tirto.id - Oktober 2011, mantan Wali Kota Bekasi, Mochtar Muhammad mendadak terkenal. Bukan karena prestasinya, melainkan kelicinannya lolos dari vonis pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung.
Lolosnya pria kelahiran Gorontalo, 26 Oktober 1964 itu memang di luar dugaan. Djoko Sarwoko yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muda Bidang Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) bahkan heran karena Pengadilan Tipikor Bandung bisa membebaskan perkara korupsi yang ditangani KPK. Padahal, perkara yang ditangani KPK biasanya lebih kuat dan lengkap dalam hal pembuktian.
Kasus Mochtar Muhammad ini sekaligus mementahkan pendapat Taufiequrachman Ruki saat menjabat sebagai ketua KPK periode 2003-2007. Ruki pernah berkata “selama ini terdakwa perkara korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor, tidak pernah ada yang dibebaskan.”
Pernyataan Ruki tersebut jangan diartikan KPK tidak pernah salah, melainkan semata-mata karena KPK selalu menjalankan tugasnya secara hati-hati dan profesional. Dengan bermodalkan alat bukti dan argumentasi yang kuat, KPK mampu meyakinkan hakim Pengadilan Tipikor sehingga tidak ada satu pun terdakwa yang diajukan KPK dapat lolos dari tuntutan hukuman di Tipikor.
Namun, kasus Mochtar Muhammad ini mengkonfirmasi banyak hal. Salah satunya adalah adanya indikasi main mata antara hakim Tipikor Bandung dengan pihak terdakwa. Sebab, lima terdakwa untuk kasus yang sama justru diputus bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Apalagi saat KPK mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, Mochtar Muhammad justru divonis 6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Di sisi lain, kasus Mochtar Muhammad ini sebagai peringatan bagi KPK agar lebih waspada dan profesional dalam menangani kasus korupsi. Jangan sampai KPK sebagai lembaga yang menjadi harapan publik dalam pemberantasan korupsi ini justru menjadi alat politik dan kepentingan kelompok atau individu. Ketidakhati-hatian KPK akan menyebabkan komisi antirasuah ini terombang ambing dalam pusaran kepentingan elit. Kekalahan KPK di sidang praperadilan kasus Komjen Pol Budi Gunawan dan Hadi Poernomo jangan sampai terulang kembali.
Terlepas dari kasus di atas, tren vonis bebas bagi terdakwa kasus korupsi di Pengadilan Tipikor daerah ini patut menjadi perhatian bersama. Selama ini, perhatian publik selalu tertuju pada sidang terdakwa korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta sehingga abai pada proses persidangan korupsi di Pengadilan Tipikor daerah.
Saat ini, Indonesia memiliki 33 pengadilan Tipikor tingkat pertama, dan 30 pengadilan Tipikor tingkat banding di masing-masing ibu kota provinsi. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama periode Januari-Juni 2016 terhadap peradilan tindak pidana korupsi di semua pengadilan Tipikor tersebut, menemukan terdapat 46 terdakwa yang divonis bebas oleh pengadilan Tipikor.
Bagaimana tren vonis bebas ini terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat secara detail catatan pemantauan perkara korupsi yang divonis pengadilan selama Januari-Juni 2016. Pada periode ini, ICW telah melakukan pemantauan peradilan terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK). Dari pemantauan tersebut, terdapat 46 terdakwa yang oleh pengadilan Tipikor divonis bebas.
Pemantauan pada periode tersebut tercatat ada 11 pengadilan Tipikor yang memberikan vonis bebas atau lepas bagi terdakwa korupsi. Dari sisi kuantitas, pengadilan Tipikor Makassar menempati peringkat teratas atau paling banyak memvonis bebas koruptor, yaitu ada 20 terdakwa. Disusul Pengadilan Tipikor Banda Aceh dan Tipikor Tinggi Jayapura yang masing-masing enam terdakwa, kemudian Tipikor Ternate 4 terdakwa, Tipikor Pekanbaru 3 terdakwa, Tipikor Surabaya dan Palu masing-masing dua terdakwa, sisanya Tipikor Tanjung Karang, Tipikor Kupang, Tipikor Bandung, dan Tipikir Jambi masing-masing satu terdakwa.
Tren vonis bebas terdakwa korupsi ini tidak hanya terjadi pada periode Januari-Juni 2016 saja, melainkan pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau ditarik jauh ke belakang, angkanya juga menunjukkan tren naik. Misalnya, pada tahun 2013 terdapat 8 terdakwa yang divonis bebas oleh pengadilan Tipikor. Angka tersebut naik pada tahun berikutnya, yaitu 19 terdakwa pada tahun 2014, dan 38 terdakwa pada tahun 2015.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar Ifmaini Idris mengatakan, motif di balik putusan hakim tersebut perlu dipelajari. Mengapa hakim Tipikor justru tidak berani menjatuhkan hukuman berat, bahkan memberikan vonis bebas bagi para koruptor.
Dalam konteks ini perlu dilihat dari dua aspek yang menjadi subjek dalam peradilan tersebut. Pertama dari sisi hakim yang memberikan vonis. Misalnya, apakah hakim memberikan putusan ringan atau bebas tersebut karena tuntutan jaksa yang rendah atau karena diskresi luas yang dimiliki oleh hakim? Sebab, diskresi yang luas justru menjadi lock hole untuk memberikan vonis ringan maupun bebas, karena tidak ada pedoman dalam memutuskan vonis.
Kedua dari sisi jaksa. Menurut Aradila, dalam pemantauan peradilan terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa, tuntutan jaksa umum tidak berani memberikan tuntutan yang tinggi. Rata-rata tuntutan jaksa sangat rendah sehingga membuat keputusan vonis yang diambil hakim juga rendah, bahkan vonis bebas. “Putusan hakim biasanya mengacu pada tuntutan jaksa,” ujarnya pada tirto.id.
Namun, bisa saja tren vonis bebas bagi koruptor ini karena sistem peradilan yang kurang transparan dan kongkalikong antara pihak terdakwa dan hakim itu sendiri. Sebagai contoh kasus Mochtar Muhammad di atas. Dalam kasus ini ditemukan banyak keanehan yang terjadi. Misalnya, sebelum mantan Wali Kota Bekasi itu divonis bebas, majelis hakim juga menangguhkan penahanan terhadap Mochtar.
Selain itu, ternyata salah satu anggota majelis hakim yang mengadili Mochtar, yakni Ramlan Comel pernah menjadi kasus tersangka kasus korupsi saat bertugas di Pekanbaru, Riau. Menurut Djoko Sarwoko, Ramlan adalah terdakwa kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako senilai 194.496 dolar AS atau sekitar Rp1,8 miliar. Namun, akhirnya dalam kasus ini Ramlan divonis bebas.
Kemudian pada tahun 2014, KPK akhirnya menetapkan Ramlan Comel sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial di pemerintah Kota Bandung. Ramlan divonis 7 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 1 bulan kurungan.
Contoh lainnya adalah kasus operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada akhir Mei 2016 terhadap Janner Purba dan Toton, yang merupakan hakim Tipikor di PN Bengkulu. Menurut data yang dilansir kantor berita Antara, Janner dan Toton diketahui kerap berpasangan dan sudah membebaskan 10 orang terdakwa perkara korupsi di PN Bengkulu selama periode 2015-2016.
Artinya, melihat kasus korupsi yang menjerat para hakim ad hoc pengadilan Tipikor seperti Ramlan Comel, Janner, dan Toton, maka kuat dugaan tren vonis bebas terdakwa korupsi di pengadilan Tipikor daerah terkait maraknya praktik suap di lembaga peradilan tersebut. Kalau faktanya memang demikian, maka drama yang terjadi di pengadilan Tipikor bisa disebut “koruptor mengadili koruptor.”
Kasus Ramlan Comel, Janner, dan Toton di atas hanya sebagian kecil yang terekspos ke publik, sementara kasus serupa masih berjibun di luar sana mengingat banyaknya pengadilan Tipikor dan sebarannya yang cukup luas.
Desakan untuk Mahkamah Agung
Merebaknya tren vonis bebas maupun ringan bagi terdakwa korupsi, serta tertangkapnya Janner dan Tonton mengundang perhatian banyak kalangan. Komisi Yudisial (KY), misalnya mendesak Mahkamah Agung agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal.
“Menindaklanjuti hal ini [tertangkapnya Janner dan Toton], desakan kepada Mahkamah Agung agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal demi mencegah terulangnya kejadian serupa menjadi semakin relevan," kata juru bicara KY, Farid Wajdi seperti dikutip Antara.
Farid juga mengatakan, pengawasan tidak ditujukan untuk tujuan merusak, tetapi justru untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah semakin terpuruk terhadap aparat pengadilan. Menurut dia, harus ada langkah progresif dari aspek internal MA untuk melakukan evaluasi dalam rangka menjaga kehormatan dan martabat peradilan.
Sementara Aradila juga meminta MA agar bertanggung jawab terhadap tren vonis ringan maupun bebas para koruptor oleh Tipikor di daerah. Pihaknya meminta agar MA membuat semacam “pedoman pemidanaan” untuk menjadi pedoman para hakim, terutama dalam kasus pidana korupsi. Misalnya, MA memberikan indikator terkait vonis 1 tahun atau bahkan 10 tahun yang dijatuhkan hakim sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, ide “pedoman pemidanaan” ini sulit direalisasikan mengingat kondisi MA saat ini. Karena bisa saja pedoman yang telah dibuat oleh MA nantinya tidak diikuti oleh hakim atau malah dianggap sebagai intervensi terhadap independensi hakim.
MA sebenarnya terlihat cukup responsif. Misalnya setelah diguncang sejumlah kasus suap oleh aparat peradilan di bawahnya, MA berupaya melakukan pembenahan sistem pengawasan lembaga peradilan. Setelah membentuk satuan tugas khusus (Satgas) dalam mengawasi proses penanganan perkara, MA menerbitkan beberapa Peraturan MA terkait pengawasan aparatur peradilan termasuk hakim. Intinya, beleid tersebut ditujukan untuk memperketat pengawasan atau pendisiplinan hakim dan aparatur pengadilan.
Apakah pembenahan tersebut akan membawa hasil?
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti