tirto.id - Hanya dua partai yang tidak hadir dalam pembukaan Kongres ke-V PDIP di Bali, Kamis (8/8/2019) lalu: PKS dan Demokrat. Bahkan Gerindra dan PAN, dua partai lawan PDIP di pilpres lalu, hadir. Prabowo Subianto mewakili Gerindra, sementara PAN diwakili Sekjen Eddy Soeparno (lalu Ketua Umumnya Zulkifli Hasan pun hadir).
Ketidakhadiran PKS bisa dipahami lantaran partai berhaluan Islam itu memang sudah mendeklarasikan diri sebagai oposisi. Ini berbeda dengan Demokrat yang sebetulnya jadi partai oposisi pertama yang bermanuver merapat ke koalisi Jokowi.
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai ini adalah sinyal PDIP menolak Demokrat bergabung ke koalisi. Ini juga jadi indikasi bahwa perang dingin antara Megawati dan SBY belum cair.
"Demokrat harus siap jadi oposisi atau jalan tengah. Opsinya hanya itu," kata Adi kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2019).
Penolakan ini berdasarkan hitung-hitungan politis, kata Adi. Berkoalisi dengan Demokrat sangat berisiko karena partai itu saat ini tengah 'menggodok' sosok Agus Harimurti Yudhoyono.
Menurut Adi, jika Demokrat masuk ke dalam koalisi, itu berpotensi memberikan ruang bagi Demokrat dan AHY untuk bersinar di 2024. Dan itu jelas ancaman bagi yang lain.
Sebaliknya, kehadiran Gerindra dan PAN dalam kongres PDIP menandakan jalan menuju koalisi makin mulus.
Adi menilai hal itu dapat dipahami lantaran Prabowo memang punya riwayat kedekatan dengan Megawati dan PDIP. Prabowo adalah wakilnya Megawati di Pilpres 2009.
Di sisi lain, Kehadiran PAN dianggap penting untuk menyeimbangkan komposisi pemerintahan Jokowi yang didominasi kelompok NU. PAN selama ini dianggap representasi dari politik Muhammadiyah.
"Enggak perlu digosipkan. Kalau PAN, otomatis siapa pun yang jadi Presiden akan diajak untuk koalisi untuk menjaga keseimbangan kalangan pemilih Islam," katanya.
PAN juga sebetulnya punya rekam jejak di koalisi Jokowi. Setelah gagal mengantarkan Prabowo-Hatta Rajasa sebagai Presiden-Wakil Presiden pada Pilpres 2014, pada September 2015 PAN memutuskan merapat ke koalisi Jokowi-JK.
Singkatnya, bagi Adi, tidak seperti PAN, kemungkinan Demokrat bergabung ke koalisi Jokowi sudah tertutup sama sekali.
Namun pendapat berbeda disampaikan CEO Cyrus Network Hasan Nasbi Batupahat. Ia menilai kemungkinan itu belum sepenuhnya tertutup karena pada akhirnya Joko Widodo sebagai Presiden terpilihlah yang menentukan siapa pembantunya kelak.
"Jadi bisa saja antara partai koalisi tidak saling bicara tapi dengan Pak Jokowi bicara," ujar Hasan saat ditemui di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Jumat (9/7/2019). "Jokowilah yang akhirnya memegang kunci," tambahnya.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan alasan kenapa hanya PAN dan Gerindra yang diundang tidak sepolitis yang dijelaskan para pengamat. Prabowo, misalnya, datang karena dia adalah lawan Jokowi. Lagipula dia diundang khusus oleh Megawati.
Sementara PAN, kata Hasto, diundang karena status Zulkifli Hasan yang merupakan Ketua MPR.
"Pak Zul kami undang sebagai Ketua MPR dan melekat sebagai Ketua Umum PAN," ujarnya.
Mencermati Situasi
Politikus partai Demokrat Ferdinand Hutahaean membenarkan kalau Demokrat tidak diundang ke kongres.
"Kalau kami mengirimkan kader mewakili ketum (SBY) kan tidak enak juga ke Ibu Mega," kata Ferdinand. Kalaupun diundang, katanya, ia khawatir tak ada yang bisa datang mengingat saat ini Demokrat masih berkabung atas kepergian Ani Yudhoyono.
Ferdinand lantas mengaku Demokrat tidak terlalu memikirkan apa makna di balik sikap PDIP tak mengundang mereka, termasuk anggapan bahwa ini adalah tanda mereka tak bakal diterima di koalisi. Toh, katanya, sejauh ini komunikasi antara Demokrat dan PDIP dan Jokowi berjalan dengan baik.
Saat ini Demokrat masih melihat dan menunggu dinamika politik, baru kemudian memutuskan sikap.
"Demokrat menganut ajaran orang tua zaman dulu: cepat ada yang dikejar, lambat ada yang dituju. Jadi Demokrat saat ini betul-betul sedang mencermati situasi," katanya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino