Menuju konten utama

Nelangsa Korban Revenge Porn: Diobjektifikasi & Tak Terlindungi

Revenge porn, atau ancaman menyebar konten pribadi ke publik, kerap dilakukan orang terdekat. Mereka melakukan itu karena menganggap orang lain seperti komoditas.

Nelangsa Korban Revenge Porn: Diobjektifikasi & Tak Terlindungi
Ilustrasi objektifikasi pasangan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kehidupan Maya, bukan nama sebenarnya, diatur sedemikian rupa oleh mantan pacarnya. "Penjinakan" ini dibarengi dengan ancaman. Ancaman pacar Maya tak main-main: menyebar konten privat ke media sosial.

"Dia bilang 'kalau misalnya kamu masih kecentilan, aku sebar foto kamu lagi telanjang sama aku'," kata Maya saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (29/1/2019) kemarin.

Pergerakan Maya sangat dibatasi hingga dilarang ke mana-mana setelah bekerja. Ia juga mengaku tidak diperbolehkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan sejumlah orang.

"Dan hingga akhirnya aku dibatasi supaya enggak ketemu sama keluarga aku.”

Saat Maya bercerita ke orang-orang di sekitarnya, mereka justru menganggap wajar perlakuan pacarnya tersebut.

"Ya jelas, wajar, laki-laki cemburu sama pasangannya," ujar Maya menirukan perkataan orang-orang yang mendengar keluhannya.

Saat ini Maya telah putus dengan pacarnya dan membatasi hubungan sama sekali. Namun beberapa kali mantan pacarnya itu muncul untuk sekadar mengajak bertemu--dengan tetap mengancam jika tidak dituruti.

Maya enggan melaporkan kasus ini kepada kepolisian. Ia mengatakan prosesnya akan rumit dan belum tentu penegak hukum memihak kepadanya.

"Apalagi saat memotret dengan handphone, waktu itu aku yang pegang handphone-nya," kata dia.

Maya bukan satu-satunya orang yang mengalami hal semacam ini. Kasus lain yang lumayan ramai dibicarakan adalah Kriss Hatta dan Hilda. Kriss mengungkapkan jumlah hubungan seksual yang dilakukan bersama Hilda selama dua tahun menikah di media sosial.

Ancaman mengedarkan foto atau video pribadi sudah sering terjadi. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017 (PDF), terdapat 19 kasus serupa Maya.

Dalam catatan tersebut, dijelaskan bahwa kejahatan siber dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh yang dijadikan objek pornografi.

"Salah satu bentuk kejahatan siber yang sering dilaporkan adalah penyebaran foto/video pribadi di media sosial dan/atau situs pornografi," demikian intisari laporan tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan, Indriyati Suparno, mengatakan persoalan ini memang sudah genting. Revenge porn, istilahnya. Revenge porn banyak dilakukan orang terdekat korban. Dalam kasus Maya, dia diobjektifikasi mantan pacar karena diperlakukan layaknya barang dagangan alias komoditas.

"Salah satu yang paling banyak adalah ancaman penyebaran foto dan video pribadi, bentuknya domestic violance yang pelakunya orang terdekat, seperti suami, mantan suami, pacar, atau mantan pacar," kata Indriyati saat ditemui di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.

Indriyati mencontohkan, salah satu kasus yang sempat masuk ke Komnas Perempuan adalah laporan seorang perempuan yang suaminya mengancam untuk menyebar video intim mereka berdua.

"Kasus istri yang mau menggugat suaminya dan menceraikannya, tapi diancam dengan video intim yang pernah mereka dokumentasikan,” kata dia.

Belum Ada Perlindungan Hukum

Orang-orang seperti Maya akan tetap berada dalam situasi sulit dan pelaku tetap bisa berlaku seenaknya. Menurut Indriyati, ini terjadi karena belum adanya payung hukum yang mengatur masalah revenge porn.

"Pelecehan seksual yang belum diatur itu ada di dalam ruang lingkup yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk juga kekerasan seksual di dunia maya yang tadi, ancaman distribusi foto maupun video pribadi yang dilakukan oleh pelaku kekerasan," kata Indriyati.

Infografik Tanda Pasangan melakukan objektifikasi

Infografik Tanda Pasangan melakukan objektifikasi

Menurut Indriyati, persoalan kekerasan seksual di dunia maya selama ini diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDTR). Namun hal tersebut hanya berlaku jika memang terjadi dalam hubungan suami dan istri. Ini tidak mencakup hubungan pacaran atau di luar pernikahan.

"Lebih sulit lagi [diselesaikan] karena kendala hukum positif kita, terutama untuk proses pidana itu," jelasnya.

Atas dasar itu, Indriyati mendesak RUU PKS segera disahkan. Salah satu poin yang tercakup di dalamnya yakni mengenai kekerasan seksual di dunia maya.

Namun penyelesaian RUU PKS di DPR terkatung-katung. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Sodik Mudjahid mengatakan banyak kendala yang membuat pembahasan RUU tersebut mandek. Salah satunya yakni rapat yang sering tidak memenuhi kuorum.

"Kendalanya ya tadi: masalahnya meluas, ada perbedaan pendapat, dan kami sudah masuk dalam tahun yang sibuk. Hal teknis semacam kuorum agak susah tercapai," kata Sodik di kompleks DPR RI.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Gilang Ramadhan & Rio Apinino