tirto.id -
Sebab, kebijakan restriktif terhadap sawit itu bakal berdampak langsung pada jutaan petani yang bergantung dari kelapa sawit.
Ia bahkan menyebut bahwa LSM maupun non-goverment organization tersebut perlu diaudit.
"Itu LSM-LSM kita mbok nasionalismenya dibangkitkan, 20 juta loh masyarakat Indonesia yang langsung enggak langsung terlibat. Mungkin lama-lama kita audit juga mereka," ujar Luhut dalam acara coffe morning di kantornya, Senin (8/4/2019).
Sebagai negara penghasil Crude Palm Oil (CPO), Indonesia memang merasa keberatan atas kebijakan REDII yang menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman beresiko tinggi (high risk) terhadap deforestasi.
Apalagi, ketika Uni Eropa mencoba membatasi penggunaan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk biodiesel.
Karena itu lah, kata Luhut, dua negara yang tergabung dalam Council of Palm Oil Production Countries (CPOPC) mengambil sejumlah langkah untuk membatalkan kebijakan RED II Uni Eropa.
Di samping itu, ia juga meminta agar sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendukung langkah pemerintah untuk melawan kebijakan restriksi sawit dari Uni Eropa.
Sebab, ia mengklaim bahwa pemerintah tak pernah abai dengan masalah lingkungan.
"Saya juga berharap LSM Indonesia juga merasa terpanggil, itu 20 juta petani (bergantung di sawit). Jadi jangan mereka bicara masalah soal lingkungan. Masalah lingkungan saya udah katakan, kita tidak akan buat kebijakan yang merusak generasi kita yang akan datang mengenai lingkungan," ucapnya.
Salah satu langkah yang sudah dilakukan pemeirntah untuk melawan kebijakan tersebut, ucap Luhut, adalah mengirimkan surat keberatan terhadap REDII bersama Malaysia.
"Mereka menulis surat bersama, tanda tangan bersama, dikirim kepada uni Eropa. Keberatan terhadap apa yang dikeluarkan oleh Uni Eropa," tutur Luhut.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Nur Hidayah Perwitasari