Menuju konten utama

Ahli Hukum Desak Pemerintah Revisi Keppres 174/1999 tentang Remisi

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan saat ini merupakan momentum yang tepat bagi pemerintah untuk merevisi aturan tentang remisi.

Ahli Hukum Desak Pemerintah Revisi Keppres 174/1999 tentang Remisi
(Ilustrasi) Jurnalis dan masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Bali mengikuti aksi damai mendesak pembatalan remisi bagi I Nyoman Susrama di Monumen Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Jumat (1/2/2019). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

tirto.id - Pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti menyatakan pemerintah harus segera merevisi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.

Keppres itu merupakan dasar pemberian remisi untuk I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis di Bali, yang mendapat keringanan hukuman dari penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara.

Bivitri mengatakan pemberian remisi kepada narapidana dengan berdasar pada Keppres tersebut kerap memicu polemik dan kekecewaan publik. Padahal, kata dia, revisi Keppres itu hanya perlu niat dari pemerintah.

Bivitri menjelaskan pendapatnya tersebut di sela-sela diskusi "Menyoal Kebijakan Remisi dalam Sistem Hukum Indonesia" di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat pada Kamis (7/2/2019).

“Menurut saya, lebih kepada kemauan [pemerintah] dan ini bisa menjadi momentum tepat. Kita setiap tahun ribut, seperti saat Lebaran atau 17 Agustus, karena tiba-tiba ada nama besar yang mendapatkan remisi gila-gilaan,” kata Bivitri.

Agar kejadian serupa tidak terus berulang, Bivitri meminta pemerintah merevisi Keppres tersebut. Menurut Bivitri, langkah yang ditempuh tidaklah rumit mengingat beleid itu bukan Undang-Undang (UU).

“Harus ada kajiannya dulu dan saya kira itu tidak akan terlalu lama. Setelah kajian mengenai pengaturannya supaya tidak tumpang tindih, kemudian bisa langsung bikin drafnya,” ujar Bivitri.

Bivitri menambahkan pemerintah juga bisa merujuk pada sejumlah kajian tentang Keppres itu yang sudah ada. Dia mencatat Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) pernah melakukan kajian terkait Keppres itu.

Bivitri juga berharap pemerintah melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian remisi. Sebab, pemberian remisi selama ini hanya berdasar pertimbangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Oleh karena itu, pertimbangan biasanya hanya berdasar laporan kepala lembaga pemasyarakatan, yang kemudian diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham.

“Masyarakat tidak dilibatkan. Itulah yang menurut saya harus diubah. Publik biasanya enggak tahu, karena prosesnya tidak transparan. Kita pun enggak bisa lihat siapa yang dikasih [remisi], jadi biasanya hanya tahu begitu diumumkan lewat Keppres,” jelas Bivitri.

Baca juga artikel terkait REMISI HUKUMAN atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Hukum
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom