tirto.id - "Silakan dipakai untuk infrastruktur. Saya hanya memberikan contoh lho. Silakan dipakai untuk sukuk, silakan ditaruh di bank syariah."
Sepenggal ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017), menuai pro dan kontra di publik soal gagasan dana haji untuk pembiayaan infrastruktur. Ada yang mendukungnya dan sebagian lagi sebaliknya.
Persoalan dana haji memang sangat sensitif, selain menyangkut soal uang yang tak sedikit juga masalah kepentingan umat. Sebagai gambaran, jumlah jemaah haji Indonesia yang diberangkatkan pada 2015 mencapai 154.455 jemaah dan diasumsikan per orang membayar Rp20 juta, maka dana yang terkumpul dari mereka yang berangkat pada tahun itu saja sudah Rp3,09 triliun. Padahal, jumlah masyarakat yang masih menunggu untuk diberangkatkan haji lebih dari satu juta orang.
Pentingnya pengelolaan dana yang besar itu, maka lahir Undang-undang No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Berdasarkan Pasal 20, pengelolaan keuangan haji dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
BPKH memiliki tugas untuk menerima, mengembangkan, mengatur pengeluaran dan bertanggungjawab atas keuangan haji yang berhasil dihimpun. BPHK juga bertugas untuk mengurus investasi keuangan haji yang sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, aman dan bermanfaat. Badan ini pun berwenang untuk bekerjasama dengan lembaga lain dalam pengelolaan keuangan haji.
Kemana saja pengelolaan dana haji ditempatkan?
Dalam hal penempatan keuangan haji yang terhimpun, dana tersebut dapat diinvestasikan ke dalam beberapa bentuk, yaitu produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Investasi ini dapat dilakukan selama sesuai dengan prinsip syariah yang mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat dan likuiditas. Penempatan dana haji pada produk investasi surat berharga syariah atau sukuk sudah dilakukan sejak 2010.
Berdasarkan MoU 22 April 2009, antara Kementerian Keuangan dan Agama menyepakati penempatan dana haji dan dana abadi umat ke Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan cara private placement. Private placement adalah penempatan sejumlah modal dalam suatu perusahaan melalui pembelian aset yang transaksinya terjadi pada pasar negosiasi. Surat berharga syariah tersebut dikenal dengan sebutan SDHI (Sukuk Dana Haji Indonesia) hingga 12 Januari 2017, outstanding SDHI senilai Rp36,7 triliun.
Pada 2010, penempatan investasi dalam bentuk sukuk berjumlah Rp12 triliun. Pada 2013, terjadi peningkatan penempatan investasi menjadi Rp31,1 triliun. Pada 2015, penempatan investasi pada sukuk sebesar Rp35,83 triliun. Selain melalui sukuk, penempatan investasi dana haji juga dilakukan melalui deposito. Pada 2010, nilai penempatan pada deposito sebesar Rp9,85 triliun dan meningkat menjadi Rp26,2 triliun pada 2013.
Meningkatnya nilai penempatan deposito pada 2013 karena peningkatan return perbankan dan berlakunya program penjaminan LPS untuk dana jemaah. Selain itu, pada periode tersebut ada pengalihan penempatan dana haji dari kas kepada produk perbankan. Bahkan, pada 2015, nilai dana haji yang ditempatkan pada deposito mencapai Rp43 triliun.
Pada 2016, nilai dana haji, untuk setoran awal, nilai manfaat dan dana abadi umat, diperkirakan akan mencapai Rp100 triliun. Penempatannya per 31 Desember 2016 SBSN sebesar Rp35,65 triliun, deposito berjangka syariah sebesar Rp54,57 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) sebesar sebesar US$10 juta atau setara dengan Rp136 miliar. Sesuai dengan UU No.34 Tahun 2014, dana haji yang terhimpun dari masyarakat dapat ditempatkan dan diinvestasikan baik pada produk perbankan hingga surat berharga. Perlu diperhatikan, penempatan dana haji ini harus sesuai dengan hukum syariah.
Artinya, seluruh dana yang ditempatkan baik pada instrumen keuangan maupun investasi langsung harus sesuai dengan apa yang digariskan dalam Al-Quran dan Hadis. Mudahnya, tidak boleh ada unsur riba dalam produk investasinya. Seperti yang dinyatakan oleh MUI, Majelis Ulama Indonesia (MUI), ada syarat pemanfaatan dana haji, yaitu investasi dana haji harus digunakan untuk usaha yang memenuhi prinsip syariah. Selain itu, dana haji yang diinvestasikan harus berkembang dan memiliki nilai manfaat baik bagi jemaah itu sendiri maupun kemaslahatan umat. Serta, yang terakhir adalah likuiditas dana haji yang ditempatkan mudah untuk digunakan oleh jemaah.
Melihat penjelasan MUI, UU dan potensi dana haji, penempatannya untuk infrastruktur sebenarnya tidak menyalahi aturan yang ada. Namun, yang perlu diperhatikan adalah risiko dan likuiditas dari investasi yang ditanamkan. Alasannya, melalui pemanfaatan dana haji yang besar ini, seharusnya tak hanya Jemaah haji yang dapat merasakan manfaatnya, tetapi berpotensi juga untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Selain itu, yang lebih penting dari polemik penggunaan dana haji bagi infrastruktur adalah penempatan dana haji pada produk investasi.
Prinsip utama dalam pengelolaan dana haji adalah sesuai syariah, tapi melihat laporan dari Kementerian Agama/BPKH, ada potensi non-syariah dalam penempatan dana haji di Surat Utang Negara serta Deposito. Ini lah yang sebaiknya menjadi perhatian dalam pengelolaan dana haji. Jadi, persoalannya tak hanya berpolemik soal dana haji untuk kepentingan pembiayaan infrastruktur saja.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra