Menuju konten utama

DP Motor 0 Persen: Pancingan Pemerintah yang Potensial Bermasalah

Kebijakan DP 0 persen untuk beli motor diharapkan memberikan stimulus ekonomi, tapi ada pula kekhawatiran itu memperbanyak kredit macet.

DP Motor 0 Persen: Pancingan Pemerintah yang Potensial Bermasalah
Warga mengangkut sepeda motor. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

tirto.id - Suku bunga acuan 7 days reverse repo rate yang saat ini berada di angka 6 persen tengah dikhawatirkan memberikan sejumlah implikasi. Tingginya suku bunga acuan ini diikuti dengan kenaikan suku bunga pinjaman atau suku bunga kredit di perbankan dan lembaga keuangan.

"Itu akan berdampak dalam penurunan konsumsi," ujar ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede kepada reporter Tirto, Jumat (11/1/2019).

Kenaikan suku bunga akan membuat masyarakat mengerem pengajuan pinjaman baru. Hal ini akan berimplikasi pada berkurangnya tingkat penyaluran kredit.

Mengutip Survei Perbankan Bank Indonesia (BI), pertumbuhan triwulanan kredit baru terindikasi cenderung melambat pada kuartal III-2018, tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) permintaan kredit baru kuartal III-2018 yang turun menjadi 21,2 persen dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 90,3 persen.

Untuk menanggulangi masalah tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BI, dan Kementerian keuangan memutar otak. Cara agar nilai tukar rupiah tetap terjaga sementara penyaluran kredit bisa didongkrak adalah dengan memberikan stimulus.

Kebijakan teranyar yang ditempuh OJK adalah menerbitkan Peraturan OJK nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang memungkinkan konsumen atau masyarakat bisa menikmati down payment (DP) alias uang muka kredit motor dan mobil sebesar 0 persen.

"Ini jadi satu kebijakan yang positif. Untuk jaga konsumsi masyarakat konsumsi rumah tangga dan juga daya beli masyarakat," jelas Josua.

Sebelumnya, BI juga melonggarkan aturan Loan To Value (LTV) dan Financing To Value (FTV), meliputi aspek pelonggaran rasio LTV untuk kredit properti dan rasio FTV untuk pembiayaan properti. Lewat aturan yang sama, BI juga melakukan pelonggaran jumlah fasilitas kredit atau pembiayaan melalui mekanisme inden, dan penyesuaian pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit serta pembiayaan.

"Tahun lalu kan BI juga sudah melonggarkan terutama yang KPR 0 persen juga," kata dia.

Stimulus-stimulus tersebut diharapkan bisa mendongkrak laju pertumbuhan kredit, yang artinya akan lebih banyak uang beredar di masyarakat. Pada akhirnya kebijakan ini diharapkan bakal mendongkrak laju ekonomi. Maklum, Indonesia masih mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor konsumsi masyarakat.

Meski demikian, kebijakan ini bukan tanpa efek samping. Ada risiko yang harus dihitung matang-matang, salah satunya adalah meningkatnya beban operasional perusahaan pembiayaan.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira menjelaskan, perusahaan pembiayaan tentu bakal meningkatkan pengawasan agar kredit yang sudah disalurkan tak berubah jadi kredit macet alis non performing financing (NPF). Salah satu upayanya adalah dengan menambah tenaga kerja untuk melakukan survei kepada calon nasabah yang mengajukan pembiayaan.

Jika tenaga kerja ditambah, tentu perusahaan bersangkutan harus menambah alokasi anggaran untuk gaji pegawai.

"Ongkos bagi perusahaan pembiayaan akan meningkat karena administrasi untuk seleksi pengajuan kredit pastinya menambah personel baru," kata Bima kepada reporter Tirto. "Belum lagi kredit kendaraan bermotor lebih rawan risiko dalam penagihan dibandingkan properti rumah yang tidak bergerak. Biaya debt collector harus dihitung ulang," tambahnya.

Sekadar catatan, Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perusahaan pembiayaan di Indonesia mencapai 80,46 per November 2018. Angka itu masih terbilang tinggi.

Penyaluran Kredit Tetap Selektif

Kendati demikian, pelaku usaha sektor pembiayaan tetap menyambut baik kebijakan OJK, meski mereka juga tampaknya tak mau terlalu terlena.

Direktur Mandiri Tunas Finance (MTF) Harjanto Tjitohardjojo mengatakan, perusahaan tetap akan selektif menyalurkan kredit pembiayaan kendaraan bermotor tanpa uang muka.

"Memang untuk ini [DP 0 persen] kami lagi pilih segmennya. Lagi kami pelajari apa yang cocok untuk segmen untuk 0 persen. Misalnya yang kita pertimbangkan itu untuk kreditur corporate," jelas dia.

Dengan cara ini diharapkan laju penyaluran kredit bisa didongkrak lebih agresif tapi di sisi lain risiko kredit bermasalah alias NPF bisa dikendalikan.

Baca juga artikel terkait DP KENDARAAN 0 PERSEN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Bisnis
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino