tirto.id - Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia enggan disebut pihaknya merintangi pengungkapan keberadaan Harun Masiku, lantaran hanya karena telat memberikan informasi perihal tersangka pemberi suap itu tiba di Jakarta pada 7 Januari 2020.
Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie mengatakan pihaknya sudah bergerak jadi tak elok dianggap menutupi keberadaan Harun Masiku.
"Kami dari awal berusaha menjelaskan pada media apa yang ditanya oleh media kemudian ada sedikit kekurangan dalam pemberian informasi ini kalau dianggap menutupi saya kira tendensius," ujarnya di Gedung Imigrasi, Jakarta Selatan, Jumat (24/1/2020).
Ia mengklaim sudah bersikap terbuka dalam memberikan informasi perihal keberadaan Harun. Serta tidak sedang mencoba untuk merekayasa data.
"Justru fokus utama kita adalah menemukan HM yang sekarang ini sudah ada di Indonesia bagaimana mencari HM agar penegakkan hukum tuntas," ujarnya.
"Bukan mempersoalkan tentang bagaimana informasi ini diberikan kemudian dianggap menutupi mempersulit."
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Yasonna H. Laoly dengan membawa barang bukti berupa satu berkas dokumen yang terdiri dari hasil kajian, surat dan tangkapan layar CCTV ketika Harun melintas di Bandara Soekarno Hatta.
"Kita patut menduga hal-hal [merintangi kasus] itu bisa terjadi karena alasan yang diungkapkan Menkumham maupun Dirjen Imigrasi tidak cukup bisa membenarkan dalil mereka. Mereka bisa cek CCTV di kedatangan internasional, itu tidak dilakukan," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2020).
Kolisi Masyarakat Sipil menduga adanya perbuatan merintangi penanganan perkara atau yang disebut dengan obstruction of justice. Sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 21 berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri