tirto.id - Bagi umat Kristen, Palestina merupakan awal kisah Yesus Kristus. Di Bethlehem, Yesus lahir. Yesus kemudian meninggal dan disalibkan di Bukit Golgota, Yerusalem. Tempat kelahiran dan kematian Yesus itu, sekarang, dipisahkan oleh tembok pembatas antara Israel dan Palestina. Tanah Suci itu kini dipenuhi umat Muslim dan umat Kristen yang hidup sebagai minoritas.
"Dia (Yesus) menghabiskan seluruh hidup-Nya di Palestina. Dia mati dalam status tahanan di Yerusalem. ... Jadi, kami tidak mengimpor umat Kristen ke Palestina, kami justru mengekspor mereka keluar dari Palestina," kata Pastor Mitri Raheb dari Gereja Evangelical Lutheran.
Di tengah kesulitan ekonomi dan politik yang terjadi di Palestina, Pastor Raheb berusaha membangun pondasi bagi masa depan Palestina dengan ikut membangun institusi pendidikan bagi generasi muda di sana tanpa memandang perbedaan kepercayaan. Pastor yang menyelesaikan pendidikannya di Hermannsburg Mission Seminary (1980-1984) dan Universitas Philipps di Marburg ini mulai mendirikan Authentic Tourist Program yang fokus pada bidang pariwisata di Bethlehem.
Seiring waktu berlalu, usaha tersebut dikembangkan untuk mendidik dalam bidang kesenian (The al-Kahf Gallery and Art and Crafts Center), model (The Dar al-Kalima Model School), sosial dan budaya (The ad-Dar Cultural & Conference Center), dan pemberitaan (The Bethlehem Media Center. Keseluruhannya tergabung dalam Interational Center of Bethlehem atau ICB. Pada 2006, Pastor Mitri Raheb juga mendirikan sekaligus menjadi presiden universitas bagi anak-anak di Bethlehem.
Pastor Mitri Raheb juga terkenal di dunia setelah menuliskan 16 buku, di antaranya I Am a Palestinian Christian (1995), Bethlehem Besieged: Stories of Hope in Times of Trouble (2004), Faith in the Face of Empire: The Bible through Palestinian Eyes (2014).
Atas karya-karyanya di bidang pengabidan kepada gereja dan masyarakat, ia mendapatkan beberapa penghargaan. Pada 2003, ia mendapat Wittenberg Award dari Luther Center di Washington, DC, menerima Nafi Tscheleby Peace Award dari National Islam Archive dan German Peace Award of Aachen. Pada 2012, Pastor Raheb juga mendapat German Media Prize karena kemampuannya menumbuhkan harapan di tengah-tengah pendudukan Israel lewat institusi pendidikan, budaya, dan kesehatan.
Sekarang Pastor Mitri Raheb menjabat sebagai President of Dar al-Kalima University College di Bethlehem sejak 1995 dan President Synod of the Evangelical Lutheran Church in Jordan and the Holy Land sejak 2011.
Tirto berkesempatan untuk mewawancarai Pastor Mitri Raheb terkait kiprahnya di Palestina dan hubungannya dengan umat Muslim di Bethlehem pada 24 Desember 2016, atau sehari sebelum perayaan Natal.
Berapa lama Anda tinggal di Palestina?
Saya lahir di Bethlehem dan menghabiskan seluruh hidup saya di sini, terutama di Bethlehem. Kecuali saat saya belajar di Jerman selama 8 tahun.
Berapa lama Anda menjadi seorang Pastor?
Di Bethlehem? Selama 30 tahun terakhir.
Selama itu juga Anda tergabung di Gereja Evangelical Lutheran?
30 tahun (juga), sepanjang pegabdian saya selalu di sini. Pada 1995, saya mendirikan Diyar Consortium.
Di media, umat Muslim di Palestina selalu dalam posisi sulit, bagaimana dengan umat Kristen di Palestina?
Pastinya umat Kristen juga merasakan hal yang sama. Kami sama-sama terpengaruh oleh usaha pendudukan Israel. Banyak umat Kristen yang ditahan di penjara-penjara Israel. Banyak umat Kristen Palestina yang menderita dan terbunuh karena konflik berkepanjangan ini. Kami selalu melihat bahwa ini bukanlah konflik berlatar belakang agama, tetapi ini adalah konflik politik.
Bagaimana hubungan Kristen dan Muslim di Palestina?
Kami baik-baik saja.
Sikap umat Muslim di Palestina terkait dengan perayaan Natal?
Jika Anda datang ke sini, Anda akan melihat banyak umat Muslim. Mereka datang dan merayakan Natal bersama umat Kristen. Anda akan melihat banyak pelajar kami yang menganut agama Muslim. Bahkan yang perempuan mereka sangat menyenangi kisah Christmas Carol.
Dan pemerintah di Palestina telah mendeklarasikan bahwa hari Natal adalah hari libur nasional. Jadi, hari natal adalah hari libur, bukan hanya untuk umat Kristen, tetapi seluruh warga negara Palestina mempunyai hari libur di tanggal 25 Desember setiap tahunnya.
Apa yang umat Kristen pikirkan ketika seorang Muslim menikahi umat Kristen? Contohnya pada kasus Arafat-Suha.
Ya, Suha adalah wanita Kristen. Tidak ada konflik yang terjadi kala itu. Masalahnya bukan di konflik, tetapi di Palestina tidak ada pernikahan sipil. Itu menjadi masalah karena ketika dua orang yang berbeda agama hendak menikah, mereka harus pergi kepada syekh atau ke gereja. Tidak adanya pernikahan sipil menimbulkan kesulitan tersendiri untuk pernikahan beda agama. Terutama bagi wanita Kristen yang tentunya tidak akan mendapat banyak pilihan, jika dia menikah dengan seorang Muslim menurut hukum Islam syariah.
Bagaimana dengan pandangan sebagian ulama yang mengharamkan muslim ikut perayaan agama lain, apa mempengaruhi situasi perayaan Natal di Palestina?
Tidak, tidak! Muslim di Palestina sangat toleran jika dibandingan dengan yang lainnya. Contohnya (di tempat lain), umat Kristen tidak diperbolehkan untuk menggunakan kata "Allah" di manapun mereka berada. Di Palestina, umat Kristen melafalkan "Allah" di mana-mana. Karena pada dasarnya itu juga kata utama umat Kristen untuk "Tuhan". Dan seperti yang saya bilang, di Palestina umat Kristen dan Muslim hidup bersama dengan situasi yang sangat toleran. Dan mungkin itu yang berbeda dengan negara-negara lainnya.
Penduduk mayoritas di Tanah Suci adalah umat Muslim, bagaimana pendapat Anda?
Adanya mayoritas umat Muslim di Palestina sudah ada beberapa abad sejak terakhir Kristus disalibkan secara gagah di sana. Jadi, bagi kami ini situasi yang sama dengan 1000 tahun yang lalu. Kami umat Kristen tidak melihat diri kami sebagai minoritas. kami adalah bagian yang sama dari rakyat Palestina. Kami Arab, kami orang Palestina, dan kami Kristen, dan tidak ada kontradiksi tentang hal tersebut.
Apakah sulit merayakan Natal di Palestina dengan adanya serbuan Israel?
Tentu. Ya, memang sulit mengadakan perayaan Natal di Palestina. Kami berada di tengah-tengah dua negeri yang berseteru. Kami dikepung dari segala sisi oleh 22 pemukiman orang Israel. Kami dikepung oleh orang-orang Israel yang ingin mengambil tanah kami (orang Palestina) dan masa depan kami untuk perluasan Bethlehem. Tidak pernah imbang.
Kami merayakan Natal, kami bersuka cita dan kami sungguh-sungguh penuh kegembiraan untuk menciptakan penolakan terhadap Israel. Kami tidak mau usaha pendudukan Israel meluluhkan semangat. Tapi justru karena semangat kami, kekuatan kami, dan tenaga kami. Kami percaya semua itu dari Tuhan dan dari keadilan Palestina.
Secara spesifik, berapa jumlah umat Kristen di Palestina?
Di Palestina, kami punya sekitar 60.000 umat Kristen yang tersebar sampai Gaza dan sekamir 120.000 umat Kristen Palestina yang tinggal di dalam daerah Palestina. Jadi sampai sekarang, semuanya berjumlah 180.000 umat Kristen Palestina.
Anda bilang saat melakukan penyembahan pada Tuhan di kala perang, Anda sempat mengalami masa sulit ?
Selama hidup saya selama 55 tahun ini, saya telah melalui 10 kali situasi perang. Perang sangat berat buat saya ketika yang pertama dan kedua. Tank Israel datang dan tentara berjaga-jaga di luar gereja sementara saya harus menenangkan situasi di dalam. Kadang sangat sulit untuk meneruskan khotbah. Bayangkan di luar sana ada tank yang mengepung. Ada kendaraan tempur dan baku tembak di luar, sementara saya di dalam mengadakan sharing. Saya pernah menuliskannya dalam buku referensi saya, terutama kejadiaan saat 2002.
Apa pengalaman paling mengerikan saat Anda melakukan pemujaan di Gereja?
Saat tahun 2002 ketika tank Israel menyerang Bethlehem dan pasukan mereka berada di luar gereja kami. Mereka mengurung kami selama 11 jam. Mereka menghancurkan beberapa fasilitas kami. Dan saya rasa, bagi kami itu adalah saat yang paling mengerikan. Tank Israel tahun 2002.
Apa Anda pernah berpikir untuk pindah ke tempat lain yang lebih damai?
Tidak. Saya berkomitmen untuk tinggal di Palestina. Karena saya pikir sebagai seorang umat Kristen, kami butuh berpartisipasi untuk menghentikan perang ini. kami punya tugas penting untuk dilakukan.
Inilah sebabnya kenapa saya mendirikan universitas pertama di sini 21 tahun lalu. kami mengajarkan segala sesuatu kepada generasi masa depan penerus Palestina di bidang seni dan budaya, di bidang kesenian, di bidang musik, di bidang tarian, di bidang desain, dan pariwisata. Anak-anak muda kami, mereka berhak mendapatkan kehidupan, kehidupan yang lebih baik.
Anda adalah Protestan Lutheran, apakah hanya ada Protestan aliran Lutheran di Palestina?
Di Palestina, kami punya gereja dengan aliran yang berbeda-beda. Kami punya kaum ortodoks. Kami punya Katolik, kami punya Oriental Ortodox yang dibagi menjadi Ortodoks Koptik, Koptik Armenian, dan lain lain. Dan kami punya Protestan dan sebagian besar Lutheran. Di Indonesia juga ada beberapa gereja-gereja beraliran Lutheran.
Berapa jumlah tepatnya?
Lutheran memiliki jumlah 10% dari populasi umat Kristen di Palestina. 90% lainnya adalah Katolik Ortodoks dan agama lainnya.
Bagaimana dengan persiapan Natal?
Banyak sekali persiapan yang kami lakukan. Kami mendekorasi pohon natal. Ada banyak konser dan makan malam. Kami mengadakan persiapan malam Natal dengan beberapa bahasa. Kami akan merayakan kelahiran Yesus Kristus dan memproklamirkan pesan Kristus. Kristus datang dan kami akan berkehidupan dan kehidupan yang berlimpah. Dan kami juga akan memproklamirkan bahwa Natal adalah momen ketika Tuhan turun dalam wujud manusia. kami membuat semua manusia berke-Tuhan-an.
Maksud saya di sini adalah agama. Jika Anda melanggar hak-hak manusia, maka sebenarnya Anda menodai hak-hak yang diberikan oleh Tuhan. Saya yakin, pada Natal kali ini Tuhan akan melindungi seluruh umat manusia. Karena kami semua pantas untuk mendapatkan hidup seperti Dia yang menerima hidup dan hidup yang kekal.
Dalam wawancara pada 2012, Anda mengatakan: The only thing that Palestine able to export successfully is Christianity. Apa maksud Anda?
Betul, betul. Karena, seperti yang Anda ketahui, Yesus lahir di tempat ini, di Bethlehem. Dia menghabiskan seluruh hidup-Nya di Palestina. Dia mati dalam status tahanan di Yerusalem. Jadi saya pikir ini adalah cerita dari Palestina, dan ini adalah bagian dari sejarah Palestina. Sesungguhnya, ini adalah pesan bagi umat Kristen untuk keluar dari Palestina ke seluruh dunia.
Jadi, kami tidak mengimpor umat Kristen ke Palestina, kami justru mengekspor mereka keluar dari Palestina. Kami bahkan menyebarkan mereka ke seluruh belahan dunia. Para misionaris Kristen yang pergi keluar dari Palestina telah menjangkau India, dan bahkan Cina. Cina di abad ke-7 dan India di abad pertama. Umat Kristen juga telah melancong ke berbagai daerah Eropa, Afrika, dan berbagai bagian dunia lainnya.
Bagaimana pemerintah Israel memperlakukan Anda di Tanah Suci?
Mereka memperlakukan kami sebagai orang Palestina, bukan umat Kristen. Bukan kami sebagai orang Kristen, tetapi kami sebagai orang Palestina. Kami sebagai orang Kristen juga mendapat banyak larangan seperti orang Palestina (pada umumnya). Kami tidak bisa bergerak dengan bebas dari Bethlehem jika mau ke Yerusalem. Kami tidak bisa mengatur kota kami dengan bebas karena ini kota orang-orang Palestina. Kami tidak bisa pergi ke luar negeri dengan bebas. Kami harus melewati Yordania untuk ke luar negeri. Jadi, utamanya mereka memperlakukan kami sebagaimana mereka memperlakukan orang-orang Palestina.
Apa bagian terberat Anda sebagai Pastor melihat hal tersebut?
Saya rasa, mengetahui bahwa kota saya tidak bisa berkembang dan melihat pengangguran semakin bertambah. Dan mengetahui bahwa situasi ini akan terus berlanjut. Pengangguran akan terus meningkat, dan kesenjangan sosial berkepanjangan. Kami akan mendapat banyak tanjakan, dan bertambahnya masalah-masalah. Dan tentunya mengetahui bahwa segala kesulitan tersebut akan dibebankan kepada rakyat Palestina yang masih harus berjuang di masa depan. Saya harus bisa memberikan harapan kepada gereja dan masyarakat. Itu tidak mudah bagi saya sebagai seorang Pastor sekalipun.
Pernahkah Anda diserang saat Natal datang?
Tidak. Tidak pada saat Natal.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Zen RS