Menuju konten utama

DJP Maksimalkan Penerimaan Pajak Melalui PP 36/2017

DJP akan membidik Pajak Penghasilan (PPh) dari harta Wajib Pajak, baik yang mengikuti program pengampunan pajak maupun yang tidak ikut.

DJP Maksimalkan Penerimaan Pajak Melalui PP 36/2017
Ilustrasi. Petugas menjelaskan cara membuat pelaporan SPT Tahunan PPh Pajak Orang Pribadi dengan sistem online (E-Filing) kepada warga wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Madya Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (28/3). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menyiapkan strategi untuk mendongkrak penerimaan pajak pada kuartal IV 2017 hingga 2018 mendatang.

Dengan penerbitan Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2017, DJP akan membidik Pajak Penghasilan (PPh) dari harta Wajib Pajak, baik yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) maupun yang tidak ikut.

“PP ini untuk memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan tertentu,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (20/9/2017).

Adapun PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. DJP sendiri bakal mengenakan tarif pajak penghasilan final kepada tiga jenis kategori Wajib Pajak. Masing-masingnya adalah sebesar 12,5 persen untuk Wajib Pajak Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), 25 persen untuk kelompok Wajib Pajak Badan, serta sebesar 30 persen untuk kelompok Wajib Pajak Orang Pribadi.

“Untuk mencegah penyimpangan, DJP menerapkan mekanisme pengawasan internal sesuai aturan yang berlaku dan mengharapkan bantuan masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan PP ini di lapangan,” kata Hestu Yoga.

Menanggapi diterbitkannya PP tersebut, Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) Rosan Roeslani mendukung pemerintah dalam mendorong penyempurnaan implementasi pengampunan pajak. Akan tetapi, Rosan berpesan agar pemerintah berfokus pada Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajibannya.

“Kami juga sudah bicara dengan Bu Menteri [Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati] bahwa yang sudah bayar amnesti pajak mestinya jangan dipertanyakan lagi. Konsentrasi dulu saja pada yang belum bayar,” kata Rosan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, pada Rabu sore.

Rosan pun menyoroti penentuan nilai harta dari Wajib Pajak dalam PP yang mengacu pada DJP, dan bukannya bersifat pelaporan mandiri (self assessment). Menurut Rosan, hal itu dikhawatirkan menjadi ajang perdebatan.

“Untuk itu, bagaimana kami menjembataninya? Jangan sampai dalam perbedaan terjadi tawar-menawar. Itu yang tidak kami inginkan. Kami ingin ada kepastian, supaya tidak ada persekongkolan antara pengusaha dengan pajak,” ujar Rosan.

Lebih lanjut, Rosan menilai adanya perbedaan tersebut mampu berpotensi menimbulkan perselisihan antara kedua pihak.

Saat disinggung mengenai upaya Kadin dalam mendorong anggotanya yang belum melaporkan hartanya, Rosan mengklaim sudah terus melakukan sosialisasi dan beranggapan kalau di era keterbukaan informasi seperti sekarang, membayar pajak betul-betul merupakan kewajiban.

“Kalau nakal, kita setuju hukum seberat-beratnya. Bikin peraturan yang jelas, hukumannya nggak bisa ditawar. Tapi kalau sudah tertib, ya sudah lah,” harap Rosan.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz