Menuju konten utama

Dissenting Opinion Saldi Isra Soal Batas Usia Capres Cawapres

Apa isi dissenting opinion Saldi Isra soal batas usia capres dan cawapres?

Dissenting Opinion Saldi Isra Soal Batas Usia Capres Cawapres
Hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Saldi Isra adalah salah satu Hakim Konstitusi yang mengungkapkan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan perkara soal batas usia capres dan cawapres.

Dalam dissenting opinion,Saldi mengungkapkan bahwa ada kejanggalan dalam putusan tersebut. Ia menilai, putusan MK tersebut sangat tidak masuk akal. Hal itu karena dalam waktu yang relatif singkat, MK berubah pikiran secara tiba-tiba.

Diketahui bahwa permohonan yang disetujui oleh MK berasal dari perseorangan yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A warga Surakarta, Jawa Tengah.

Dengan demikian Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) secara lengkap berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Di sisi lain, MK menolak gugatan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia calon presiden (capres) - calon wakil presiden (cawapres) menjadi 35 tahun.

Selain itu, gugatan uji dari Partai Garuda serta beberapa kepala daerah yang meminta batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau mempunyai pengalaman menjadi penyelenggara Negara juga ditolak.

Isi Dissenting Opinion Saldi Isra

"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi dalam pembacaan pendapat berbeda di ruang sidang MK, Senin (16/10/2023).

Mulanya putusan MK menolak permohonan PSI yang meminta batasan usia capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun, setelah itu MK memutuskan menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa UNS yang mengajukan minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.

"Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

Dengan adanya putusan itu, gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, Wagub Jawa Timur Emil Dardak Dkk menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?" kata dia menjelaskan.

Secara keseluruhan, ada belasan permohonan untuk menguji batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan gelombang pertama 29-51-55/PUU-XXI/2023.

Dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. Saat itu ada delapan hakim yang memutus perkara di mana dua hakim menyatakan dissenting opinion.

"Hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang," kata Saldi.

Ketua MK Anwar Usman baru ikut memutus perkara selanjutnya di gelombang kedua, yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023. Menurut Saldi, Anwar Usman tidak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Saldi.

Pada Senin 16 Oktober 2023, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawpres. Dari tujuh gugatan yang masuk, sebanyak enam gugatan ditolak.

Satu gugatan yang dikabulkan sebagian satu diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).

MK menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Baca juga artikel terkait SALDI ISRA atau tulisan lainnya dari Tifa Fauziah

tirto.id - Hukum
Kontributor: Tifa Fauziah
Penulis: Tifa Fauziah
Editor: Dipna Videlia Putsanra