tirto.id - Pemerintah mengumumkan kebijakan baru terkait penanganan COVID-19. Rencananya, orang-orang berusia di bawah 45 tahun akan diberi kelonggaran untuk beraktivitas guna mengerem laju PHK massal yang terjadi. Namun kebijakan ini diprotes keras karena berpotensi memperparah persebaran COVID-19 di Indonesia.
"Kelompok ini tentunya kita berikan ruang untuk bisa beraktivitas lebih banyak lagi, sehingga potensi terpapar karena PHK akan bisa kita kurangi," kata Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo dalam konferensi pers usai rapat, Senin (11/5/2020).
Merujuk pada data gugus tugas, orang-orang berumur 60 tahun ke atas memiliki risiko kematian akibat COVID-19 sebesar 45 persen. Sementara itu, orang berusia 46-59 tahun memiliki risiko kematian sebesar 40 persen jika menderita penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes maupun jantung.
"Dari dua kelompok umur ini, 45% usia 60 tahun ke atas, kemudian 40% usia 46 sampai dengan 59 tahun berarti 85%. Kalau kita bisa melindungi saudara-saudara kita yang kelompok rentan ini, berarti kita telah mampu melindungi warga negara kita 85%," kata Doni.
Doni mengatakan sedang mengupayakan agar masyarakat bisa kembali opsi hidup normal dengan protokol kesehatan. Karenanya ia berharap kerja sama warga untuk disiplin menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak dalam menghadapi kehidupan, yang disebut Doni, "new normal".
Pakar Epidemiologi dari Universitas Padjajaran Panji Fortuna Hadisoemarto mengakui Doni memang benar bahwa orang di atas 45 tahun lebih rentan meninggal akibat COVID-19. Namun menurutnya ada informasi lain yang tidak disebutkan Kepala BNPB tersebut.
Panji mengatakan, jika melihat lagi data gugus tugas, maka diketahui bahwa 47,8 persen pasien positif COVID-19 adalah kelompok usia 18-45 tahun. Kelompok ini pun yang paling banyak memenuhi ruang-ruang isolasi dan bangsal isolasi mandiri (50,8 persen).
"Artinya kalau nanti semua boleh keluar begitu sama aja banyak yang akan sakit walaupun mereka sebagian besar akan sembuh tapi kan bukan berarti beban sistem kesehatan akan kecil," kata Panji kepada Tirto pada Selasa (12/5/2020).
Kandidat PhD dari Department of Global Health and Population, Harvard School of Public Health itu pun mengingatkan banyak warga usia kerja yang tinggal bersama orang tua atau orang dengan penyakit. Karenanya, meskipun Doni mengingatkan untuk tetap melindungi kelompok rentan, Panji ragu itu bisa dilakukan.
Kekhawatiran munculnya klaster baru akibat kebijakan ini memang bukan isapan jempol. Pegiat gerakan KawalCovid19 Elina Ciptadi mengungkapkan, di berbagai negara yang berperan sebagai penular secara masif (super-spreader) justru orang dalam usia produktif.
Misalnya, seorang karyawan pabrik pengolahan ikan di Ghana yang menulari 533 orang di lingkungan kerjanya. Ada juga "Mattia", seorang pelari maraton yang menulari 13 orang di Provinsi Lombardia, Italia.
Karenanya, sebelum merealisasikan rencana ini ia meminta pemerintah memikirkan kembali, "Apakah pemerintah punya data? Apakah betul kurva kita sudah turun secara sustainable/berkesinambungan? Kemudian Apakah kita sudah mentes jumlah populasi yang cukup untuk sampai ke kesimpulan bahwa relaksasi PSBB sudah bisa dilaksanakan dengan aman?" kata Elina.
Gamang Hadapi Pandemi
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menilai kebijakan ini memperpanjang kontroversi akibat langkah gamang pemerintah dalam menangani pandemi. Terakhir, kontroversi dibuat oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang disebut melonggarkan aturan mudik.
Ari berujar, PSBB di beberapa daerah telah menunjukan hasil, kurva kasus positif melandai menandakan penambahan pasien positif telah melambat. Kebijakan ini justru akan menghancurkan lagi capaian tersebut.
"Ini maksudnya bagaimana? Mau semua orang di bawah 45 tahun kembali ke jalanan lagi saja semua, ya sudah kita habis-habisan saja? Atau mau PSBB yang diperketat? Jadi hal-hal seperti ini mestinya tidak muncul dalam konsumsi publik. Publik jadi bingung," kata Ari kepada Tirto pada Selasa (12/5/2020).
Saat ini, sudah sekitar 3 bulan tenaga kesehatan berjibaku di garis belakang merawat mereka yang terinfeksi COVID-19. Ari mengingatkan, cepat atau lambat logistik dan sumber daya manusia untuk perawatan akan menemui batasnya.
Akibatnya, angka kematian pada kelompok 18-45 tahun yang semula relatif kecil, bisa jadi membengkak. Ari menegaskan, keterlambatan mendapat pelayanan karena rumah sakit rujukan telah penuh menjadi penyebab utama tingginya kematian akibat COVID-19 di Indonesia, baik dalam status confirmed maupun dalam pengawasan.
"Presiden sudah mengultimatum bulan Juni-Juli selesai, tapi kalau modelnya seperti ini saya sih tidak yakin bahwa kita bisa menyelesaikan ini dalam 1-2 bulan ini," kata dia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Restu Diantina Putri