tirto.id - Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan soal anggaran subsidi energi yang membengkak hingga 162,4 persen dari yang direncanakan dalam APBN 2018 lalu.
Hal ini, kata dia, tak lepas dari nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS serta kenaikan harga minyak mentah dari asumsi makro yang ditetapkan pemerintah.
"Tujuannya untuk menyeimbangkan antara stabilitas harga, daya beli masyarakat, kemudian ekonomi dan badan usaha, supaya badan usaha bisa stabil untuk bisa lakukan kegiatan," tutur Askolani usai Konferensi Pers realisasi APBN di Kementerian Keuangan, Rabu (2/1/2018) malam.
Menurutnya, selama 2018 terjadi sejumlah perubahan kebijakan subsidi terutama untuk BBM dan listrik. Selain itu, subsidi energi ini juga sudah termasuk kekurangan bayar sebesar Rp12 triliun kepada Pertamina dan Rp5 triliun kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kekurangan bayar kepada Pertamina yang dimaksud adalah penggantian biaya distribusi Solar di tahun 2017 yang belum dibayarkan pemerintah.
Alas hukum pembayaran itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 43/2018, yang menetapkan bahwa beban biaya tambahan penyaluran BBM bersubsidi dan penugasan akan mendapat penggantian dari negara.
"Sebabnya kita melunasi harus ada sistem hasil audit. Akan dibayarkan di 2019. Kita sudah pagukan, yang di 2018 sudah kita bayar semua," terang Askolani.
Seperti diketahui, total subsidi energi Pemerintah tercatat mencapai Rp153,5 triliun, atau 162,4 persen lebih besar dari anggaran yang dialokasikan sebesar Rp94,5 triliun.
Subsidi listrik terdiri dari subsidi BBM dan LPG sebesar Rp97 triliun dari alokasi 46,9 triliun atau membengkak 207 persen. Ada pula subsidi listrik yang membengkak 118,6 persen menjadi Rp56,5 triliun dari alokasi Rp46,7 triliun.
Sementara subsidi non-energi sebesar Rp63,3 triliun atau 102,5 persen lebih besar dari yang dianggarkan dalam APBN 2018 sebesar 61,7 persen.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno