tirto.id - Lucu dan menggemaskan. Dua kata itu sering dipakai untuk menggambarkan pesona binatang asal Cina ini. Namun, jumlahnya yang tidak mencapai 2.000 ekor di alam liar membuat gemas banyak orang, tidak terkecuali pemerintah Cina.
Data IUCN Red List of Threatened Species menyebutkan panda termasuk hewan dengan status terancam (endangered) sejak tahun 1990. Pada 2000-2002, hanya ditemukan sekitar 1600 ekor panda di alam liar.
Panda atau dalam bahasa latin disebut Aiuluropoda melanoleuca mendiami wilayah bagian selatan negeri Tiongkok.
Hewan berbadan besar ini dulu menempati kawasan Cina paling selatan dan timur. Penemuan fosil menunjukkan bahwa panda berkeliaran di utara Myanmar dan Vietnam sampai ke Beijing. Pada 1850, kawasan jelajah panda terletak di sebelah selatan provinsi Sichuan, Hubei, dan Hunan. Mereka berpindah tempat ke Gunung Qinling dan sepanjang dataran Tibet pada 1900. Saat ini, mereka tersebar di enam gunung, yakni Minshan, Qinling, Qionglai, Liangshan, Daxiangling, dan Xiaoxiangling di provinsi Gansu, Shaanxi, juga Sichuan.
The International Union Conservation of Nature (IUCN) menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti perluasan daerah pertanian dan perburuan manusia membuat jumlah panda di alam liar menyusut. Kondisi ini membuat IUCN mengategorikannya sebagai binatang berstatus terancam (endangered).
Langkah Beijing
Namun, status tersebut tidak lagi berlaku pada tahun 2016. Populasi panda tingkat global meningkat 17% selama 10 tahun terakhir. IUCN menyebutkan jumlah populasi panda dewasa di Cina bertambah menjadi 1.864 ekor. Jika digabung dengan total bayi panda, angka ini bakal bertambah menjadi 2.060 ekor. Keberhasilan tersebut mendorong IUCN mengubah status panda dari terancam ke rentan (vulnerable).
Mengingat Cina merupakan rumah bagi dua per tiga populasi panda di seluruh dunia, Beijing mengambil tindakan serius.
Ronald R. Swaisgood, Dajung Wang, dan Fuwen Wel dalam “Panda Downlisted but not Out of the Woods”(2017) menjelaskan secara rinci usaha pemerintah Cina meningkatkan jumlah panda di alam liar.
Dilansir dari Guardian, sejak 1970an Beijing rutin menggelar survei untuk menghitung panda. Pada survey 1974-1977, tercatat 1.050 sampai 1.100 ekor panda di negeri tirai bambu. Pada 1985-1988, diketahui lebih dari 1.120 panda hidup di Cina. Pada 1988, Beijing pun memberlakukan UU Perlindungan Fauna guna merespons aksi-aksi perburuan liar yang telah menyebabkan penyusutan jumlah panda.
Masih menurut laporan IUCN, pada 1992 Cina mencanangkan “Proyek Konservasi Nasional untuk Panda dan Habitatnya”. Dalam waktu 20 tahun sejak penyelenggaraan program tersebut, sebanyak 67 cagar alam telah didirikan. Cagar alam tersebut berhasil melindungi 1,4 juta hektar habitat panda atau sekitar 58% wilayah jangkauan hewan tersebut. Cina juga melarang penebangan liar di sebagian wilayah, termasuk wilayah jangkauan panda tahun 1997. Riset Ronald R. Swaisgood dkk mencatat bahwa hal ini dilakukan untuk mencegah erosi tanah dan mengurangi banjir. Kebijakan ini kemudian dipakai para aktivis konservasi untuk melindungi habitat panda. Hasilnya tak sia-sia. Jumlah habitat dan wilayah jangkauan panda bertambah seiring tumbuhnya hutan sekunder.
Selain jalur regulasi, pemerintah Cina turut mengajak kerja sama masyarakat lokal yang tinggal di sekitaran habitat. Ronal R. Swaisgood dkk mengatakan pemerintah mengeluarkan kebijakan The Grain-to-Green Program. Petani yang bersedia mengubah lahan pertaniannya menjadi hutan akan diberikan insentif ekonomi. Selain pemberian tunjangan, masyarakat juga diajak untuk mengawasi pelanggaran atas program tersebut.
