tirto.id - Komedian Soleh Solihun sempat menyinggung prioritas hasil tes swab COVID-19 dalam cuitannya di Twitter. Bagi orang dengan gejala berat dan butuh penanganan cepat, kata Soleh, seharusnya didahulukan dalam skala prioritas tes swab.
Soleh mengalami sendiri betapa prosedur tes COVID-19 masih terlalu bertele-tele. Semuanya berawal pada 11 April 2020 saat ia sempat dirawat di rumah sakit.
Sebelum diopname, Soleh menjalani berbagai pengujian mulai dari tes cepat (rapid test) hingga rontgen paru-paru, dua tes itu menunjukkan Soleh nihil gejala COVID-19, tapi ia didiagnosis mengalami demam berdarah.
Tiga hari berselang, Soleh kembali menjalani rontgen dan hasilnya flek di paru-parunya semakin banyak, dia mengakui sejak awal paru-parunya memang sudah terdeteksi bermasalah karena perokok pasif. Akhirnya, Soleh dinyatakan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan ditempatkan di ruang isolasi.
"Selama hasil [tes swab] belum keluar, saya diperlakukan seperti pasien COVID-19. Diberi obat chloroquin, diurus oleh suster dan dokter berpakaian APD [Alat Perlindungan Diri] lengkap," kata Soleh lewat akun Twitter-nya @Solehsolihun yang sudah dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (5/5/2020).
Karena bukan rumah sakit rujukan COVID-19, maka Soleh harus didaftarkan untuk tes swab ke dinas kesehatan. Akhirnya, Soleh dijadwalkan untuk tes swab pada 20 April 2020. Beruntung, karena punya kenalan di Puskesmas, Soleh bisa mengikuti tes swab lebih dahulu yakni 15 April, "Itu pun setelah bernegosiasi dengan RS," kata Soleh.
"Karena RS terletak di kota berbeda dengan puskesmas kenalan saya."
Pada 18 April, hasil rontgen paru-paru keluar dan hasilnya lebih baik sehingga Soleh dibolehkan pulang. Namun, karena hasil tes swab belum keluar maka dia harus isolasi mandiri di rumah.
Hasil tes swab baru keluar seminggu setelah sampel diambil, dan Soleh dinyatakan negatif COVID-19. Hasil ini keluar lebih cepat dari perkiraan, yakni 14 hari.
Untuk tes swab kedua, Soleh melakukannya di laboratorium Kimia Farma. "Mereka menawarkan jasa swab test dengan hasil cepat dan pengambilan tes di ruangan yang terpisah dengan pasien umum," kata Soleh.
"Ternyata, swab test bisa selesai dalam 3 hari! Memang, harganya lebih mahal dari tes Dinkes, tapi ini menunjukkan bahwa sebenarnya swab test bisa keluar hasilnya dalam 3 hari!" lanjut dia.
Berkaca dari pengalamannya itu, Soleh menilai hasil tes swab COVID-19 sebenarnya bisa lebih cepat keluar. Dia pun berharap agar ke depan hasil tes swab bisa didahulukan bagi mereka yang memang membutuhkan penanganan segera.
"Harusnya buat pasien opname pun bisa keluar cepat dong hasil swab test-nya, kalo memang didahulukan," ujarnya.
salah satu yang harus diperbaiki dari penanganan pandemi ini adalah: prioritas hasil swab test. memang banyak sekali yang perlu dites, tapi harusnya yang mendesak bisa didahulukan.
— SOLEH SOLIHUN (@solehsolihun) May 5, 2020
Hasil Tes Swab Bisa Keluar 2 Hari Saja
Problem keterlambatan pengumuman hasil tes COVID-19 memang menjadi masalah sejak awal. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbangkes Kemenkes) Siswanto menyebut pada Senin (16/3/2020) bahwa pihaknya hanya butuh 2x24 jam untuk mengetahui hasil tes swab.
Namun kenyataannya, hasil tes bisa keluar lebih lama dari itu. Dokter Ratih Purwarini salah satunya, ia dirawat sejak 19 Maret 2020, tapi hingga meninggal dunia pada 31 Maret 2020 hasil tes swabnya tak kunjung keluar sehingga ia berpulang dengan status PDP. Beberapa saat setelah dimakamkan baru diketahui bahwa Ratih positif Covid-19.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, terdapat 930 pasien terkonfirmasi yang meninggal dunia per Kamis (7/5/2020). Diprediksi, angka kematian di kelompok PDP lebih besar dari itu.
Contohnya di DKI Jakarta, kendati hanya mencatat 430 pasien positif Covid-19 yang meninggal, DKI Jakarta menggelar 1792 pemakaman dengan protokol Covid-19 per Rabu (6/5/2020). Di Banten, terdapat 52 pasien positif yang meninggal, dan 167 pasien PDP yang meninggal. Di Jawa Timur, terdapat 355 PDP meninggal dan 137 pasien positif Covid-19 meninggal.
Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah pun mengakui keterlambatan itu berpengaruh terhadap kinerja perawat dan dokter. Menurutnya, "semakin hasil diketahui akan semakin pasti membuat rencana asuhan keperawatan, bagi dokter akan lebih pasti dan cepat memberikan pengobatan".
Selain itu, untuk bertugas menangani pasien, perawat tentu harus dalam kondisi sehat. Keterlambatan mengakibatkan perawat yang disuspek Covid-19 tak kunjung mendapat kepastian untuk bisa kembali bertugas.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menjelaskan bahwa keterlambatan hasil tes COVID-19 mestinya tidak berpengaruh terhadap penanganan pasien. Sebab, selain tes swab, rumah sakit bisa melakukan pemeriksaan awal secara mandiri, misalnya dari foto thorax, CT Scan, pemeriksaan darah, dan lainnya.
"Tinggal menunggu konfirmasi tadi, tapi dalam menunggu konfirmasi pasien tetap dimanage sebagai pasien Covid-19," kata Ari saat dihubungi Tirto pada Kamis (7/5/2020).
Ari pun menyebut ada tiga faktor melonjaknya angka kematian Covid-19 di Indonesia. Pertama, keterlambatan rumah sakit dalam mempersiapkan pandemi sehingga ketika pasien membludak rumah sakit tidak siap. Ketidaksiapan itu termasuk pada sarana seperti ventilator.
"Anda pernah dengar beberapa kasus itu sempat dilempar dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain akhirnya baru sampai rumah sakit rujukan dalam keadaan gawat," kata Ari.
Faktor lainnya ialah ketiadaan obat itu sendiri sehingga kesembuhan pasien bergantung sepenuhnya pada daya tahan tubuh.
Laboratorium Kewalahan Tangani Sampel Tes Swab
Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute Amin Soebandrio mengatakan dalam sehari pihaknya bisa menerima 400 sampel untuk dites, sementara kapasitas pengujian hanya 360 dalam sehari.
Kapasitas tidak sebanding dengan sampel yang tiap hari masuk, inilah yang menyebabkan antrean itu terus menumpuk bahkan sampai 1.000 sampel.
Hal itulah yang menyebabkan keterlambatan keluarnya hasil tes COVID-19 padahal, "Tesnya sendiri jika dikerjakan sehari, selesai," kata Amin kepada Tirto pada Rabu (6/5/2020).
Amin menjelaskan, untuk menguji sampel swab, pertama kali harus dilakukan ekstraksi RNA. Proses ini harus dilakukan secara hati-hati karena kemungkinan adanya virus yang hidup.
Tak heran, proses ekstraksi itu harus dikerjakan di laboratorium dengan biosafety level 3. Di sinilah proses pengujian memakan waktu paling lama.
Menurut Amin, pihaknya bisa saja melakukan pengujian berdasarkan skala prioritas kedaruratan kasus. Hanya saja, laboratorium tidak mendapat informasi soal kondisi pasien saat menerima sampel sehingga urutan pengujian dilakukan berdasar waktu masuk.
Kendati bisa dilakukan, Amin mengingatkan bahwa yang membutuhkan hasil tes dengan segera bukan hanya mereka yang memiliki gejala berat.
"Misalnya, gejalanya tidak terlalu berat tapi dia harus ada keputusan mau dirawat sebagai covid atau bukan. Itu juga membutuhkan keputusan cepat kan," kata Amin.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri