tirto.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza menanggapi usulan lockdown akhir pekan yang disampaikan anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay. Menurut dia, siapa saja boleh mengusulkan apa pun perihal pencegahan dan penanganan pandemi Corona.
“Itu usulan pribadi,” kata Riza, Kamis (4/2/2021). “Yang bersangkutan mengusulkan lockdown di akhir pekan seperti di Turki karena memang kalau lockdown sepanjang waktu, dua minggu, satu bulan atau lebih, belum memungkinkan.”
Anggota DPRD DKI fraksi PAN, Lukmanul Hakim, menilai pemberlakuan lockdown akhir pekan efektif untuk memutus rantai penularan COVID-19 di Jakarta. Menurutnya, kebijakan ini patut dicoba.
“Enggak akan selesai kalau begini-begini saja. Harus ada terobosan aturan,” kata Lukmanul dalam keterangan pers, Kamis. “Pokoknya harus tegas, selama Sabtu-Minggu warga tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan mendesak. Ini penting, karena weekend memang periode yang paling tinggi mobilitas warganya.”
Isu lockdown Jakarta terus bergulir menjelang akhir pekan, bersamaan dengan penerapan program Di Rumah Saja yang dari Pemprov Jawa Tengah yang dipimpin Gubernur Ganjar Pranowo. Bahkan beredar pesan berantai di grup Whatsapp yang menyatakan bahwa Jakarta akan lockdown pada 12-15 Februari 2021. Pesan ini disebut hoaks oleh Kementerian Kesehatan dan Polri.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri memastikan sejauh ini tak ada rencana lockdown. “DKI Jakarta tidak menerapkan kebijakan lockdown akhir pekan. Itu adalah wacana yang berkembang di masyarakat dan media,” kata Anies melalui konferensi pers secara daring, Jumat (5/2/2021). “Kami tidak dalam mempertimbangkan [lockdown],” tambahnya.
Meski sejauh ini dipastikan tidak ada, apakah lockdown akhir pekan patut dipertimbangkan, mengingat kasus COVID-19 tak kunjung reda dan DKI merupakan salah satu episentrum penularan?
Epidemiolog dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Mouhammad Bigwanto menjelaskan secara teori lockdown atau karantina wilayah akhir pekan tak efektif karena di hari lain masyarakat masih beraktivitas di luar rumah.
“Ini usaha coba-coba lain yang tak signifikan. Kasus atau orang yang sama, mungkin akan mobilitas di hari selain akhir pekan. Jadi tak ada pengaruhnya sama sekali,” ujar Bigwanto kepada reporter Tirto, Jumat (5/2/2021).
Di negara-negara yang ‘berhasil’ mengurangi penularan, empat pekan pertama otoritas kesehatan setempat akan mengintensifikasi tes (testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien (treatment) atau 3T. Upaya ini dilakukan hingga semua kasus ditemukan. Rampung itu, pemerintah setempat barulah perlahan membuka karantina.
Meski pakar kesehatan di Indonesia juga menyarankan seperti itu, namun pemerintah tak melakukannya karena pertimbangan ekonomi. Imbasnya, kata Bigwanto, pemerintah membikin konsep setengah-setengah yang hasilnya tak signifikan.
Dia memberi contoh PPKM, yang tampak seperti versi longgar PSBB, terbukti gagal membendung penularan setelah libur Natal dan tahun baru.
Presiden Joko Widodo sendiri telah mengakui bahwa PPKM yang dilaksanakan pada periode 11-25 Januari 2021 tak efektif pada 3 Januari lalu. Jokowi mengatakan sejumlah provinsi tidak tegas menegakkan PPKM.
Maka dari itu, Bigwanto menyarankan ketimbang lockdown akhir pekan, “kembali saja ke PSBB [total].”
Per Jumat kemarin, total kasus terkonfirmasi positif di DKI mencapai 287.233. DKI memberikan kontribusi terbanyak terhadap kasus nasional yang totalnya mencapai 1.134.854. Kasus meninggal mencapai 4.502.
Irma Hidayana, Koordinator LaporCovid19, juga berpendapat serupa. Dia mengatakan jika mau ada pembatasan, maka minimal dilakukan 14 hari dan dapat ditambah 14 hari lagi. Waktu dua pekan sama seperti masa inkubasi virus.
“Harapannya biar bisa menekan perpindahan virus dari satu orang ke orang lain. Kalau hanya tiga hari, dasar epidemiologinya kurang kuat,” ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat.
Penulis: Riyan Setiawan & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino