Menuju konten utama

Di Balik Sujud Risma di Hadapan Ikatan Dokter

Risma mengeluh tak bisa membantu RS yang ada di bawah koordinasi pemprov. Masihkah terkait perseteruan Risma-Khofifah?

Di Balik Sujud Risma di Hadapan Ikatan Dokter
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (kanan) menyampaikan pemaparan saat Rapat Analisa Dan Evaluasi Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Di Wilayah Kota Surabaya di Gedung Sawunggaling, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (22/5/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/pras.

tirto.id - "Saya mohon maaf."

Kalimat tersebut keluar dari mulut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di halaman Balai Kota Surabaya, Senin (29/6/2020). Ia bersujud di depan Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr Soetomo, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur. Matanya memerah, air matanya bercucuran saat audiensi tersebut.

Kejadian tersebut berawal ketika salah satu dokter di RSUD dr Soetomo mengeluh banyak rumah sakit penuh dan warga tidak menaati protokol kesehatan.

Risma menanggapi keluhan tersebut dengan mengatakan telah mencoba membantu RS Soetomo dengan mengirimkan alat pelindung diri (APD), tapi malah ditolak. "Kami tidak bisa bantu ke sana, padahal rumah sakit lain kami bisa," katanya. Sementara soal masyarakat tak taat aturan, Risma bilang pemkot sudah berupaya keras untuk itu dan memberikan sanksi sosial kepada yang tidak mematuhi aturan.

Direktur Utama RS dr Soetomo, dr Joni Wahyuhadi, mengatakan ia menolak APD dari pemkot karena sudah punya banyak dan rumah sakit lain lebih membutuhkan. "Nanti kalau diterima, kami dipikir serakah," katanya di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Senin (29/6/2020) malam, dikutip dari Antara.

Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani mengatakan alasan tersebut membingungkan karena menurutnya rumah sakit itu kekurangan APD. "Beberapa PPDS mengeluh kekurangan APD," katanya kepada reporter Tirto, Selasa(30/6/2020). Selain itu, 12 dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis Unair juga terpapar COVID-19. "Jadi agak enggak sinkron," katanya.

Laura menduga penolakan ini sebenarnya masih terkait dengan perseteruan Risma dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Secara administratif, katanya, RSUD dr Soetomo berada di bawah wewenang Pemprov Jatim. Tapi Joni Wahyuadi telah menekankan bahwa hubungan mereka dengan pemkot baik-baik saja. "RSUD selama ini selalu menerima Pemkot Surabaya dengan baik dan tangan terbuka," katanya.

Terlepas dari masalah ini, Laura berpendapat apa yang dilakukan Khofifah maupun Risma secara umum sudah berada di jalur yang tepat. Upaya Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim misalnya terlihat lewat penambahan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit darurat dan peningkatan kapasitas tes selepas penghentian Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Surabaya dan sekitarnya.

Laura juga melihat pendekatan yang dilakukan kedua pemerintah sudah senada. Pemprov Jatim menggalakkan kampung tangguh dan industri tangguh, sementara Surabaya membangun konsep Wani Jogo Surabaya. Kedua program menurutnya "hanya beda kata-kata, tetapi konsepnya sama."

Masalahnya, koordinasi keduanya belum tampak solid, kata Laura. Ia mengatakan kolaborasi yang dapat dilakukan, misalnya, memperkuat ruang IGD atau mencegah dokter terpapar COVID-19 di tempat kerja.

Laura juga menegaskan Khofifah dan Risma tidak perlu khawatir bila peningkatan kasus positif di Surabaya dan Jatim secara umum terus meningkat. Jatim menempati posisi teratas penyebaran COVID-19, lebih dari 12 ribu kasus per 30 Juni. Justru situasi itu bisa menggambarkan situasi sebenarnya, katanya. Oleh karenanya ia menegaskan "semestinya pemeriksaan harus lebih masif lagi."

Sudut Pandang Politik

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam mengatakan sujud Risma "bisa dibaca sebagai simbol dari wali kota yang tidak bisa disampaikan melalui verbal, menyangkut relasi pemkot dan pemprov, secara khusus relasi wali kota dengan gubernur."

Khofifah dan Risma sebenarnya punya inovasi sendiri-sendiri dalam penanganan COVID-19. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berkolaborasi dengan baik di tingkat teknis karena persoalan politik. Risma dan Khofifah tidak berada dalam satu gerbong ketika Pilkada Jatim 2018 lalu. Risma, sebagai kader PDIP, lebih mendukung Saifullah Yusuf-Puti Guntur daripada Khofifah-Emil Dardak.

Apa yang terjadi di pilkada lalu, kata Surokim, membuat dua kubu politik tidak bisa akur dalam waktu yang panjang. Faktor inilah menurutnya yang jadi penyebab kenapa keributan-keributan itu bisa terjadi.

Khofifah dan Risma sudah berkali-kali adu mulut sejak awal pandemi merebak. Dari mulai rencana pemkot membatasi kendaraan dari luar daerah lalu ditegur pemprov, tudingan pemprov bahwa pemkot lambat melapor sehingga penyebaran virus dari klaster HM Sampoerna meluas, protes pemkot karena rumah sakit di daerahnya justru diisi orang-orang luar Surabaya, hingga pengalihan mobil BNPB dari Surabaya ke daerah lain.

Surokim mengatakan hal-hal seperti ini barangkali dapat terus terjadi meski misalnya Presiden Joko Widodo turun tangan. Ia mengunjungi Jatim beberapa waktu lalu dan memberikan ultimatim kurva COVID-19 harus turun.

"Drama-drama ini tidak akan berakhir kendati sudah ditengahi presiden dan sepertinya akan kian mengeras hingga pilkada akhir tahun nanti," katanya.

Baca juga artikel terkait CORONA DI JAWA TIMUR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino