tirto.id - Usia Sukarno baru 21 tahun ketika berurusan dengan polisi kolonial untuk pertama kalinya. Sebagai mahasiswa baru Technische Hoogeschool (THS—cikal bakal Institut Teknologi Bandung), Sukarno enggan sekadar menjadi calon insinyur baik-baik. Pengalaman selama digembleng Oemar Said Tjokroaminoto dan petualangan intelektual telah mendekatkannya dengan dunia politik. Tak heran, selain menghadiri kelas di kampus, Sukarno juga rajin menyambangi rapat-rapat umum (openbare vergaderingen) yang kerap dipakai orang-orang pergerakan masa itu untuk mencari dukungan rakyat.
Tersebutlah suatu rapat kelompok Radicale Concentratie di sebuah lapangan di Kota Bandung pada 1922. Manusia berjejal-jejal hingga lapangan tampak menghitam. Setiap kepala yang datang memiliki satu tujuan, yakni melancarkan protes pada pemerintah kolonial. Sukarno, yang masih hijau dan belum pernah berorasi, antusias mengikuti rapat umum itu.
Meski begitu, dia kecewa lantaran pidato para pemimpin organisasi pergerakan justru bernada memelas dan mengharap belas kasihan. Hal itu membuat Sukarno berhasrat ikut berpidato. Maka dia pun mengacungkan tangan, minta izin bicara.
“Mengapa sebuah gunung seperti Kelud meledak? Ia meledak oleh karena lubang kepundannya tersumbat. Ia meledak karena tidak ada jalan bagi kekuatan-kekuatan yang terpedam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan-kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan DORR! Keseluruhan itu meletus,” ujar Sukarno.
“Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita tidak diperbolehkan untuk mencari jalan keluar bagi perasaan-perasaan kita yang sudah penuh, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. Dan manakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara!” lanjut Sukarno.
Suaranya yang berat dan gaya pidatonya yang menggeledek membuat suasana rapat umum memanas. Beberapa polisi mendelikkan mata. Tapi, Sukarno jalan terus.
“Sampai sekarang kita tidak pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang mendesak, akan tetapi gerakan kita adalah gerakan yang meminta-minta. Tak satupun yang pernah diberikannya karena kasihan. Marilah kita sekarang menjalankan politik percaya kepada diri sendiri dengan tidak mengemis-ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita berteriak, ‘Tuan imperialis, inilah yang kami TUNTUT’!”
Suasana mendadak ricuh. Komisaris Polisi Heyne, Kepala Kepolisian Bandung, naik pitam. Dia pun maju membelah kerumunan menuju panggung. Mendadak sontak, Heyne melompat ke atas mimbar dan menarik Sukarno turun. “Sekarang saya menyetop seluruh pertemuan. Habis. Tamat. Selesai. Tuan-tuan semua dibubarkan. Semua pulang sekarang! KELUAR!” Rapat pun bubar dengan paksa.
Siapakah Heyne yang sanggup membubarkan lautan manusia di sebuah lapangan?
Dia bukan semata-mata komisaris polisi, tapi juga bagian Politieke Inlichtingen Dienst (PID) alias Dinas Intelijen Politik yang sejak lama jadi mimpi buruk bagi para aktivis pergerakan.
Pentung Khusus Kaum Subversif
PID lahir kala Hindia Belanda sedang mengalami era yang oleh sejarawan Takashi Shiraishi disebut “zaman bergerak”. Pergerakan yang dimaksud bukan hanya yang diinisiasi sekelompok bumiputra terdidik, melainkan juga iklim sosial-politik global yang memang sedang menghangat.
Selama kurun 1914-1918, Perang Dunia I berkecamuk. Belanda tidak terlibat langsung dalam perang itu dan mengambil sikap netral. Demi menjaga netralitas itu, Pemerintah Belanda merasa perlu memahami potensi-potensi yang bisa menggerusnya—baik di negerinya sendiri maupun di koloni-koloninya.
Pemerintah Belanda makin awas lagi kala Jepang dikabarkan melakukan agresi ke Cina dan koloni-koloni Jerman di Samudra Pasifik. Pasalnya, pertahanan Hindia Belanda tidaklah begitu tangguh jika terseret dalam perang. Masalah semakin runyam lantaran hubungan Den Haag dan Batavia sempat terputus akibat perang.
Situasi itu membuat masa transisi pergantian gubernur jenderal, dari A.W.F. Idenburg ke J.P. Graaf van Limburg Stirum pun jadi rawan.
“Masa jabatan gubernur jenderal Idenburg berakhir pada Desember 1914, tetapi karena melihat ketidakpastian yang dihasilkan perang, pemerintah Belanda memintanya tetap di tempat,” tulis Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926 (2005, hlm. 124)
Situasi membuat van Limburg Stirum baru bisa menduduki jabatan gubernur jenderal pada Maret 1916. Tidak lancarnya komunikasi antara Belanda dan Hindia memaksa van Limburg Stirum untuk menjalankan pemerintahan kolonial secara lebih otonom. Untuk itu, dia mendesak Pemerintah Belanda agar segera menyetujui pembentukan Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia dan kemudian mendirikan PID pada Mei 1916.
Seturut keterangan Shiraishi, PID dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi agresi dari luar sekaligus mengawasi aktivitas yang mengarah pada kecenderungan revolusioner. Jadi, PID sejak awal memang digariskan sebagai “pentung” khusus untuk menggebuk kaum pergerakan. Kerena itulah, kantor dan agen-agen PID umumnya ditempatkan di kota-kota yang dianggap sarang oposan dan pergerakan politik radikal seperti Batavia, Bandung, Semarang, atau Surabaya.
PID dikepalai oleh W. Muurling yang merupakan mantan perwira Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Di masa itu, kepala PID tergolong jabatan strategis karena ia juga menjadi penyambung lidah pemerintah kolonial dalam Volksraad yang resmi terbentuk pada 1918.
Krusialnya posisi kepala PID yang dijabat Muurling tampak kala Tjipto Mangoenkoesoemo melancarkan kampanye antiraja pada Juni 1919. Kampanye antiraja adalah cara Tjipto mengkritik dekadensi kekuasaan raja-raja di Vorstenlanden. Meski begitu, secara spesifik, kampanye Tjipto itu menyasar posisi Kasunanan Surakarta.
Savitri Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX (2012) menyebut kampanye Tjipto itu adalah kritik paling berani dan paling menghancurkan martabat Sunan Pakubuwono X yang pernah dilontarkan seorang bumiputra.
Untuk menangkis kampanye itu, Muurling tampil di depan Volksraad dan membela status quo Kasunanan dan Mangkunegaran. Sebagaimana dikutip Shiraishi (hlm. 246), Muurling menegaskan, “Siapapun yang mencoba mengguncangkan kekuasaan dan posisi kerajaan Jawa yang berpemerintahan sendiri, pemerintah akan melawannya!”
PID jugalah yang mengusir aktivis Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) Henk Sneevliet dari Hindia Belanda pada 1918.
Mati untuk Hidup Kembali
PID kehilangan legitimasinya kala Perang Dunia I berakhir pada 11 November 1918. Pada 1919, PID secara resmi dibubarkan. Meski begitu, tugas intelijen PID kemudian dialihkan pada Algemeene Politieyang berada di bawah naungan Hoofdparket alias Kejaksaan.
Hanya berselang lima bulan dari pembubaran PID, pemerintah membentuk sebuah badan intelijen baru yang bernama Algemene Recherche Dients (ARD). Pergerakan nasionalis yang kian berani dan gencarnya pemogokan buruh menjadi alasan utama pemerintah kolonial mendirikan ARD.
Perbedaan nama ini hanya bungkus karena ARD sejatinya adalah PID jilid dua. Keduanya punya tugas, fungsi, dan wewenang yang sama. Lagi pula, tidak banyak orang yang tahu bahwa PID telah bubar. Karenanya, dalam kasak-kusuk kaum pergerakan, ARD masih juga disebut PID.
ARD tak pernah absen mengintai setiap gerak-gerik kaum pergerakan. Agen-agen ARD rajin menghadiri kongres, rapat umum, maupun pertemuan-pertemuan internal organisasi pergerakan. Forum-forum yang kedapatan dijadikan ajang agitasi politik bumiputra segera digebuk.
“Bila perlu mereka ini seketika itu juga dapat menghentikan pembicaraan atau paling sedikit memperingatkannya,” catat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (1993, hlm. 162).
Selain itu, ARD juga ikut mengawasi penerbitan kartu pers, menyensor media, merekomendasikan penangkapan dan pengasingan, hingga memata-matai tempat-tempat umum. ARD pun tak hanya mengumpulkan informasi dari agennya sendiri, tapi juga dari kepolisian umum. ARD pun masih juga memanfaatkan hierarki birokrasi tradisional (Wedana dan Bupati) untuk memperluas jejaringnya.
Malahan, sesudah pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926-1927 berhasil dipatahkan, ARD membentuk kemitraan dengan dinas intelijen kolonial Inggris dan Prancis untuk memperkuat kedudukannya.
Salah satu testimoni terkait betapa menjengkelkannya kerja-kerja ARD datang dari Mohammad Hatta. Dalam perjalanan turne mengampanyekan PNI-Baru ke Yogyakarta, Hatta berpidato mengenai perkembangan kapitalisme. Pada kesempatan itu, Hatta menjelaskan panjang-lebar mengenai kapitalisme—sejak kapitalisme muda, kapitalisme raya, hingga kapitalisme penghabisan. Untuk menjelaskan pandangannya itu, Hatta menghabiskan waktu 30 menit lamanya.
Sesudah mengurai panjang lebar demikian, seorang wedana ARD dengan polosnya bertanya, “Apa itu kapitalisme?”
Atas pertanyaan itu, Hatta melempar keheranannya kepada para hadirin. Bisa-bisanya ada seeorang yang tak paham bahkan setelah dijelaskan sampai berbusa-busa selama setengah jam, katanya—agaknya untuk menunjukan betapa bebalnya si agen intel itu. Seisi ruangan serentak tertawa, sementara si agen intel justru memerah wajahnya karena malu.
Tanpa ragu, Hatta pun meneruskan pidatonya. Tapi, baru dua menit Hatta bicara, si wedana ARD memukul meja dan menyuruhnya berhenti. Sebagian anggota rapat memprotes, tapi wedana itu menjawab dengan ancaman pembubaran. Hatta pun mengalah. Ketua sidang lantas membubarkan rapat dan semua peserta pulang dengan lega.
Ketika berjalan keluar ruangan, seorang pengurus PNI Yogyakarta berkata pada Hatta agar tak berkecil hati. “Bung sebenarnya menang dalam duel dengan PID itu,” kata sang tuan rumah. “Sampai sekarang, sejak polisi mulai mengganas, belum ada orang pergerakan di Yogya yang dapat bicara lebih dari dua menit.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi