tirto.id - Lembaran-lembaran seng setinggi 2,5 meter berbaris mengelilingi lahan kosong seluas 1.700 meter persegi di RW 02, Jalan Taufiqurrahman, Beji Timur, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Deretan seng ini berfungsi sebagai pagar pembatas antara lahan kosong dengan pemukiman penduduk.
Belakangan, lokasi lahan kosong itu menjadi polemik warga sekitar. Sebuah apartemen akan berdiri di lokasi tersebut. Pengembang PT SCC Investment Corporate akan membangun konsep apartemen-indekos (aparkost) dengan nama The Apartkost Avicenna Depok di RT05/RW02, Beji Timur, Depok.
“Seiring berjalannya waktu, yang dibangun ternyata bukan kos-kosan, tapi semacam apartemen. Kalau kost-kosan kami tidak keberatan,” kata Thabrani, warga Beji kepada Tirto, Kamis (15/3/2018).
Sikap warga yang menolak pembangunan apartemen itu sudah terjadi sejak 9 Mei 2017. Kala itu warga mengirim surat keberatan ke Wali Kota Depok Muhammad Idris. Warga merasa pembangunan apartemen akan membikin lingkungan sosial penduduk ruwet. Misalnya soal kekhawatiran munculnya kemacetan lalu lintas menuju dan keluar pemukiman, bisingnya suara alat berat, dan pasokan air tanah warga yang mengeruh.
Menurut Thabrani keluhan warga tidak direspons pihak wali kota Depok. Pada 23 Mei 2017, delapan warga, termasuk ketua RT 05 RW 02, menandatangani kertas bermaterai yang berisi pencabutan rekomendasi izin pembangunan bangunan oleh warga yang sebelumnya mereka berikan. Selain mereka ada juga 18 daftar nama warga dari RW 02 dan RW 04 yang menolak pembangunan apartemen.
Beda dengan Rencana Awal
Tirto mendatangi kediaman Ahmad Daujat, Ketua RT 05/RW 02 tempat aparkost dibangun, tapi hanya berhasil menemui Neneng Fatimah,istri dari Ahmad Daujat. Namun, dari penjelasan Neneng, kami mendapat penjelasan bahwa sejak awal pihak pengembang sama sekali tidak melibatkan RT dalam sosialisasi persiapan pembangunan. Pengembang lebih dulu melibatkan pihak kelurahan, RW, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).
Setelah pengembang beberapa kali mengadakan pertemuan dengan kelurahan, RW, dan LPM, setelah itu pihak RT mendapat pemberitahuan soal rencana pembangunan indekos. Persoalan ini menjadi perhatian, karena warga RT 05 RW 02 semestinya lebih dulu dilibatkan karena lokasinya menjadi tempat proyek aparkost.
"Enggak nyebut aparkost, hanya kost-kosan," kata Neneng.
Setelah mendapat pemberitahuan itu, suaminya bersama ketua RW mendatangi rumah-rumah warga di sekitar lokasi proyek untuk meminta persetujuan. Salah satunya Abdul Azis (48) yang rumahnya berlokasi persis di depan lokasi proyek. Aziz mengaku menandatangani surat persetujuan pembangunan proyek tersebut karena ketua RT Ahmad Daujat mengatakan yang dibangun adalah indekos.
“Image saya kan di sini kost-kostan banyak tuh, jadi saya enggak masalah karena kost-kostan itu kan di benak saya itu milik si A terus disewa nanti penanggungjawabnya siapa di situ. Nah, silakan saja kalau mau bikin kost-kostan di situ malah kita seneng jadi rame,” kata Azis.
Azis mengaku setelah menandatangani surat pernyataan dukungan, ia mendapat amplop berisi uang sebesar Rp200 ribu. Aziz tak merinci siapa pemberi amplop itu. “Saya tanya ke Pak RT, siapa aja yang dapat amplop? Semua dapat katanya,” tutur Azis.
Neneng membenarkan masing-masing warga mendapat amplop berisi uang Rp200 ribu. Menurutnya pemberian uang ini bukan sesuatu yang luar biasa, lantaran sudah menjadi kebiasaan warga sekitar untuk memberikan amplop ketika ada orang yang hendak membangun rumah di wilayahnya.
"Sebagai bentuk kulo nuwun saja," kata Neneng.
Beberapa hari kemudian, di depan lokasi proyek berkibar umbul-umbul dengan tulisan "Aparkost" dan ada alamat website yang juga tertera. Azis tidak dapat menyebut alamat website yang dimaksud.
Azis dan sejumlah warga pun lantas mengecek website tersebut untuk mencari kejelasan mengenai proyek di sekitar rumah mereka. Di sana mereka pun menemukan gambar rencana aparkost avisena, fasilitas, dan harga dari masing-masing unit.
“Kami buka lah itu laptop ... Lah! Ini bukan kost-kostan! Ini apartemen karena diperjualbelikan. Jadi beda persepsi masyarakat sini,” kata Azis.
Neneng juga mengatakan, beberapa waktu setelah umbul-umbul itu berkibar, ia langsung mendapat sejumlah pertanyaan dari warganya. “Ngadu mereka, 'Bu ini mau bikin apartemen ya?" kata Neneng menirukan pertanyaan seorang warga.
Menurut Neneng dan Azis, indekos bukan properti untuk diperjualbelikan, melainkan untuk disewakan sementara. Selain itu, penanggungjawabnya pun jelas sehingga warga masih bisa memantau tindak tanduk penghuni indekos.
“Kalau apartemen kan bebas diisi siapa, berapa pun,” kata Neneng.
Warga pun mengkhawatirkan tentang peredaran narkoba, prostitusi, dan tindak kriminal lainnya bila proyek aparkost benar-benar berdiri .
Setelah kejadian itu, warga lantas membuat surat pernyataan pencabutan tanda tangan atas surat dukungan terhadap aparkost Avisena, dan mengembalikan uang Rp 200 ribu kepada ketua RT. Respons ini sebagai sikap dari warga karena merasa telah dibohongi.
Gelombang penolakan warga terus bergulung. Pada 15 November 2017 sejumlah warga dari RT 05/RW 02, RT 03/RW 02, RT 02/RW 04, dan RT 03/RW 04 mengirimkan somasi kepada Pemerintah Kota Depok untuk menghentikan proyek pembangunan apartemen di lingkungan mereka. Somasi itu tidak diindahkan pemerintah kota.
Pengembang Sudah Kantongi IPR
Pada 14 Februari 2018 warga menerima surat dari pihak pengembang yakni PT SCC. Isi surat itu di antaranya adalah pihak pengembang sudah mendapat izin pemanfaatan ruang (IPR) dari Pemerintah Kota Depok untuk membangun apartemen berkonsep kos-kosan. Surat izin itu bernomor 5932/2545/IPR/2017.
Sejarawan JJ Rizal yang juga warga sekitar proyek aparkost menilai IPR tidak sama dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Mereka menganggap IPR itu sama seperti IMB, dengan IPR mereka boleh membangun,” kata Rizal.
IPR yang dikeluarkan Pemerintah Kota Depok patut dipertanyakan. Menurut Rizal, IPR mestinya keluar apabila ada surat dukungan dari warga. Ia mengatakan jika pembangunan proyek apartemen ini diteruskan maka kehidupan warga akan terganggu.
“Mereka menyerang ruang yang paling intim, perkampungan, permukiman, bukannya area bisnis. Walaupun itu masalah, tapi ini juga masalah karena lingkungan warga itu pun ingin dirusak,” kata Rizal.
Apartemen berkonsep rumah indekos ini rencananya terdiri dari empat lantai dengan jumlah kamar sebanyak 400. Apartemen ini juga rencananya dilengkapi fasilitas minimarket, binatu, dan restoran.
Klarifikasi Pengembang
Kekhawatiran warga tentang pembangunan apartemen dibantah Manager Legal PT SCC Investment Corporation M. Badru Tamam. Tamam menjelaskan proyek yang saat ini sedang dibangun adalah indekos. Sementara Aparkost adalah nama yang digunakan sebagai merek saja.
"Jadi kalau anak mahasiswa ngekost di tempat saya 'Kamu ngekost di mana?' dia bakal bilang 'Oh saya ngekost di Aparkost.' jadi bukan berarti apartemen," kata Tamam, Sabtu (17/03/2018).
Menurut Tamam, untuk membangun apartemen diperlukan luas tanah sebesar 4.000 meter persegi dengan jalan selebar 4 meter. Sementara aparkost Avisena hanya memiliki tanah seluas 1.760 meter persegi.
Mengenai perizinan, Tamam mengungkapkan saat ini pihaknya masih mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tamam pun mengatakan pihak Pemkot Depok juga telah mengeluarkan Izin Pemanfaatan Ruang (IPR).
“IMB itu kan dalam proses, semua itu kan perizinan itu tidak serta merta langsung turun,” kata Tamam.
Mengenai izin warga, Tamam mengatakan pihaknya sudah tiga kali mengadakan sosialisasi yang melibatkan RT dan RW setempat sejak 2017. Proyek aparkost sedang dihentikan sementara sejak Minggu (11/03/2017).
Pembangunan akan dilanjutkan lagi setelah mendapat persetujuan langsung dari 6 warga terdampak langsung. Persetujuan itu ditandai dengan surat pernyataan yang ditandatangani langsung keenam warga tersebut.
"Kami istilahnya menghargai itu, dan kami juga mengikuti aturan dari Pemda," kata Tamam.
Sementara itu, Kristiyanto, Manager Marketing SCC Investment Corporation, juga membantah bahwa aparkost Avicenna akan dibangun 400 kamar.
"Itu miskomunikasi, jadi kalau 400 kamar lebih itu mungkin mereka menyamakan aparkost itu dengan apartemen 10 lantai lebih, kalau kami kan tidak seperti itu. Bisa dilihat di website, hanya bangun 4 lantai, satu gedung itu paling hanya 200 kamar," kata Kristiyanto
Mengenai IPR yang tetap keluar meski warga mencabut dukungan terhadap Aparkost, Kristyanto mengatakan seharusnya warga tahu konsekuensinya ketika warga menandatangani surat. “Berarti proses sudah berlanjut,” kata Kristiyanto.
Kristiyanto berjanji nantinya pihak pengelola mengimbau investor atau pemilik unit aparkost tak membawa kendaraan pribadi dan akan menyediakan sepeda untuk menuju ke kampus. Ini sebagai respons adanya kekhawatiran soal kemacetan di lokasi aparkost yang menjadi keresahan warga.
Ihwal kebutuhan air di lokasi avarkost, Kristiyanto mengatakan pihaknya akan mengikuti peraturan dari pemerintah. "Kalau di sana tidak ada air PAM berarti kan pilihannya pakai air tanah,” kata Kristiyanto.
Persoalan air tanah ini pula yang menjadi konsen warga terhadap kehadiran aparkost. Kasus aparkost jadi contoh bagaimana pembangunan terkait bisnis tak boleh mengabaikan hak-hak mendasar warga sekitar.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Jay Akbar