tirto.id - Potensi kerugian negara akibat perkara suap perizinan tambang dengan tersangka Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), Supian Hadi, mencapai Rp5,8 triliun dan 711 ribu dolar AS. Nilai itu lebih besar dari kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP sebesar Rp2,3 triliun dan BLBI sebesar Rp4,58 trilun.
Menurut pegiat anti korupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, dugaan korupsi di lakukan Supian terjadi karena ada ceruk untuk meraup keuntungan dari kekayaan sumber daya alam di daerahnya. Namun sumber daya alam yang kaya kerap berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup miskin.
"Kecenderungan-kecenderungan yang terjadi bahwa elit-elit politik itu menjadikan sumber daya alam sebagai alat untuk mengeruk kekayaan mereka," ujar Emerson, Sabtu (2/2/2019) kemarin.
Pendapat Emerson di dukung data Badan Pusat Statistik (BPS) di mana jumlah penduduk miskin di Kotawaringin Timur dari tahun 2012 hingga 2016 berada di kisaran 27 ribu. Sementara gini rasio di Kotawaringin Timur berada di angka 0,28 hingga 0,34. Rinciannya sebagai berikut:
Jumlah Penduduk Miskin Kotawaringin Timur
2011: 28,38 ribu
2012: 27,49 ribu
2013: 27,96 ribu
2014: 27,94 ribu
2015: 27,26 ribu
2016: 27,39 ribu
Gini Rasio Kotawaringin Timur
2013: 0,30
2014: 0,34
2015: 0,28
2016: 0,32
2017: 0,35
Gini rasio merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan pendapatan. Pendapatan makin merata jika nilai koefisien Gini mendekati nol.
Emerson melanjutkan, kepala daerah yang memimpin di wilayah kaya sumber daya alam tidak mencuri Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) maupun alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Namun, kepala daerah ini biasanya bermain di bidang perizinan seperti izin tambang dan izin pembukaan lahan.
"Tidak mengurangi jatah negara tapi punya potensi kerugian negara yang tidak langsung termasuk kerugian ekologis," ujarnya.
Jumlah Kekayaan Meningkat
Supian Hadi tercatat dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) memiliki harta senilai Rp 1,58 miliar. Supian menjabat sebagai Bupati Kotawaringin Timur pada periode 2010-2015 dan 2016-2021.
Kekayaan kader PDI Perjuangan itu terdiri dari empat bidang tanah dan bangunan di Kotawaringin Timur senilai Rp1.060.667.693 dan kas senilai Rp519.594.480. Namun Supian tidak tercatat memiliki kendaraan maupun surat berharga.
Dalam LHKPN yang di lihat dari situs KPK, Sabtu (2/2/2019), Supian tercatat terakhir melaporkan harta kekayaannya pada 29 Maret 2018. Harta Supian ini meningkat drastis dibandingkan LHKPN yang dilaporkan pada 27 juli 2015 yakni Rp907.925.028.
Dalam perkara ini, Supian diduga menerima suap dari tiga perusahaan tambang yakni PT Fajar Mentaya Abadi (FMA), PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM) pada periode 2010-2012. Supian diduga menerima suapa sebesar Rp500 juta, mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp710 juta dan mobil Hummer H3 senilai Rp1,35 miliar.
Setelah dilantik sebagai Bupati Kotawaringin Timur periode 2010-2015, Supian mengangkat teman-teman dekat juga tim sukses sebagai direktur dan direktur utama FMA. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, mereka masing-masing mendapatkan jatah saham 5%.
Supian kemudian memberikan surat keputusan izin usaha pertambangan kepada FMA untuk operasi produksi seluas 1.671 hektar. Parahnya, kata Laode, izin di dalam kawasan hutan tanpa ada Amdal, izin lingkungan dan persyaratan lain.
Berkat izin tersebut, tambah Laode, PT FMA bisa memproduksi pertambangan bauksit dan melakukan ekspor ke Cina. Perusahaan tetap menambang sampai 2014, meski Gubernur Kalimatan Tengah Agustin Teras Narang pada 2011 telah melarang.
Selain itu, Supian diduga menerbitkan izin IUP Eksplorasi untuk PT BI dan PT AIM tanpa melalui proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Padahal sebelumnya PT BI dan PT AIM tidak memiliki Kuasa Pertambangan (KP).
Supian disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31/1999, sebagaimana diubah jadi UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Ia diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi dengan meyalahgunakan kewenangannya selaku kepala daerah.
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Maulida Sri Handayani