Beijing pun mensponsori kajian-kajian penting yang berguna untuk pembuatan kebijakan, manajemen, dan strategi konservasi dilaksanakan—termasuk di antaranya manajemen berdasarkan pemetaan habitat, dokumentasi ancaman, dan pembelajaran faktor sosial ekonomi yang berdampak pada habitat.
Meneropong Dunia Konservasi Indonesia
Serupa dengan Cina, Indonesia memiliki sejumlah aturan yang bertujuan melindungi keberadaan satwa yang keberadaannya terancam punah. Fathi Hanif dalam artikel bertajuk "Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen dan Perundang-Undangan" (2015) menjelaskan bahwa Indonesia telah menandatangani Convention on International Trade in Endangered of Wild Fauna and Flora (CITES) tahun 1978. Regulasi tingkat internasional lain yang juga mengatur satwa liar di Indonesia adalah Daftar Merah Spesies yang Terancam Punah (Red Lists of Threatened Species) IUCN.
Baik IUCN maupun CITES sama-sama memasukkan satwa ke beberapa jenis kategori berdasarkan tingkat populasi, kondisi habitat, dan penyebarannya. IUCN, sebagai contoh, membagi kelompok-kelompok tersebut menjadi punah (Extinct), punah di alam (Extinct In The Wild), genting atau (Critically Endangered), dalam bahaya kepunahan (endangered), rentan (vulnarable), mendekati terancam (near threatened), dan belum terancam/belum perlu diperhatikan (least concerned), dan tidak cukup data (data deficient).
Di taraf nasional, perlindungan dan pengelolaan kawasan konservasi serta perlindungan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar termaktub dalam perundang-undangan peraturan pemerintah. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur di antaranya pengawetan keanekaragaman hayati, kawasan pelestarian alam, dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pengawetan berikut pemanfaatan tumbuhan dan satwa kemudian diatur kembali pada Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, masih mengutip Fathi Hanif, melarang perbuatan perburuan satwa liar, perdagangan atau pemanfaatan dan pemilikan ilegal tumbuhan dan satwa liar, penyelundupan tumbuhan dan satwa liar, serta penyalahgunaan dokumen ketika pengangkutan, kuota, dan ekspor. Dalam praktiknya, kejahatan tersebut bisa dilacak dari aktivitas seperti perdagangan atau pemanfaatan, pemilikan, dan perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi, penyelundupan jenis-jenis satwa yang dilindungi, pemalsuan dokumen untuk perdagangan satwa liar, penyuapan aparat dalam perdagangan satwa liar, dan lain-lain.
Menurut Arnold Sitompul, beberapa hal konkret seperti menambah luas habitat, menegakkan hukum dan melakukan patroli untuk perburuan serta perambahan, serta meningkatkan jumlah dan kualitas staf area konservasi dan riset adalah langkah kunci Cina untuk meningkatkan populasi panda. “Jadi kami melihat ini sebagai salah satu model yang bisa ditiru negara-negara lain, khususnya yang memiliki spesies kunci yang berstatus critically endangered,” kata Direktur Konservasi WWF Indonesia itu ketika diwawancarai Tirto via telepon.
Meski begitu, proses implementasi di lapangan ternyata tidak semudah itu. Beberapa hal mendasar kerap jadi batu sandungan upaya konservasi di Indonesia. “Misalnya ketersediaan jumlah staf di lapangan. Itu masih kurang. Kemudian koordinasi lintaskementerian masih kurang. Lalu sinkronisasi kebijakan. Dan terakhir pendanaan yang berkelanjutan,” katanya. Ia berkata pendanaan kawasan konservasi selama ini berasal dari APBN. “Nah, bagaimana kawasan konservasi mendapatkan pendanaan dari aktivitas konservasi itu belum digali dengan baik,” imbuh Arnold.
Pokja Kebijakan Konservasi dalam Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan (2008) mengatakan sinkronisasi kebijakan memang menjadi masalah yang perlu diselesaikan pemerintah. Orientasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan konservasi SDA masih bersifat sektoral. Masing-masing lembaga bergerak sendiri dan hanya memikirkan tugas dan kepentingan masing-masing sehingga peluang koordinasi, komunikasi, atau bahkan kerja sama tidak tercipta.
Dari segi pendanaan, pembiayaan yang semula ditanggung pemerintah harus menjadi beban bersama dengan pihak lain. Pokja Kebijakan Konservasi menyarankan dana aktivitas konservasi harus diusahakan oleh pemerintah dan subjek yang menerima manfaat dari inisiatif tersebut. Dalam hal ini, penerima manfaat wajib membayar sebab ia mendapatkan faedah dari SDA yang dijaga melalui aktivitas konservasi.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf