patah tulang. Namun, yang parah adalah anak-anak sebab mengalami trauma dan sedang koma,” jelas Dr. Dong Van He, direktur departemen bedah saraf Rumah Sakit Viet Duc yang kerap merawat anak-anak korban kecelakaan motor.
Pemerintah pun ambil sikap. Duong Van Ba, Wakil Direktur Departemen Urusan Mahasiswa dan Politik Kementerian Pendidikan dan Pelatihan Vietnam mengatakan bahwa pihaknya akan menugaskan pegawai kementerian untuk turun ke lapangan guna memeriksa apakah anak-anak menggunakan helm atau tidak saat tiba di sekolah.
Di lain sisi, publik meminta pemerintah memberlakukan kebijakan baru: anak-anak di atas usia 6 tahun mesti menggunakan helm agar angka kecelakaan bisa diredam.
Bagaimana Indonesia?
Situasi serupa sebetulnya terjadi di Indonesia. Pengaturan mengenai pemakaian helm termaktub dalam Pasal 57 ayat (1) jo ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyatakan setiap kendaraan bermotor wajib dilengkapi perlengkapan kendaraan berupa helm standar nasional Indonesia.
Dasar hukum pemberian label SNI adalah ketentuan Pasal 3 huruf b Peraturan Menteri Perindustrian No. 40/M-IND/PER/6/2008 Tahun 2008 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Helm Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua Secara Wajib.
Bagi mereka yang melanggar—tidak memakai helm maupun membiarkan penumpangnya tidak memakai helm—dapat dipidana kurungan pidana paling lama satu bulan dan denda paling banyak sebesar Rp250 ribu.
Secara total, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia termasuk tinggi. Menurut data Ditjen Darat Kementerian 2015, jumlah kecelakaan mencapai 95.906 insiden dengan 28.897 korban meninggal dan 136.581 korban luka-luka.
Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Hindro Surahmat menyampaikan jika dihitung per hari, sebanyak 72-73 orang di Indonesia meninggal karena kecelakaan dan kerap dialami kelompok berusia 16-30 tahun.
"Tiga sampai empat orang setiap jam tidak kembali ke rumah karena meninggal dalam kecelakaan lalu lintas," katanya. "Ini sangat membahayakan karena menempati urutan nomor satu, kemudian diikuti dengan HIV/AIDS, tuberculosis, dan kekerasan."
Hindro menjelaskan usia rata-rata paling rentang kecelakaan, yaitu rentang usia 16-30 tahun (43 persen) dan dialami oleh siswa SMA (57 persen).
Berkaca data tersebut Kemenhub menargetkan penurunan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas bisa berkurang hingga 50 persen pada 2020 mendatang. Target tersebut telah tercantum dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) 2011-2035.
Hindro menyampaikan RUNK tersebut menggunakan indikator angka kematian per 100.000 populasi dan case fatality rate (CFR) sebagai alat pengukur dan mengevaluasi keberhasilan kinerja keselamatan jalan.
"Pada 2010, angka kematian per 100.000 populasi adalah sebesar 13,15 dan ditargetkan pada 2020 dan 2035 menjadi 6,57 dengan penurunan 50 persen dan 2,63 dengan penurunan 80 persen," katanya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Maulida Sri Handayani