Menuju konten utama
Mesin Waktu

Diplomasi Budaya di Film, Menyejahterakan dan Memantik Kesadaran

Melalui JAFF 2024 dengan tema "Metanoia", para sineas lokal berupaya menyuguhkan karya seni yang berkelanjutan dalam tekad memperluas diplomasi budaya.

Diplomasi Budaya di Film, Menyejahterakan dan Memantik Kesadaran
Pembukaan JAFF ke-19 yang mengusung tema Metanoia pada Sabtu (30/11/2024). Foto/JAFF

tirto.id - Seni dapat menjadi media dalam diplomasi budaya. Muatan lokalitas yang diusung dalam karya secara halus justru lebih membenam dalam ingatan.

Film tentu dapat mengambil peran dalam langkah kebudayaan semacam ini. Film yang mengangkat lokalitas mampu memberi dampak luas bagi objek yang digarapnya.

Upaya diplomasi budaya melalui film, salah satunya dilakukan oleh Paniradya Kaistimewan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lembaga ini bertugas membantu Gubernur DIY melaksanakan penyusunan kebijakan dan fungsi penunjang perencanaan urusan keistimewaan.

Wita Ratri Dewi, Kepala Subbidang Hubungan Antarlembaga dan Penyebarluasan Informasi Paniradya Kaistimewan, menyatakan bahwa lembaganya berusaha menyajikan informasi terkait keistimewaan di DIY. Salah satu jalan yang ditempuh adalah memberikan pendanaan terhadap sineas lokal untuk produksi film bermuatan budaya.

“Film kami digunakan untuk memperkenalkan budaya. Ternyata sambutan masyarakat luas terhadap film [yang diproduksi Paniradya Kaistimewan] sangat antusias,” ujar Wita ketika diwawancarai di Jogja Expo Center (JEC), Rabu (4/12/2024), dalam gelaran JAFF Market.

Melalui pendanaan film, diharapkan kesejahteraan sineas lokal terungkit. Upaya tersebut juga dapat menyadarkan bahwa warga DIY memiliki alternatif lain, di samping memburu lowongan pekerjaan, yang kian lama makin berkurang. Mereka dapat membuka lapangan pekerjaan melalui industri kreatif.

Movie maker dan pemeran dari DIY juga keren, sudah go international. Harapannya, dengan Danais [Dana Keistimewaan] bisa jadi stimulus untuk membangkitkan generasi muda lebih open mind, [bahwa] tidak perlu mencari kerja, tapi membuka lapangan kerja,” ucapnya.

Proses produksi juga diharapkan turut berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat DIY. Terlebih, upaya pelestarian budaya sejalan dengan kebutuhan industri film. “InsyaAllah, sesuai dengan tujuan utama hadirnya keistimewaan, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.

JAFF ke-19

Wita Ratri Dewi, Kepala Subbidang Hubungan Antarlembaga dan Penyebarluasan Informasi Paniradya Kaistimewan diwawancarai di JAFF Market, Rabu (3/12/2024). tirto.id/Siti Fatimah

Mitigasi Bencana melalui Budaya

Film kerap kali mengantarkan penontonnya pada penyadaran. Bertolak dari film SMONG Aceh, penonton dipantik untuk kembali menilik budaya bertutur tradisional. Film dokumenter berdurasi 31 menit itu memaparkan upaya pemulihan masyarakat Aceh pascatsunami 2004, dari sudut pandang peneliti, pengamat, dan kesaksian para pemuka masyarakat.

Aktris senior sekaligus produser SMONG Aceh, Christine Hakim, mengungkap bahwa nenek moyangnya di Aceh menggunakan istilah smong untuk menyebut bencana atau peristiwa semacam tsunami. Terminologi itu ditemukan dalam tradisi lisan di Aceh yang disebut nandong.

“Nandong adalah rekaman pengalaman masa lalu yang terpahat dalam ingatan,” terang Christine Hakim, di JAFF Festival yang berlangsung di Empire XXI Yogyakarta, Kamis (5/12) malam.

Terpinggirkannya tradisi lisan dari topik kajian ilmiah justru membuat dunia terhenyak. Selama ini, penelitian tsunami berfokus pada Samudra Pasifik. Akan tetapi, ternyata, tsunami hebat juga terjadi di selatan Aceh yang terletak di Samudra Hindia. Itu pun bukan yang pertama.

“Saya berharap film ini akan memantik diskusi,” sebut Christine Hakim.

Dia juga melontarkan gagasan akan pentingnya pengajaran mitigasi bencana berbasis lingkungan alam sekitar. Berkaca dari peristiwa tsunami Aceh 2004, justru rumah tradisional lebih mampu bertahan dari gempuran ombak. Ini kontras dengan bangunan berarsitektur modern yang gampang lebur.

Usung Transformasi Keberlanjutan

JAFF tahun ini mengusung tema “Metanoia”, yang menggambarkan transformasi berkelanjutan sinema Asia dalam mencapai keunggulan, di tengah berbagai tantangan global. Sejalan dengan tema tersebut, Garin Nugroho selaku Founder JAFF menyatakan bahwa perhelatan yang diinisiasi olehnya mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat DIY.

Kehadiran para sineas dari segala penjuru dunia dalam "lebaran" ini turut berkontribusi pada perekonomian di DIY.

“Malam ini adalah malam yang istimewa, bukan hanya bagi kami, JAFF, namun juga bagi seluruh masyarakat Yogyakarta,” tuturnya saat menyampaikan sambutan dalam pembukaan JAFF ke-19, Sabtu (30/11).

Garin pun mengungkapkan, perhelatan JAFF sangat berperan krusial untuk membangun ruang kolaborasi bersama antarsineas. Bukan hanya bagi seniman film lokal, tetapi juga Asia, bahkan dunia.

“Kehadiran dan kebersamaan Anda semua adalah bentuk dukungan terbesar bagi ajang festival seperti JAFF. Kepercayaan, kolaborasi, dan kebersamaan adalah kunci untuk membangun ekosistem film, baik di Indonesia, Asia, bahkan di dunia,” imbuhnya.

tradisi tutur Nandong

Kelompok seni pelestari tradisi tutur Nandong di Aceh yang ditampilkan dalam film SMONG Aceh. Foto/SMONG Aceh

Konstitusi Mendukung Pelestarian Budaya

Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, mengatakan bahwa pelestarian budaya didukung oleh Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Secara tegas dinyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah perbedaan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya,” ujarnya dalam sambutan pembukaan JAFF Market di JEC, Selasa (3/12).

Fadli mengapresiasi sineas Indonesia yang mampu membangun jejaring demi menyebarluaskan budaya ke kancah dunia. Salah satunya tecermin lewat perhelatan Jogja-NETPAC Asian Film Festival atau singkat JAFF. “Jadi memang kita harus memajukan kebudayaan kita di tengah peradaban dunia, dengan kekayaan budaya kita yang sangat luar biasa."

Menurutnya, film merupakan salah satu medium yang paling mudah dicerna oleh masyarakat. Maka itu, ia berharap, dengan adanya JAFF Festival dan JAFF Market, upaya diplomasi budaya bisa diperluas lagi.

Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 tersebut juga mengatakan komitmen kementeriannya dalam menjaga serta melestarikan nilai sejarah dan warisan budaya di Indonesia. Ia yakin, pelestarian budaya mampu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat. “Memastikan warisan budaya kita tetap lestari dan terus memberi manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu pun mengakui, pencapaian insan perfilman Indonesia di kancah global merupakan bukti Indonesia sebagai salah satu pusat kreativitas yang unggul di Asia. Dia menyatakan tekadnya untuk turut mendukung pertumbuhan industri film dalam perannya sebagai Menteri Kebudayaan.

“Kami juga akan berupaya mendukung distribusi karya-karya ini ke pasar global,” klaimnya.

Fadli Zon mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama memperkuat ekosistem perfilman sebagai medium untuk menyuarakan pesan-pesan universal, memperkenalkan budaya Indonesia, serta menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang dan penggerak perubahan.

“Seperti karya-karya yang diputar di JAFF, saya harap dapat merayakan bagaimana film mampu menjadi cerminan budaya dan jati diri bangsa,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait JAFF atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah

tirto.id - Film
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Fadli Nasrudin