tirto.id - Maret enam tahun lalu, Museum of Modern Art, New York dipadati ribuan pengunjung. Mereka berduyun-duyun menghampiri seorang wanita berusia enam puluhan yang mematung di sebuah kursi kayu di tengah galeri. Dengan rambut dikepang dan gaun merah yang menjuntai ke bawah, wanita tua itu mengunci tatapan setiap pengunjung yang bergantian duduk di seberangnya.
Marina Abramovic tidak sedang membuat lelucon. Ini adalah karyanya yang berjudul The Artist Is Present. Ia akan menantang tatapan setiap penonton dan mematung selama tujuh jam sehari selama seminggu berturut-turut.
Melalui karya ini, Marina akan berkomunikasi dan berbagi perasaan melalui tatapan mata, baik itu sedih, gembira hingga trauma masa lalunya. Dalam sebuah rekaman video, ekspresi yang datang dari penonton bermacam ragam, ada yang bingung, takut, sedih, marah, tertawa hingga mengucurkan air mata.
Karena namanya begitu fenomenal, Marina berhasil menarik lebih dari 850.000 pengunjung, dalam sebuah pertunjukan bersejarah di museum itu. Di antara kerumunan pengunjung, terselip pula beberapa selebriti tersohor seperti Björk, Marisa Tomei, Isabella Rossellini, Lou Reed, Sharon Stone, dan Rufus Wainwright.
Namun, yang tak kalah pentingnya adalah kehadiran seorang seniman asal Jerman bernama Ulay. Marina benar-benar runtuh saat lelaki tua necis, dengan jas dan sepatu kets itu menatapnya. Dalam hitungan detik, matanya mulai berkaca-kaca dan meneteskan air mata.
Ulay dan Marina adalah sepasang kekasih yang memutuskan berpisah sejak 26 tahun silam. Pertemuan itu bermula sejak Marina menggoreskan pisau cukur bergambar bintang komunis di perutnya.
Ketika pasangan ini berpisah pada tahun 1988, mereka memutuskan untuk menandai akhir hubungan itu dengan berjalan sejauh 2,500 km dari kedua ujung Tembok Cina, sebelum akhirnya berpeluk dan berpisah untuk terakhir kalinya. Perpisahan itu mereka namai dengan The Lovers. Sejak menjalin cinta, Ulay dan Marina membuat banyak karya kolaborasi fenomenal di jagat seni pertunjukan.
Hasil pertunjukan yang bertajuk The Artist Is Present itu cukup mengejutkan. Setiap hari, beberapa orang mulai menangis, beberapa di antaranya bahkan menangis hanya beberapa detik setelah menatapnya.
"Aku menatap mata banyak orang yang membawa rasa sakit di dalam, saya bisa langsung melihat dan merasakannya," kata Marina kepada The Guardian.
Di blog pribadi dan MySpace, beberapa di antaranya mulai berbagi pengalaman setelah duduk bersama Marina, bahkan ada yang menggunakan bahasa-bahasa religius dan kata-kata yang mengubah hidup.
"Saya menjadi cermin bagi emosi mereka sendiri. Satu orang besar Hell's Angel (anggota geng motor) dengan tato di mana-mana menatapku galak, tapi setelah 10 menit itu runtuh ke dalam air mata dan menangis seperti bayi." ucap Marina.
Terkait dengan itu, Marina mengaku bahwa ia juga mengambil energi dari penonton dan mengubah energi itu, lalu mengembalikannya dengan cara yang berbeda. Hal itulah yang membuat beberapa penonton sering menangis atau menjadi marah.
Dengan umur yang bertambah tua, Marina sadar akan ketahanan fisiknya. Berbulan-bulan menjelang The Artist Is Present digelar. Ia menjalani program pelatihan yang dirancang oleh NASA, sebuah program ruang angkasa Amerika.
"Secara fisik, mental, saya harus mempersiapkan diri untuk suatu prestasi daya tahan. Saya menjadi seorang vegetarian, saya meditasi mendalam, saya membersihkan diri. Saya melatih tubuh dan pikiran. Aku belajar untuk makan makanan tertentu sehingga saya tidak harus pergi ke toilet selama tujuh jam."
Tidak sekali Marina menderita demi seni. Dalam karyanya yang berjudul The House with the Ocean View, ia bahkan rela menghabiskan dua belas hari tanpa makan dan berbicara. Di dalam tiga buah ruang setinggi enam kaki dari lantai di Sean Kelly Gallery, Marina tidur, minum air, buang air kecil, mandi dan menatap penonton dengan mengenakan pakaian berbeda setiap hari.
Selain itu, karyanya yang tak kalah mencuri perhatian adalah “Rhythm 10”, karya ini tercipta di tahun 1973. Ketika itu, ia menggunakan 20 pisau secara bergantian dan menusukkan pisau itu di antara jari-jari tangannya.
Setahun berikutnya, ia menggagas karya “Rhythm 5”, di mana ia membuat sebuah bintang yang cukup besar dan menyalakan api di lingkaran bintang itu, kemudian pergi ke tengah-tengah, memotong kuku dan rambutnya, lalu berbaring di tengah-tengah bintang yang dikelilingi api menyala itu.
Ketika penonton menyadari pakaiannnya terbakar, Marina telah kehilangan kesadaran karena kekurangan oksigen. Mereka akhirnya menariknya keluar dan pertunjukkan pun diakhiri.
“Aku membakar rambutku. Di pagi hari, nenek saya melihat saya dan menjatuhkan nampan sarapan di lantai dan mulai menjerit seperti kucing yang telah melihat setan."
Mengapa karya-karyanya begitu liar?
Dalam sebuah wawancaranya bersama Sean O'Hagan, Marina tak punya jawaban khusus untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi ia bercerita bahwa ibunya, Danica Rosi, berasal dari keluarga yang sangat kaya dan sangat religius. Sementara ayahnya, Vojin Abramovic, berasal dari keluarga petani. Keduanya lahir di Montenegro dan berjuang untuk komunis selama Perang Dunia Kedua.
Keberanian itu membuat mereka menjadi pahlawan nasional dan mendapatkan posisi penting di pemerintahan Yugoslavia pasca-perang di era Presiden Tito. Di saat yang sama, dinamika keluarganya menjadi kurang baik. Orangtuanya terus bertengkar dan Marina Abramovic sering dipukul oleh ibunya. Selama enam tahun dia tinggal dengan neneknya, seorang wanita yang sangat religius dan sangat membenci komunisme.
"Jangan tanya kenapa. Saya tidak tahu, saya tidak punya jawaban untuk perilaku gila ini."
Suatu kali, dia melihat 12 pesawat militer ultra-sonics membuat garis-garis indah di atas langit. Melihat hal itu, dia pergi ke sebuah pangkalan militer terdekat untuk meminta izin naik di salah satu pesawat dalam rangka "untuk melukis langit dengan asap". Petugas yang bertanggung jawab mencurigai bahwa dia sedang mengalami gangguan saraf.
Sejak hari itu, dia meninggalkan keinginannya untuk melukis. Sebaliknya, ia justru mulai memanfaatkan hal-hal di sekitarnya untuk dijadikan karya seni. Ia mulai membuat rekaman suara dari jembatan runtuh. Kemudian, rekaman itu dimasukkannya ke dalam sebuah speaker besar di blok apartemennya di Belgrade dan memainkan rekaman jembatan runtuh itu dengan sangat keras. Tiba-tiba saja, orang-orang mulai bergegas keluar ke jalan-jalan, panik dan berpikir bahwa sedang terjadi ledakan bom.
"Ini adalah hal yang luar biasa. Saya menyadari kekuatan seni yang tidak menggantung di dinding galeri. "
Selain itu, Marina mengaku "Untuk menjadi seorang performance art, Anda harus membenci teater," jawabnya. "Teater adalah palsu ... Pisau tidak nyata, darah tidak nyata, dan emosi yang tidak nyata. Performance art justru sebaliknya: ... Pisau adalah nyata, darah adalah nyata, dan emosi yang nyata".
Dengan segala sepak terjang dan totalitasnya di bidang seni, maka tak heran jika Lady Gaga begitu kagum kepadanya sehingga mengatakan “Aku ingin kau mengajariku. Aku ingin menjadi murid Anda. " kata Lady Gaga dikutip dari MTV.com.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti