tirto.id - Peristiwa berdarah kembali mengguncang Pakistan. Sebuah aksi bom bunuh diri terjadi di pelataran parkir taman Gulshan-e-Iqbal, kota Lahore pada Minggu (27/3/2016). Tercatat 72 orang tewas dan 340 luka-luka. Mayoritas korban adalah wanita dan anak-anak yang memanfaatkan momentum libur paskah.
Dua hari sebelumnya, aksi serangan bom bunuh diri terjadi di dua lokasi. Kejadian pertama terjadi pada sebuah turnamen sepakbola di Iskandariyah, distrik kecil di Baghdad bagian selatan. Sesaat piala hendak diberikan pada pemenang, terjadi sebuah ledakan di tengah kerumunan massa. Sebanyak 32 orang tewas dan 65 lainnya luka-luka. Kelompok ISIS mengklaim sebagai pelaku.
Pada jam yang berbeda, di tempat berbeda, seorang simpatisan ISIS lain mengendalikan truk bermuatan ratusan kilogram bom di jalanan kota Aden. Dengan nekat dia menerobos pos militer yang berbaur dengan bangunan sipil lainnya. Bom meledak, 26 tewas, termasuk warga tak berdosa.
Tiga hari sebelum insiden Iskandariyah dan Aden, penduduk Eropa dibuat geger akibat ulah simpatisan ISIS yang melakukan aksi bom bunuh diri di dua lokasi berbeda di Brussels, Belgia. Total 35 orang tewas dan 340 luka-luka.
Beberapa hari sebelumnya, Kota Istanbul, Turki lebih dulu berduka. Dengan berani si pelaku meledakan diri di İstiklal Avenue yang dekat dengan gedung pemerintahan. Lima orang tewas, 35 luka-luka akibat serangan tersebut.
Nun jauh disana, jauh dari hiruk pikuk konflik Timur Tengah, aksi bom bunuh diri meledak di Maiduguri, Nigeria (16/3/2016). Dua gadis belia meledakan diri di dalam masjid, menyebabkan 22 tewas dan melukai 18 jamaah lainnya.
Kisah-kisah naas di atas terjadi dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Jika kita merunut waktu yang lebih panjang, niscaya angka-angka korban kematian akan semakin bertambah. Dua minggu terakhir adalah masa-masa yang kelam. Dalam waktu 2 minggu saja, jumlah korban tewas mencapai 157 orang, atau 15,2 persen dari total kematian akibat aksi bom bunuh diri selama 2016 yang mencapai 1.028 orang.
Salah satu rujukan tentang data bom bunuh diri antara lain The Chicago Project on Security and Terrorism (CPOST). Data CPOST memaparkan tren aksi bom bunuh diri melonjak tinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Intensitas serangan yang bertambah berdampak pada jumlah korban.
Data CPOST mencatat 2015 sebagai tahun terburuk dengan jumlah korban akibat bom bunuh diri mencapai 5.322 orang. Tahun 2014, korban tewas akibat bom bunuh diri mencapai 4.760. Namun, dari sisi jumlah aksi pada 2015 lebih sedikit dari 2014. Perbandingannya 551 dibanding 520.
Efektivitas serangan pada 2015 jelas lebih unggul dari 2014. Ini disebabkan karena para teroris lebih mengarah target berdasarkan keramaian, tak peduli apa itu taman bermain, sekolah, atau turnamen sepakbola sekalipun.
Dibandingkan tahun sebelumnya, tren menyerang fasilitas publik milik sipil melonjak hingga 30 persen pada 2015. Tercatat 121 serangan aksi bom bunuh diri memang menyasar orang-orang sipil. Angka-angka ini merupakan peringatan bagi pemerintah di manapun agar tak lengah.
Jika merujuk rentan waktu 10 tahun terakhir, periode 2005-2010 sama ganasnya dengan periode sekarang. Angka kematian akibat bom bunuh diri selalu lebih dari dua ribu orang per tahunnya. Pada 2007, angka korban tewas memecahkan rekor hingga 6.105 orang.
Tetapi pada periode 2005-2010, hampir 80 persen aksi bom bunuh diri ini hanya terjadi di tiga negara: Irak, Afghanisan dan Pakistan. Jumlah korban tewas akibat bom bunuh diri di tiga negara tersebut mencapai 91 persen dari total korban jiwa pada periode ini.
Terpusatnya aksi bom bunuh diri pada dekade 2000-an tak lepas dari aksi Amerika Serikat menginvansi Irak dan Afghanistan dengan dalih memerangi terorisme. Pada periode ini target suicide bomber yang disasar jelas: selalu berkaitan dengan militer dan aset koalisi barat di Timur Tengah. Sekitar 70 persen aksi bom bunuh diri selalu menyasar target tersebut. Metode yang banyak digunakan adalah dengan memakai bom mobil. Data iCasualtis.org menunjukkan, 20 persen tentara Amerika meregang nyawa di Irak akibat aksi bom bunuh diri.
Di masa Perang Dunia II, perang Vietnam dan perang Korea, aksi bom bunuh diri sebenarnya bukan suatu hal yang langka. Namun, saat perang hibrida sudah tak terjadi, aksi bom bunuh diri pun meredup dan lebih identik sebagai aksi perlawanan untuk memberontak.
Bom bunuh diri kemudian populer lagi sebagai senjata efektif milisi Hizbullah di Lebanon pada dekade 1980-an. Dalam kurun waktu sewindu, tepatnya periode 1982-1990, Hizbullah melancarkan 43 serangan ke lokasi yang berkepentingan dengan Israel, Perancis, dan Amerika Serikat di Lebanon.
Pada dekade itu, Lebanon memang sedang dilanda perang sipil. Intervensi Israel dan negara-negara barat membuat konflik makin runyam. Aksi terbesar yang pernah mereka lakukan adalah melakukan aksi bom bunuh diri pada hari yang sama di dua lokasi berbeda yakni barak militer tentara koalisi dan kedutaan besar AS di Beirut pada 1983. Total 370 orang meregang nyawa pada hari naas itu.
Aksi bom bunuh diri Hizbullah mulai ditiru oleh Gerilyawan Macan Tamil (LTTE) di Sri Lanka. Pada 5 Juli 1987, simpatisan LTTE melakukan aksi bom bunuh diri ibukota Colombo. Sebanyak 55 orang tewas seketika. Sampai akhir dekade 1990-an, LTTE menjadikan bom bunuh diri sebagai bagian dari serangan yang efektif untuk menekan pemerintah Sri Lanka.
Serangan bom bunuh diri semakin populer saat intifada jilid satu meletus tahun 1987 di Palestina. Aksi serupa berulang saat intifada jilid dua pada 2000.
Sampai dekade 2000-an, aksi bom bunuh diri tidak sepopuler sekarang. Jumlahnya pun tak pernah lebih dari 30 serangan per tahun. Angka korban jiwa juga tak pernah lebih dari 500 orang. Bandingkan dengan pada periode saat ini bisa sampai lebih dari 5.000 orang.
Dalam hal keterlibatan, tidak selamanya aksi bom bunuh diri ini dikaitkan dengan gerakan-gerakan perlawanan yang berideologi Islam. Pada periode itu, meskipun Hamas dan Hizbullah jadi perintis, tetapi banyak juga kelompok-kelompok berideologi lain yang melakukan aksi bom bunuh diri.
Dari kelompok sekuler ada nama Organisasi Pembebesan Palestina - PLO (Palestina), Gerilyawan Macan Tamil (Sri Langka) dan Babbar Khalsa (India). Di kelompok kiri ada nama Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) dan Partai Pekerja Kurdistan –PKK (Turki).
Sejak intervensi Amerika di Irak, aksi-aksi bom bunuh diri selalu dilekatkan dengan gerakan-gerakan ekstremis Islam. Sebuah catatan menarik, pasca AS menarik pasukan dari Irak, konflik di Timur Tengah semakin runyam. Apalagi setelah perang saudara Suriah meletus dan menghasilkan organisasi sempalan Al-Qaeda yang tak terkontrol bernama ISIS.
Jika pada periode 2005-2010, bom bunuh diri terpusat di Pakistan, Afghanistan dan Irak, kini aksi mematikan ini menyebar ke banyak negara. Munculnya daerah-daerah konflik baru membuat aksi bom bunuh diri mulai menyalak. ISIS dianggap sebagai pihak yang menyebarkan aksi bom bunuh diri ini.
Menarik dicermati aksi bom bunuh diri yang terjadi di benua Afrika. Pada periode 2005-2010, aksi bom bunuh diri hanya sedikit terjadi disana. Angkanya naik tajam pada periode berikutnya. Negara-negara seperti Nigeria, Chad, Mali Somalia, dan Kamerun kini sering dilanda aksi bom bunuh diri.
Mayoritas serangan dilakukan oleh kelompok Al-Shaabab, Boko Haram dan Ansar Dine. Pada mulanya, ketiga kelompok ini memiliki induk yang sama yakni Al Qaeda. Namun, setelah ISIS muncul pada 2013, baiat dialihkan pada ISIS.
Ekstensi kelompok ini melawan pemerintah sudah dilakukan sejak tahun 2000-an. Namun, aksi bom bunuh diri baru dilakukan pada periode 2010-2015. Upaya ini tak lepas dari instruksi untuk meniru kesuksesan apa yang dilakukan saudara tua mereka di Irak, Pakistan, dan Afghanistan. Selain di Afrika, tren peningkatan aksi bom bunuh diri juga terjadi di Turki, Rusia, Cina, Libya, Mesir, dan Arab Saudi. Lagi-lagi kelompok yang mengklaim aksi-aksi ini berafiliasi dekat dengan ISIS.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti